Sudah menjadi sunnatullah di muka bumi Allah ini adanya hukum sebab akibat. Sudah barang tentu musibah yang banyak kita alami pada tahun-tahun terakhir ini pasti ada sebabnya. Salah satu sebab datangnya musibah adalah karena maksiat yang diperbuat oleh manusia. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar, taubat)”. (QS. Ar Ruum: 41)
Ibnul Qoyyim rahimahullah mengatakan, “Yang menjadi sebab Allah menampakkan sebagian kerusakan di muka bumi adalah karena berbagai dosa yang dilakukan manusia”. Sedangkan lanjutan ayat (yang artinya) “supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka”, yang dimaksud di sini adalah sebahagian akibat dari dosa-dosa yang mereka kerjakan. Dengan demikian sebab kerusakan-kerusakan yang tampak di muka bumi berupa berbagai kekurangan, bahaya, kesedihan, penyakit dan lainnya yang Allah tampakkan adalah karena kemaksiatan yang dilakukan oleh hamba-hambaNya. Akibat setiap hambaNya melakukan kemaksiatan, Allah ‘Azza wa Jalla akan timpakan kepada mereka bencana sebagai hukuman atas perbuatan mereka. [2]
Dari penjelasan di atas, jelaslah bagi kita bahwa sebab bencana dan musibah yang kita alami adalah karena perbuatan maksiat yang dilakukan oleh manusia. Meskipun demikian musibah yang kita rasakan saat ini hanyalah sebagian kecil dari akibat dosa-dosa yang telah kita perbuat. Sekiranya ditimpakan seluruh akibat dari dosa-dosa yang telah kita perbuat, niscaya tidak ada seekor binatang pun yang dibiarkan hidup di muka bumi ini. [3]
Kesyirikan, Sebab Utama Turunnya Musibah
Sesungguhnya karena perbuatan syirik yang dilakukan manusia, Allah menimpakan musibah kepada mereka. Karena kesyirikan adalah kezholiman yang terbesar yang berakibat datangnya bencana. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya kesyirikan itu adalah benar-benar kedholiman (kemaksiatan) yang besar” (QS. Luqman: 13)
Bahkan syirik adalah dosa yang tidak Allah ampuni jika seseorang tidak bertaubat darinya sebelum ia mati. Kesyirikan juga adalah bentuk pelanggaran terbesar terhadap hak Allah Ta’ala [4]. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu apapun) dengan Dia, dan dia mengampuni dosa yang di bawah syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu apapun) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat (dari kebanaran[5]) dengan kesesatan yang amat jauh”. (QS. An Nisaa’: 116)
Itulah mengapa musibah sering menimpa suatu negeri. Kalau kita tilik, ternyata akibat kesyirikan yang merajalela di tengah-tengah mereka. Maka sudah sepatutnya setiap muslim merenungkan hal ini. Sudah menjadi keharusan bagi setiap muslim untuk mentauhidkan Allah semata dan tidak menyekutukannya dengan selain-Nya.
Kejahilan, Sebab Lain Datangnya Musibah
Kemudian sebab yang lain adalah jahilnya/bodohnya sebagian besar ummat Islam terhadap agama mereka, yang ini merupakan suatu hal yang kita lihat bersama. Berapa banyak kaum muslimin yang ketika ditanya di mana Allah, maka ada yang menjawab “Allah itu ada dimana-mana”, Allah itu ada di hati saya dan berbagai jawaban keliru lainnya. Bahkan keyakinan seperti ini disuarakan di hadapan orang banyak. Yang menyuarakan pun adalah da’i yang diikuti. Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan tegas mengatakan (yang artinya), “Ar Rahman (Allah) beristiwa’ di atas ArsyNya.” (QS. Thaha: 5)
Maka telah benarlah apa yang dikatakan oleh Nabi kita, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu (agama) dengan serta-merta dari hamba-hamba Nya. Tetapi, Allah akan mencabut ilmu dengan mewafatkan ulama, sehingga Allah tidak menyisakan ulama’. Maka, manusia mengambil orang-orang bodoh sebagai pemimpin. Lalu, mereka ditanya, dan mereka memberi fatwa tanpa ilmu, maka mereka telah sesat dan menyesatkan (orang lain).” [6]
Demikian juga sabda Nabi yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Akan datang kepada manusia tahun-tahun yang menipu, orang yang berdusta dibenarkan, orang yang berkhianat diberi amanat, orang yang amanat dianggap khianat dan akan ada Ruwaibidhah”. Para sahabat bertanya, “Apa itu Ruwaibidhah?” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan: “Orang yang hina lagi jahil (berbicara tentang) urusan orang banyak.” [7]
Mereka mengambil urusan agama mereka dari orang-orang kecil yang jahil dan meninggalkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam dan penjelasan para ‘ulama padahal Allah Robbul ‘Alamin telah berfirman, “Jika kalian berselisih pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah kepada Allah (Al Qur’an) dan Rosul.” (QS. An Nisaa’ : 59)
Demikian juga firman Allah (yang artinya), “Maka bertanyalah kepada ahli dzikr (para ‘ulama) jika kalian tidak tahu.” (QS. Al Anbiya’ : 7)
Oleh karena itu, sudah menjadi keharusan bagi setiap individu untuk menuntut ilmu agama. Karena mempelajari ilmu adalah adalah suatu yang wajib bagi setiap muslim dan muslimah sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Menuntut ilmu (agama) hukumnya wajib bagi setiap muslim.” [8]
Inilah dua dari sekian banyak sebab turunnya berbagai macam adzab Allah beserta obatnya.
Hikmah Musibah, Agar Hamba Segera Bertaubat
Di antara sekian banyak hikmah musibah yang Allah berikan kepada hambanya adalah sebagai peringatan agar mereka kembali/bertaubat kepadaNya. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali/bertaubat.” (QS. Ar Ruum: 41)
Musibah yang kita hadapi ini tidaklah ada apa-apanya jika kita bandingkan dengan musibah yang menimpa orang tua kita Adam ‘alaihis salam yaitu dikeluarkan dari Surga tempat yang penuh kenikmatan setelah dulu pernah merasakannya. Disebabkan tobatnya yang sempurna, Allah anugrahkan kepadanya kenabian, Allah terima taubatnya, Allah berikan ia petunjuk berupa hidayah dan Allah angkat derajatnya. Kalaulah bukan sebab cobaan yang Allah berikan kepadanya berupa dikeluarkan dari surga maka tidaklah beliau mendapatkan kenikmatan di atas. Lihatlah keadaan beliau setelah berbuat keasalahan dan Allah timpakan kepadanya musibah kemudian ia bertaubat dengan sebenar-benar taubat lebih mulia daripada keadaan sebelumnya. [9]
Musibah Sebagai Penghapus Dosa
Hikmah dari musibah yang tak kalah agungnya dibanding hal di atas adalah sabar. Jika Allah timpakan kepada seorang hamba musibah apabila ia bersabar maka musibah tersebut merupakan penghapus dosa baginya [10], sebagaimana sabda Nabi yang mulia ‘alaihish sholatu was salam, “Akan senantiasa seorang laki-laki dan perempuan yang beriman ditimpa musibah pada jiwanya, anaknya dan hartanya sampai ia bertemu dengan Allah dalam keadaan tidak memiliki dosa/salah.” [11]
Musibah Merupakan Nikmat
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rohimahullah mengatakan, “Musibah merupakan nikmat karena ia merupakan penghapus dosa, juga merupakan suatu hal yang mendorong diri untuk sabar sehingga mendapatkan pahala sabar, merupakan suatu hal yang mendorong diri untuk kembali kepada Allah dengan keta’atan/inabah, merendahkan diri dihadapanNya dan menghindar dari pandangan manusia (sehingga jauh dari riya’)”. Akan tetapi beliau rohimahullah mengaitkan hal ini dengan sabar dan tidak berlaku apabila seorang hamba ditimpa musibah kemudian ia meninggalkan hal-hal yang wajib atau melakukan sebagian maksiat. [12] Kemudian perhatikanlah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala tentang balasan bagi orang yang sabar (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS. Az Zumar: 10)
Dan sabar adalah dimulai pada saat awal musibah menimpa kita, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam, “(Sesungguhnya yang dikatakan) Sabar adalah sabar pada awal sesuatu yang dibenci.” [13]
Musibah Merupakan Tanda Cinta Allah pada HambaNya yang Ridho
Rasulullah shallallahu ‘alaihi was sallam bersabda, “Sesungguhnya besarnya balasan sesuai dengan besarnya cobaan. Dan sesungguhnya Allah jika Ia mencintai suatu kaum maka Allah akan coba/timpakan pada mereka musibah, barangsiapa yang ridho maka baginya ridho Allah dan barangsiapa yang marah terhadap cobaan/musibah dari Allah mak baginya murka Allah.” [14]
Ibnu ‘Aun rahimahullah mengatakan, “Ketahuilah, sesungguhnya seorang hamba tidaklah mencapai hakikat dari ridho sampai dia menjadikan ridhonya ketika tertimpa kefakiran dan musibah sebagaimana ridhonya ketika diberikan kecukupan dan kesenangan/kelapangan.” [15]
Dengan demikian kami mengajak diri kami sendiri dan para pembaca sekalian, marilah kita mewaspadai dua penyakit di atas dengan giat menuntut ilmu agama dan diiringi dengan mengamalkannya serta melaksanakan apa yang menjadi kewajiban orang yang ditimpa musibah yaitu bertaubat, bersabar, lebih jauh lagi dianjurkan untuk ridho terhadap musibah.
Keterangan:
[1] An Nihayah fi Ghoribil Atsar Ibnul Atsir oleh Abul Sa’adaat Al Mubarok bin Muhammad Al Jazariy hal. 119/III, dengan tahqiq oleh Thohir Ahmad Az Zaawiy, terbitan Maktabah Ilmiyah Beirut, Lebanon
[2] Lihat Ad Daa’u wad Dawa’u oleh Ibnu Qoyyim Al Jauziyah –rahimahullah- dengan tahqiq Syaikh ‘Ali bin Hasan Al Halaby –hafizhahullah-, hal 100, Terbitan Dar Ibnul Jauzy, Riyadh, cetakan kedua
[3] Idem
[4] Lihat Al Quolul Mufid ‘ala Kitabit Tauhid, hal. 113 terbitan Dar Ibnul Jauzy, Riyadh, cetakan kedua
[5] Lihat Tafsir Jalalain Li Imamaini Al Jalilaini Muhammad bin Ahmad Al Mahalli dan Abdurrahman bin Abi Bakr As Suyuthi, dengan ta’liq dari Syaikh Shofiyurrahman Al Mubarokfuri hal. 106, terbitan Darus Salam, Riyadh, cetakan kedua
[6] HR. Bukhori no. 100
[7] HR. Ibnu Majah no. 4172 dan dinyatakan shahih oleh Al Albani dalam Ash Shahihah no. 1887 [Asy Syamilah]
[8] HR. Ibnu Majah no. 229 dan dinyatakan shahih oleh Al Albani dalam Takhrij Ahaadits Musykilatul Fiqr no. 226. [Asy Syamilah]
[9] Lihat Miftah Daaris Sa’adah oleh Ibnu Qoyyim Al Jauziyah rohimahullah hal. 302/II, dengan tahqiq dari Fadhilatusy Syaikh ‘Ali bin Hasan Al Halaby hafidzahullah, terbitan Dar Ibnu ‘Affan, Kairo, Mesir
[10] Lihat Syarh Riyadush Sholihin oleh Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin rohimahullah hal. 140/I cetakan Darul Aqidah, Kairo, Mesir
[11] HR. At Tirmidzi no. 2399, hadits ini dinyatakan Hasan Shohih oleh Al Albani rohimahullah dalam takhrij beliu untuk Sunan At Tirmidzi hal. 431 terbitan Maktabah Ma’arif, Riyadh, KSA
[12] Lihat Taisil ‘Azizil Hamiid fi Syarhi Kitabit Tauhid oleh Syaikh Sulaiman bin Abdullah, hal. 446-447, dengan tahqiq oleh Syaikh Zuhair Asy Syawis, terbitan Al Maktab Al Islamiy, Beirut, Lebanon
[13] HR. Bukhori no. 1252, Muslim no. 2136
[14] HR. Tirmidzi no. 2396, , hadits ini dinyatakan Hasan Shohih oleh Al Albani rohimahullah dalam takhrij beliau untuk Sunan At Tirmidzi hal. 540
[15] Lihat Taisil ‘Azizil Hamiid fi Syarhi Kitabit Tauhid hal. 451
Tidak ada komentar:
Posting Komentar