Senin, 31 Mei 2010

Active work . Active prayer .All good active

Pandangan Islam Tentang Pacaran : Islam Kok Pacaran?

Soal pacaran di zaman sekarang tampaknya menjadi gejala umum di kalangan kawula muda. Barangkali fenomena ini sebagai akibat dari pengaruh kisah-kisah percintaan dalam roman, novel, film dan syair lagu. Sehingga terkesan bahwa hidup di masa remaja memang harus ditaburi dengan bunga-bunga percintaan, kisah-kisah asmara, harus ada pasangan tetap sebagai tempat untuk bertukar cerita dan berbagi rasa.

Selama ini tempaknya belum ada pengertian baku tentang pacaran. Namun setidak-tidaknya di dalamnya akan ada suatu bentuk pergaulan antara laki-laki dan wanita tanpa nikah.

Kalau ditinjau lebih jauh sebenarnya pacaran menjadi bagian dari kultur Barat. Sebab biasanya masyarakat Barat mensahkan adanya fase-fase hubungan hetero seksual dalam kehidupan manusia sebelum menikah seperti puppy love (cinta monyet), datang (kencan), going steady (pacaran), dan engagement (tunangan).

Bagaimanapun mereka yang berpacaran, jika kebebasan seksual da lam pacaran diartikan sebagai hubungan suami-istri, maka dengan tegas mereka menolak. Namun, tidaklah demikian jika diartikan sebagai ungkapan rasa kasih sayang dan cinta, sebagai alat untuk memilih pasangan hidup. Akan tetapi kenyataannya, orang berpacaran akan sulit segi mudharatnya ketimbang maslahatnya. Satu contoh : orang berpacaran cenderung mengenang dianya. Waktu luangnya (misalnya bagi mahasiswa) banyak terisi hal-hal semacam melamun atau berfantasi. Amanah untuk belajar terkurangi atau bahkan terbengkalai. Biasanya mahasiswa masih mendapat kiriman dari orang tua. Apakah uang kiriman untuk hidup dan membeli buku tidak terserap untuk pacaran itu ?

Atas dasar itulah ulama memandang, bahwa pacaran model begini adalah kedhaliman atas amanah orang tua. Secara sosio kultural di kalangan masyarakat agamis, pacaran akan mengundang fitnah, bahkan tergolong naif. Mau tidak mau, orang yang berpacaran sedikit demi sedikit akan terkikis peresapan ke-Islam-an dalam hatinya, bahkan bisa mengakibatkan kehancuran moral dan akhlak. Na’udzubillah min dzalik !

Sudah banyak gambaran kehancuran moral akibat pacaran, atau pergaulan bebas yang telah terjadi akibat science dan peradaban modern (westernisasi). Islam sendiri sebagai penyempurnaan dien-dien tidak kalah canggihnya memberi penjelasan mengenai berpacaran. Pacaran menurut Islam diidentikkan sebagai apa yang dilontarkan Rasulullah SAW : "Apabila seorang di antara kamu meminang seorang wanita, andaikata dia dapat melihat wanita yang akan dipinangnya, maka lihatlah." (HR Ahmad dan Abu Daud).

Namun Islam juga, jelas-jelas menyatakan bahwa berpacaran bukan jalan yang diridhai Allah, karena banyak segi mudharatnya. Setiap orang yang berpacaran cenderung untuk bertemu, duduk, pergi bergaul berdua. Ini jelas pelanggaran syari’at ! Terhadap larangan melihat atau bergaul bukan muhrim atau bukan istrinya. Sebagaimana yang tercantum dalam HR Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas yang artinya: "Janganlah salah seorang di antara kamu bersepi-sepi (berkhalwat) dengan seorang wanita, kecuali bersama dengan muhrimnya." Tabrani dan Al-Hakim dari Hudzaifah juga meriwayatkan dalam hadits yang lain: "Lirikan mata merupakan anak panah yang beracun dari setan, barang siapa meninggalkan karena takut kepada-Ku, maka Aku akan menggantikannya dengan iman sempurna hingga ia dapat merasakan arti kemanisannya dalam hati."

Tapi mungkin juga ada di antara mereka yang mencoba "berdalih" dengan mengemukakan argumen berdasar kepada sebuah hadits Nabi SAW yang diriwayatkan Imam Abu Daud berikut : "Barang siapa yang mencintai karena Allah, membenci karena Allah, atawa memberi karena Allah, dan tidak mau memberi karena Allah, maka sungguh orang itu telah menyempurnakan imannya." Tarohlah mereka itu adalah orang-orang yang mempunyai tali iman yang kokoh, yang nggak bakalan terjerumus (terlalu) jauh dalam mengarungi "dunia berpacaran" mereka. Tapi kita juga berhak bertanya : sejauh manakah mereka dapat mengendalikan kemudi "perahu pacaran" itu ? Dan jika kita kembalikan lagi kepada hadits yang telah mereka kemukakan itu, bahwa barang siapa yang mencintai karena Allah adalah salah satu aspek penyempurna keimanan seseorang, lalu benarkah mereka itu mencintai satu sama lainnya benar-benar karena Allah ? Dan bagaimana mereka merealisasikan "mencintai karena Allah" tersebut ? Kalau (misalnya) ada acara bonceng-boncengan, dua-duaan, atau bahkan sampai buka aurat (dalam arti semestinya selain wajah dan dua tapak tangan) bagi si cewek, atau yang lain-lainnya, apakah itu bisa dikategorikan sebagai "mencintai karena Allah ?" Jawabnya jelas tidak !

Dalam kaitan ini peran orang tua sangat penting dalam mengawasi pergaulan anak-anaknya terutama yang lebih menjurus kepada pergaulan dengan lain jenis. Adalah suatu keteledoran jika orang tua membiarkan anak-anaknya bergaul bebas dengan bukan muhrimnya. Oleh karena itu sikap yang bijak bagi orang tua kalau melihat anaknya sudah saatnya untuk menikah, adalah segera saja laksanakan.

Dikutip dari: http://www.indomedia.com/bpost/012000/24/opini/resensi.htm

..Panduan Menata Rumah Islami..

Rumah adalah tempat berteduh bagi setiap individu dalam keluarga dari kesibukan di luar. Di dalamnya menjanjikan sejuta kedamaian dan kasih sayang yang harmonis. Islam sebagai dien sempurna yang mengatur bagaimana mewujudkan kebahagiaan ini, menciptakan rumah sebagaimana slogan "Baiti Jannati' [Rumahku, Surgaku]. Rumah yang didalamnya ditemukan kedamaian, kasih sayang dan rahmat dari Illahi, laksana sebuah surga di dunia.

Ada 10 hal penting yang harus dijadikan panduan dalam menata rumah islami, sebagai berikut.

1. Kebersihan dan Kesucian

Menjaga kebersihan dan kesucian bagi seorang muslim mempunyai nilai tambah, yaitu sebagai hukum syar'i. Karena itu hendaklah seorang muslim harus selalu berada dalam keadaan bersih dan suci, badan, pakaian maupun tempat tinggalnya, yang juga merupakan syarat makbulnya ibadah, khususnya shalat. Misalnya ketika seorang muslim membersihkan najis, maka ia bukan saja membersihkan kotoran secara lahiriyah saja, tetapi juga secara maknawiyah. Untuk itulah setiap jenis kotoran yang tergolong najis mempunyai cara-cara tersendiri dalam membersihkan serta mensucikannya.

2. Mengatur dan menata interior rumah sehingga menjadi indah dan enak dipandang.

"Allah itu indah dan menyukai keindahan'. Hendaknya setiap muslim menyadari hal ini, terutama keindahan rumahnya. Menggunakan pakaian yang rapi dan bersih sesuai dengan situasi dan kondisi, perabot rumah tangga yang teratur rapi pada tempatnya, ruangan yang ditata sesuai dengan fungsi dan kondisi, misalnya sebuah pigura Baitul Haram sepantasnya diletakkan di dinding ruang tamu dan bukan di dapur.

3. Adab merendahkan suara, menjaga rahasia dan tidak membuat gaduh.

Imam Hasan Al Banna mengatakan dalam wasiatnya, "Jangan keraskan suaramu melebihi kebutuhan si pendengar, karena hal yang demikian itu adalah perbuatan bodoh dan mengganggu orang lain.' Suara keras dalam berbantah-bantahan, gelak tawa terbahak-bahak, suara lengkingan wanita maupun radio atau televisi yang kuat merupakan hal-hal yang sangat sensitif dan dapat memicu perselisihan. Hal tersebut bukanlah etika dalam Islam.

Dalam rumah islami, tentu penghuninya akan selalu berusaha menerapkan etika-etika islami dalam bermuamalah dengan sesama anggotanya dan tetangga lainnya, menjaga kesopanan dalam berbicara, menghormati hak-hak orang lain dan menjaga rahasia yang ada dalam rumah tangganya.

4. Mengatur hal-hal yang berkaitan dengan ilmu dan ibadah.

Hal yang penting dan utama adalah ilmu-ilmu wajib yang dibutuhkan seperti masalah ibadah, menunaikan amalan fardu [wajib] dan juga amal-amal sunnah serta islami dengan cara mengadakan perpustakaan rumah , ibadah khususnya shalat, puasa, tilawah Qur'an, dzikrullah [mengingat Allah] dan do'a. Semua anggota keluarga harus saling bahu-membahu dalam merealisasikan hal-hal ini. Peran tausiah [saling
menasehati] sangat penting dalam menjaga kelangsunagn terlaksananya amalan tersebut.

5. Bersikap sederhana dana makan, minum dan gaya hidup.

Seorang muslim mempunyai tanggung jawab terhadap diri dan keluarganya. Ia dituntut untuk senantiasa menyeleksi makanan dan minuman yang dibawa ke rumah, serta memperhatikan kualitas serta kuantitasnya. Menumpuk-numpuk pakaian dan barang yang tidak berguna merupakan pemborosan. Untuk itu setiap kebutuhan yang akan dibeli hendaknya diperhitungkan dulu kepentingan dan manfaatnya.

6. Menjalin hubungan baik dan adab bergaul.

Di dalam rumah yang islami harus diterapkan adab pergaulan yang islami pula. Adab terhadap orang tua adalah menghormatinya, taat kepada keduanya, berbuat baik dan menistimewakan keduanya. Juga suami istri yang bermuamalah dengan baik dan memberikan contoh tauladan kepada anak-anaknya. Manjalin silaturahim dengan karib kerabat dan keluarga jauh. Membiasakan anak-anak menghormati yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda, serta adab-adab baik lainnya.

7. Memperhatikan kesehatan dan olah raga.

"Ada dua kenikmatan yang dilupakan oleh kebanyakan orang, kesehatan dan waktu luang' [HR. Bukhari].

Islam sangat memperhatikan kesehatan. Dalam hadits lain masalah pentingnya kesehatan dan kekuatan banyak disinggung. Tetapi dalam prakteknya kaum muslimin banyak yang mengabaikan masalah ini. Perhatikanlah masalah kebersihan, udara yang masuk ke dalam rumah, ventilasi, tata ruang serta kerapihan rumah. Hendaknya tiap anggota keluarga dibiasakan untuk berolah raga, jalan kaki atau lari di pagi hari, atau apa pun bentuknya. Alangkah baiknya jika program olah raga tersebut dibarengi dengan dzikrullah dan doa.

8. Melindungi rumah dan anggota keluarga dari akhlak, perilaku yang menyimpang serta menjauhkan mereka dari hal-hal yang haram, makruh dan membahayakan.

Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa ang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. [QS. 66:6]

Seorang muslim selamanya akan selalu aktif melaksanakan tuntutan agama. Begitu pula terhadap keluarganya, dan berusaha untuk menjauhkan diri dan keluarganya dari hal-hal yang dilarang oleh agama. Kaum muslimin sudah biasa memandang apa yang ada di dalam rumah sebagai aurat yang harus dijaga. Perlu diperhatikan, bahwa ada sebagian pakaian kita yang tidak layak untuk dilihat orang kain, karena hal tersebut akan mengganggu perasaan, tidak enak dan sebagainya. Jangan sampai ada pakaian dalam yang tergeletak sembarangan. Perilaku dan kata-kata yang tidak baik jangan sampai dipraktekkan oleh anggota keluarga.

Hal yang harus dijaga adalah aurat, jangan sampai menampakkan aurat di hadapan orang lain, sekalipun anak kecil. Kemudian interior rumah yangan sampai ada hal-hal yang dilaknat Allah seperti patung atau pun jenis lainnya. Juga hal yang perlu dihindarkan adap-apa yang termasuk kategori "lagho', makruh dan haram. Seperti kebanyakan acara-acara televisi, radio atau acara lain yang tidak berfaedah, dan membuang waktu.

Anak-anak pun harus senantiasa dijaga gerak-geriknya dari hal-hal yang buruk dan membahayakan, seperti obat-obatan dan benda-benda tajam serta barang pecah belah.

9. Berbuat baik kepada tetangga, menghormati tamu dan bersilaturahim.

Menghormati tamu merupakan salah satu kewajiban bagi seorang muslim. Diantara adab islami bagi orang yang bertamu adalah tidak memberatkan orang yang dikunjungi agar dia menjamu kita sebagai tamu. Seorang muslim harus senantiasa menyiapkan dirinya, rumah dan kaluarganya untuk menerima tamu dan menghormatinya.

Sedangkan adab terhadap tetangga ialah memenuhi hak-hak mereka pada peristiwa-peristiwa tertentu, seperti kegembiraan dan kesedihan, menjaga anak-anak jangan sampai berkelahi dengan anak tetangga dan menghindari kebisingan atau sesuatu yang menyulitkan mereka.

10. Menjaga adab masuk dan keluar rumah.

Hal pertama yang harus diperhatikan seorang muslim dan muslimah dalam keluar dan masuk rumahnya adalah sunnah yang berkaitan dengan masalah tersebut, kaki mana yang harus didahulukan dan memberi salam pada penghuninya.

Sebelum keluar rumah hendaklah menentukan niat, arah tujuan dan mengoraksi diri serta memeriksa barang bawaan. Terutama kaum wanita muslimah bila hendak keluar rumah hendaknya tidak tercium bau wangi-wangian yang dapat memancing laki-laki lain, selalu merapikan dan memelihara hijabnya dan menutup aurat dengan baik jangan sampai salah pakai atau terpiup angin.

Renungan Buat Suami

Wahai sang suami ....

Apakah membebanimu wahai hamba Allah, untuk tersenyum di hadapan istrimu dikala anda masuk ketemu istri tercinta, agar anda meraih pahala dari Allah?!!

Apakah membebanimu untuk berwajah yang berseri-seri tatkala anda melihat anak dan istrimu?!!

Apakah menyulitkanmu wahai hamba Allah, untuk merangkul istrimu, mengecup pipinya serta bercumbu disaat anda menghampiri dirinya?!!

Apakah memberatkanmu untuk mengangkat sesuap nasi dan meletakkannya di mulut sang istri, agar anda mendapat pahala?!!

Apakah termasuk susah, kalau anda masuk rumah sambil mengucapkan salam dengan lengkap : "Assalamu`alaikum Warahmatullah Wabarakatuh" agar anda meraih 30 kebaikan?!!

Apa yang membebanimu, jika anda menuturkan untaian kata-kata yang baik yang disenangi kekasihmu, walaupun agak terpaksa, dan mengandung bohong yang dibolehkan?!!

Tanyalah keadaan istrimu di saat anda masuk rumah!!

Apakah memberatkanmu, jika anda menuturkan kepada istrimu di saat masuk rumah : "Duhai kekasihku, semenjak Kanda keluar dari sisimu, dari pagi sampai sekarang, serasa bagaikan setahun".

Sesungguhnya, jika anda betul-betul mengharapkan pahala dari Allah walau anda letih dan lelah, anda mendekati sang istri tercinta dan menjimaknya, maka anda mendapatkan pahala dari Allah, karena Rasulullah bersabda :"Dan di air mani seseorang kalian ada sedekah".

Apakah melelahkanmu wahai hamba Allah, jika anda berdoa dan berkata : Ya. Allah perbaikilah istriku dan berkatilah daku pada dirinya.

Ucapan yang baik adalah sedekah.
Wajah yang berseri dan senyum yang manis di hadapan istri adalah sedekah.
Mengucapkan salam mengandung beberapa kebaikan.
Berjabat tangan mengugurkan dosa-dosa.
Berhubungan badan mendapatkan pahala.

Adab Pergaulan Laki-laki dan Wanita (1)

PERTANYAAN

Banyak perkataan dan fatwa seputar masalah (boleh tidaknya)
laki-laki bergaul dengan perempuan (dalam satu tempat). Kami
dengar diantara ulama ada yang mewajibkan wanita untuk tidak
keluar dari rumah kecuali ke kuburnya, sehingga ke masjid
pun mereka dimakruhkan. Sebagian lagi ada yang
mengharamkannya, karena takut fitnah dan kerusakan zaman.

Mereka mendasarkan pendapatnya pada perkataan Ummul Mu'minin
Aisyah r.a.: "Seandainya Rasulullah saw. mengetahui apa yang
diperbuat kaum wanita sepeninggal beliau, niscaya beliau
melarangnya pergi ke masjid."

Kiranya sudah tidak samar bagi Ustadz bahwa wanita juga
perlu keluar rumah ketengah-tengah masyarakat untuk belajar,
bekerja, dan bersama-sama di pentas kehidupan. Jika itu
terjadi, sudah tentu wanita akan bergaul dengan laki-laki,
yang boleh jadi merupakan teman sekolah, guru, kawan kerja,
direktur perusahaan, staf, dokter dan sebagainya.

Pertanyaan kami, apakah setiap pergaulan antara laki-laki
dengan perempuan itu terlarang atau haram? Apakah mungkin
wanita akan hidup tanpa laki-laki, terlebih pada zaman yang
kehidupan sudah bercampur aduk sedemikian rupa? Apakah
wanita itu harus selamanya dikurung dalam sangkar, yang
meskipun berupa sangkar emas, ia tak lebih sebuah penjara?
Mengapa laki-laki diberi sesuatu (kebebasan) yang tidak
diberikan kepada wanita? Mengapa laki-laki dapat
bersenang-senang dengan udara bebas, sedangkan wanita
terlarang menikmatinya? Mengapa persangkaan jelek itu selalu
dialamatkan kepada wanita, padahal kualitas keagamaan,
pikiran, dan hati nurani wanita tidak lebih rendah daripada
laki-laki?

Wanita - sebagaimana laki-laki - punya agama yang
melindunginya, akal yang mengendalikannya, dan hati nurani
(an-nafs al-lawwamah) yang mengontrolnya. Wanita,
sebagaimana laki-laki, juga punya gharizah atau keinginan
yang mendorong pada perbuatan buruk (an-nafs al-ammarah
bis-su). Wanita dan laki-laki sama-sama punya setan yang
dapat menyulap kejelekan menjadi keindahan serta membujuk
rayu mereka.

Yang menjadi pertanyaan, apakah semua peraturan yang ketat
untuk wanita itu benar-benar berasal dari hukum Islam?

Kami mohon Ustadz berkenan menjelaskan masalah ini, dan
bagaimana seharusnya sikap kita? Dengan kata lain, bagaimana
pandangan syariat terhadap masalah ini? Atau, bagaimana
ketentuan Al-Qur'an dan Sunnah Nabi yang sahih, bukan kata
si Zaid dan si Amr.

JAWABAN

Kesulitan kita - sebagaimana yang sering saya kemukakan -
ialah bahwa dalam memandang berbagai persoalan agama,
umumnya masyarakat berada dalam kondisi ifrath (berlebihan)
dan tafrith (mengabaikan). Jarang sekali kita temukan sikap
tawassuth (pertengahan) yang merupakan salah satu
keistimewaan dan kecemerlangan manhaj Islam dan umat Islam.

Sikap demikian juga sama ketika mereka memandang masalah
pergaulan wanita muslimah di tengah-tengah masyarakat. Dalam
hal ini, ada dua golongan masyarakat yang saling
bertentangan dan menzalimi kaum wanita.

Pertama, golongan yang kebarat-baratan yang menghendaki
wanita muslimah mengikuti tradisi Barat yang bebas tetapi
merusak nilai-nilai agama dan menjauh dari fitrah yang lurus
serta jalan yang lempang. Mereka jauh dari Allah yang telah
mengutus para rasul dan menurunkan kitab-kitab-Nya untuk
menjelaskan dan menyeru manusia kepada-Nya.

Mereka menghendaki wanita muslimah mengikuti tata kehidupan
wanita Barat "sejengkal demi sejengkal, sehasta demi
sehasta" sebagaimana yang digambarkan oleh hadits Nabi,
sehingga andaikata wanita-wanita Barat itu masuk ke lubang
biawak niscaya wanita muslimah pun mengikuti di belakangnya.
Sekalipun lubang biawak tersebut melingkar-lingkar, sempit,
dan pengap, wanita muslimah itu akan tetap merayapinya. Dari
sinilah lahir "solidaritas" baru yang lebih dipopulerkan
dengan istilah "solidaritas lubang biawak."

Mereka melupakan apa yang dikeluhkan wanita Barat sekarang
serta akibat buruk yang ditimbulkan oleh pergaulan bebas
itu, baik terhadap wanita maupun laki-laki, keluarga, dan
masyarakat. Mereka sumbat telinga mereka dari
kritikan-kritikan orang yang menentangnya yang datang silih
berganti dari seluruh penjuru dunia, termasuk dari Barat
sendiri. Mereka tutup telinga mereka dari fatwa para ulama,
pengarang, kaum intelektual, dan para muslihin yang
mengkhawatirkan kerusakan yang ditimbulkan peradaban Barat,
terutama jika semua ikatan dalan pergaulan antara laki-laki
dan perempuan benar-benar terlepas.

Mereka lupa bahwa tiap-tiap umat memiliki kepribadian
sendiri yang dibentuk oleh aqidah dan pandangannya terhadap
alam semesta, kehidupan, tuhan, nilai-nilai agama, warisan
budaya, dan tradisi. Tidak boleh suatu masyarakat melampaui
tatanan suatu masyarakat lain.

Kedua, golongan yang mengharuskan kaum wanita mengikuti
tradisi dan kebudayaan lain, yaitu tradisi Timur, bukan
tradisi Barat. Walaupun dalam banyak hal mereka telah
dicelup oleh pengetahuan agama, tradisi mereka tampak lebih
kokoh daripada agamanya. Termasuk dalam hal wanita, mereka
memandang rendah dan sering berburuk sangka kepada wanita.

Bagaimanapun, pandangan-pandangan diatas bertentangan dengan
pemikiran-pemikiran lain yang mengacu pada Al-Qur'anul Karim
dan petunjuk Nabi saw. serta sikap dan pandangan para
sahabat yang merupakan generasi muslim terbaik.

Ingin saya katakan disini bahwa istilah ikhtilath
(percampuran) dalam lapangan pergaulan antara laki-laki
dengan perempuan merupakan istilah asing yang dimasukkan
dalam "Kamus Islam." Istilah ini tidak dikenal dalam
peradaban kita selama berabad-abad yang silam, dan baru
dikenal pada zaman sekarang ini saja. Tampaknya ini
merupakan terjemahan dari kata asing yang punya konotasi
tidak menyenangkan terhadap perasaan umat Islam. Barangkali
lebih baik bila digunakan istilah liqa' (perjumpaan),
muqabalah (pertemuan), atau musyarakrah (persekutuan)
laki-laki dengan perempuan.

Tetapi bagaimanapun juga, Islam tidak menetapkan hukum
secara umum mengenai masalah ini. Islam justru
memperhatikannya dengan melihat tujuan atau kemaslahatan
yang hendak diwujudkannya, atau bahaya yang
dikhawatirkannya, gambarannya, dan syarat-syarat yang harus
dipenuhinya, atau lainnya.

Sebaik-baik petunjuk dalam masalah ini ialah petunjuk Nabi
Muhammad saw., petunjuk khalifah-khalifahnya yang lurus, dan
sahabat-sahabatnya yang terpimpin.

Orang yang mau memperhatikan petunjuk ini, niscaya ia akan
tahu bahwa kaum wanita tidak pernah dipenjara atau diisolasi
seperti yang terjadi pada zaman kemunduran umat Islam.

Pada zaman Rasulullah saw., kaum wanita biasa menghadiri
shalat berjamaah dan shalat Jum'at. Beliau saw. menganjurkan
wanita untuk mengambil tempat khusus di shaf (baris)
belakang sesudah shaf laki-laki. Bahkan, shaf yang paling
utama bagi wanita adalah shaf yang paling belakang. Mengapa?
Karena, dengan paling belakang, mereka lebih terpelihara
dari kemungkinan melihat aurat laki-laki. Perlu diketahui
bahwa pada zaman itu kebanyakan kaum laki-laki belum
mengenal celana.

Pada zaman Rasulullah saw. (jarak tempat shalat) antara
laki-laki dengan perempuan tidak dibatasi dengan tabir sama
sekali, baik yang berupa dinding, kayu, kain, maupun
lainnya. Pada mulanya kaum laki-laki dan wanita masuk ke
masjid lewat pintu mana saja yang mereka sukai, tetapi
karena suatu saat mereka berdesakan, baik ketika masuk
maupun keluar, maka Nabi saw. bersabda:

"Alangkah baiknya kalau kamu jadikan pintu ini untuk wanita"

Dari sinilah mula-mula diberlakukannya pintu khusus untuk
wanita, dan sampai sekarang pintu itu terkenal dengan
istilah "pintu wanita."



PERGAULAN LAKI-LAKI DENGAN PEREMPUAN Dr. Yusuf Qardhawi
(2/3)

Kaum wanita pada zaman Nabi saw. juga biasa menghadiri
shalat Jum'at, sehingga salah seorang diantara mereka ada
yang hafal surat "Qaf." Hal ini karena seringnya mereka
mendengar dari lisan Rasulullah saw. ketika berkhutbah
Jum'at.

Kaum wanita juga biasa menghadiri shalat Idain (Hari Raya
Idul Fitri dan Idul Adha). Mereka biasa menghadiri hari raya
Islam yang besar ini bersama orang dewasa dan anak-anak,
laki-laki dan perempuan, di tanah lapang dengan bertahlil
dan bertakbir.

Imam Muslim meriwayatkan dari Ummu Athiyah, katanya:

"Kami diperintahkan keluar (untuk menunaikan shalat dan
mendengarkan khutbah) pada dua hari raya, demikian pula
wanita-wanita pingitan dan para gadis."

Dan menurut satu riwayat Ummu Athiyah berkata:

"Rasulullah saw. menyuruh kami mengajak keluar kaum wanita
pada hari raya Fitri dan Adha, yaitu wanita-wanita muda,
wanita-wanita yang sedang haid, dan gadis-gadis pingitan.
Adapun wanita-wanita yang sedang haid, mereka tidak
mengerjakan shalat, melainkan mendengarkan nasihat dan
dakwah bagi umat Islam (khutbah, dan sebagainya). Aku (Ummu
Athiyah) bertanya, 'Ya Rasulullah salah seorang diantara
kami tidak mempunyai jilbab.' Beliau menjawab, 'Hendaklah
temannya meminjamkan jilbab yang dimilikinya.'"1

Ini adalah sunnah yang telah dimatikan umat Islam di semua
negara Islam, kecuali yang belakangan digerakkan oleh
pemuda-pemuda Shahwah Islamiyyah (Kebangkitan Islam). Mereka
menghidupkan sebagian sunnah-sunnah Nabi saw. yang telah
dimatikan orang, seperti sunnah i'tikaf pada sepuluh hari
terakhir bulan Ramadhan dan sunnah kehadiran kaum wanita
pada shalat Id.

Kaum wanita juga menghadiri pengajian-pengajian untuk
mendapatkan ilmu bersama kaum laki-laki di sisi Nabi saw.
Mereka biasa menanyakan beberapa persoalan agama yang
umumnya malu ditanyakan oleh kaum wanita. Aisyah r.a. pernah
memuji wanita-wanita Anshar yang tidak dihalangi oleh rasa
malu untuk memahami agamanya, seperti menanyakan masalah
jinabat, mimpi mengeluarkan sperma, mandi junub, haid,
istihadhah, dan sebagainya.

Tidak hanya sampai disitu hasrat mereka untuk menyaingi kaum
laki-laki dalam menimba-ilmu dari Rasululah saw. Mereka juga
meminta kepada Rasulullah saw. agar menyediakan hari
tertentu untuk mereka, tanpa disertai kaum laki-laki. Hal
ini mereka nyatakan terus terang kepada Rasulullah saw.,
"Wahai Rasulullah, kami dikalahkan kaum laki-laki untuk
bertemu denganmu, karena itu sediakanlah untuk kami hari
tertentu untuk bertemu denganmu." Lalu Rasulullah saw.
menyediakan untuk mereka suatu hari tertentu guna bertemu
dengan mereka, mengajar mereka, dan menyampaikan
perintah-perintah kepada mereka.2

Lebih dari itu kaum wanita juga turut serta dalam perjuangan
bersenjata untuk membantu tentara dan para mujahid, sesuai
dengan kemampuan mereka dan apa yang baik mereka kerjakan,
seperti merawat yang sakit dan terluka, disamping memberikan
pelayanan-pelayanan lain seperti memasak dan menyediakan air
minum. Diriwayatkan dari Ummu Athiyah, ia berkata:

"Saya turut berperang bersama Rasulullah saw. sebanyak tujuh
kali, saya tinggal di tenda-tenda mereka, membuatkan mereka
makanan, mengobati yang terluka, dan merawat yang sakit."3

Imam Muslim juga meriwayatkan dari Anas:

"Bahwa Aisyah dan Ummu Sulaim pada waktu perang Uhud sangat
cekatan membawa qirbah (tempat air) di punggungnya kemudian
menuangkannya ke mulut orang-orang, lalu mengisinya lagi."4

Aisyah r.a. yang waktu itu sedang berusia belasan tahun
menepis anggapan orang-orang yang mengatakan bahwa
keikutsertaan kaum wanita dalam perang itu terbatas bagi
mereka yang telah lanjut usia. Anggapan ini tidak dapat
diterima, dan apa yang dapat diperbuat wanita-wanita yang
telah berusia lanjut dalam situasi dan kondisi yang menuntut
kemampuan fisik dan psikis sekaligus?

Imam Ahmad meriwayatkan bahwa enam orang wanita mukmin turut
serta dengan pasukan yang mengepung Khaibar. Mereka memungut
anak-anak panah, mengadoni tepung, mengobati yang sakit,
mengepang rambut, turut berperang di jalan Allah, dan Nabi
saw memberi mereka bagian dari rampasan perang.

Bahkan terdapat riwayat yang sahih yang menceritakan bahwa
sebagian istri para sahabat ada yang turut serta dalam
peperangan Islam dengan memanggul senjata, ketika ada
kesempatan bagi mereka. Sudah dikenal bagaimana yang
dilakukan Ummu Ammarah Nusaibah binti Ka'ab dalam perang
Uhud, sehingga Nabi saw. bersabda mengenai dia, "Sungguh
kedudukannya lebih baik daripada si Fulan dan si Fulan."

Demikian pula Ummu Sulaim menghunus badik pada waktu perang
Hunain untuk menusuk perut musuh yang mendekat kepadanya.

Imam Muslim meriwayatkan dari Anas, anaknya (anak Ummu
Sulaim) bahwa Ummu Sulaim menghunus badik pada waktu perang
Hunain, maka Anas menyertainya. Kemudian suami Ummu Sulaim
Abu Thalhah, melihatnya lantas berkata, "Wahai Rasulullah,
ini Ummu Sulaim membawa badik." Lalu Rasululah saw. bertanya
kepada Ummu Sulaim, "Untuk apa badik ini? Ia menjawab, "Saya
mengambilnya, apabila ada salah seorang musyrik mendekati
saya akan saya tusuk perutnya dengan badik ini." Kemudian
Rasulullah saw. tertawa.5

Imam Bukhari telah membuat bab tersendiri didalam Shahih-nya
mengenai peperangan yang dilakukan kaum wanita.

Ambisi kaum wanita muslimah pada zaman Nabi saw. untuk turut
perang tidak hanya peperangan dengan negara-negara tetangga
atau yang berdekatan dengan negeri Arab seperti Khaibar dan
Hunain saja tetapi mereka juga ikut melintasi lautan dan
ikut menaklukkan daerah-daerah yang jauh guna menyampaikan
risalah Islam.

Diriwayatkan dalam Shahih Bukhari dan Muslim dari Anas bahwa
pada suatu hari Rasulullah saw. tidur siang di sisi Ummu
Haram binti Mulhan - bibi Anas - kemudian beliau bangun
seraya tertawa. Lalu Ummu Haram bertanya, "Mengapa engkau
tertawa, wahai Rasulullah?" Beliau bersabda, "Ada beberapa
orang dari umatku yang diperlihatkan kepadaku berperang fi
sabilillah. Mereka menyeberangi lautan seperti raja-raja
naik kendaraan." Ummu Haram berkata, "Wahai Rasulullah,
doakanlah kepada Allah agar Dia menjadikan saya termasuk
diantara mereka." Lalu Rasulullah saw. mendoakannya.6

Dikisahkan bahwa Ummu Haram ikut menyeberangi lautan pada
zaman Utsman bersama suaminya Ubadah bin Shamit ke Qibris.
Kemudian ia jatuh dari kendaraannya (setelah menyeberang)
disana, lalu meninggal dan dikubur di negeri tersebut,
sebagaimana yang dikemukakan oleh para ahli sejarah.7

Dalam kehidupan bermasyarakat kaum wanita juga turut serta
berdakwah: menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah dari
perbuatan munkar, sebagaimana firman Allah:

"Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan
sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang
lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah
dari yang munkar..." (at-Taubah: 71 )

Diantara peristiwa yang terkenal ialah kisah salah seorang
wanita muslimah pada zaman khalifah Umar bin Khattab yang
mendebat beliau di sebuah masjid. Wanita tersebut menyanggah
pendapat Umar mengenai masalah mahar (mas kawin), kemudian
Umar secara terang-terangan membenarkan pendapatnya, seraya
berkata, "Benar wanita itu, dan Umar keliru." Kisah ini
disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam menafsirkan surat
an-Nisa', dan beliau berkata, "Isnadnya bagus." Pada masa
pemerintahannya, Umar juga telah mengangkat asy-Syifa binti
Abdullah al-Adawiyah sebagai pengawas pasar.

Orang yang mau merenungkan Al-Qur'an dan hadits tentang
wanita dalam berbagai masa dan pada zaman kehidupan para
rasul atau nabi, niscaya ia tidak merasa perlu mengadakan
tabir pembatas yang dipasang oleh sebagian orang antara
laki-laki dengan perempuan.

Kita dapati Musa - ketika masih muda dan gagah perkasa -
bercakap-cakap dengan dua orang gadis putri seorang syekh
yang telah tua (Nabi Syusaib; ed.). Musa bertanya kepada
mereka dan mereka pun menjawabnya dengan tanpa merasa
berdosa atau bersalah, dan dia membantu keduanya dengan
sikap sopan dan menjaga diri. Setelah Musa membantunya,
salah seorang di antara gadis tersebut datang kepada Musa
sebagai utusan ayahnya untuk memanggil Musa agar menemui
ayahnya. Kemudian salah seorang dari kedua gadis itu
mengajukan usul kepada ayahnya agar Musa dijadikan
pembantunya, karena dia seorang yang kuat dan dapat
dipercaya.

Marilah kita baca kisah ini dalam Al-Qur'an:

"Dan tatkala ia (Musa) sampai di sumber air negeri Madyan ia
menjumpai disana sekumpulan orang yang sedang meminumi
(ternaknya), dan ia menjumpai di belakang orang banyak itu,
dua orang wanita yang sedang menghambat (ternaknya). Musa
berkata, 'Apakah maksudmu (dengan berbuat begitu.?)' Kedua
wanita itu menjawab, 'Kami tidak dapat meminumi (ternak
kami), sebelum penggembala-penggembala itu memulangkan
(ternaknya), sedangkan bapak kami adalah orang tua yang
telah lanjut umurnya.' Maka Musa memberi minum ternak itu
untuk (menolong) keduanya, kemudian dia kembali ke tempat
yang teduh lalu berdoa, 'Ya Tuhanku, sesungguhnya aku sangat
memerlukan sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku.'
Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua
wanita itu berjalan kemalu-maluan, ia berkata, 'Sesungguhnya
bapakku memanggil kamu agar ia memberi balasan terhadap
(kebaikan)-mu memberi minum (ternak)kami.' Maka tatkala Musa
mendatangi bapaknya (Syu'aib) dan menceritakan kepadanya
cerita (mengenai dirinya), Syu'aib berkata, 'Janganlah kamu
takut. Kamu telah selamat dari orang-orang yang zalim itu.'
Salah seorang dari kedua wanita itu berkata, 'Ya bapakku,
ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena
sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk
bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat
dipercaya.'" (al-Qashash: 23-26)



Mengenai Maryam, kita jumpai Zakaria masuk ke mihrabnya dan
menanyakan kepadanya tentang rezeki yang ada di sisinya:

"... Setiap Zakaria masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia
dapati makanan di sisinya. Zakaria berkata, 'Hai Maryam,
dari mana kamu memperoleh (makanan) ini?' Maryam menjawab,
'Makanan itu dari sisi Allah.' Sesungguhnya Allah memberi
rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa hisab."(Ali
Imran: 37)

Lihat pula tentang Ratu Saba, yang mengajak kaumnya
bermusyawarah mengenai masalah Nabi Sulaiman:

"Berkata dia (Bilqis), 'Hai para pembesar, berilah aku
pertimbangan dalam urusanku (ini) aku tidak pernah
memutuskan sesuatu persoalan sebelum kamu berada dalam
majlis-(ku).' Mereka menjawab, 'Kita adalah orang-orang yang
memilih kekuatan dan (juga) memilih keberanian yang sangat
(dalam peperangan), dan keputusan berada di tanganmu; maka
pertimbangkanlah apa yang akan kamu perintahkan.' Dia
berkata, 'Sesungguhnya raja-raja apabila memasuki suatu
negeri, niscaya mereka membinasakannya dan menjadikan
penduduknya yang mulia jadi hina; dan demikian pulalah yang
akan mereka perbuat." (an-Naml 32-34)

Berikut ini percakapan antara Bilqis dan Sulaiman:

"Dan ketika Bilqis datang, ditanyakantah kepadanya, 'Serupa
inikah singgasanamu?' Dia menjawab, 'Seakan akan
singgasanamu ini singgasanaku, kami telah diberi pengetahuan
sebelumnya dan kamõ adalah orang-orang yang berserah diri.'
Dan apa yang disembahnya selama ini selain Allah,
mencegahnya (untuk melahirkan keislamannya), karena
sesungguhnya dia dahulunya termasuk orang-orang yang kafir.
Dikatakan kepadanya, 'Masuk1ah ke dalam istana.' Maka
tatka1a ia melihat lantai istana itu, dikiranya kolam air
yang besar, dan disingkapkannya kedua betisnya. Berkatalah
Sulaiman, 'Sesungguhnya ia adalah istana licin terbuat dari
kaca. 'Berkata1ah Bilqis, 'Ya Tuhanku, sesungguhnya aku
telah berbuat zalim terhadap diriku dan aku berserah diri
bersama Sulaiman kepada Allah, Tuhan semesta
alam.'"(an-Naml: 42-44)

Kita tidak boleh mengatakan "bahwa syariat (dalam kisah di
atas) adalah syariat yang hanya berlaku pada zaman sebelum
kita (Islam) sehingga kita tidak perlu mengikutinya."
Bagaimanapun, kisah-kisah yang disebutkan dalam Al-Qur'an
tersebut dapat dijadikan petunjuk, peringatan, dan pelajaran
bagi orang-orang berpikiran sehat. Karena itu, perkataan
yang benar mengenai masalah ini ialah "bahwa syariat orang
sebelum kita yang tercantum dalam Al-Qur' an dan As-Sunnah
adalah menjadi syariat bagi kita, selama syariat kita tidak
menghapusnya."

Allah telah berfirman kepada Rasul-Nya:

"Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh
Allah, maka ikutilah petunjuk mereka ..." (al-An'am: 90)

Sesungguhnya menahan wanita dalam rumah dan membiarkannya
terkurung didalamnya dan tidak memperbolehkannya keluar dari
rumah oleh Al-Qur'an - pada salah satu tahap diantara
tahapan-tahapan pembentukan hukum sebelum turunnya nash yang
menetapkan bentuk hukuman pezina sebagaimana yang terkenal
itu - ditentukan bagi wanita muslimah yang melakukan
perzinaan. Hukuman ini dianggap sebagai hukuman yang sangat
berat. Mengenai masalah ini Allah berfirman:

"Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji,
hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang
menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi
persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam
rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai memberi
jalan lain kepadanya." (an-Nisa': 15 )

Setelah itu Allah memberikan jalan bagi mereka ketika Dia
mensyariatkan hukum had, yaitu hukuman tertentu dalam syara'
sebagai hak Allah Ta'ala. Hukuman tersebut berupa hukuman
dera (seratus kali) bagi ghairu muhshan (laki-laki atau
wanita belum kawin) menurut nash Al-Qur'an, dan hukum rajam
bagi yang mahshan (laki-laki atau wanita yang sudah kawin)
sebagaimana disebutkan dalam As-Sunnah.

Jadi, bagaimana mungkin logika Al-Qur'an dan Islam akan
menganggap sebagai tindakan lurus dan tepat jika wanita
muslimah yang taat dan sopan itu harus dikurung dalam rumah
selamanya? Jika kita melakukan hal itu, kita seakan-akan
menjatuhkan hukuman kepadanya selama-lamanya, padahal dia
tidak berbuat dosa.

KESIMPULAN

Dari penjelasan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa
pertemuan antara laki-laki dengan perempuan tidak haram,
melainkan jaiz (boleh). Bahkan, hal itu kadang-kadang
dituntut apabila bertujuan untuk kebaikan, seperti dalam
urusan ilmu yang bermanfaat, amal saleh, kebajikan,
perjuangan, atau lain-lain yang memerlukan banyak tenaga,
baik dari laki-laki maupun perempuan.

Namun, kebolehan itu tidak berarti bahwa batas-batas
diantara keduanya menjadi lebur dan ikatan-ikatan syar'iyah
yang baku dilupakan. Kita tidak perlu menganggap diri kita
sebagai malaikat yang suci yang dikhawatirkan melakukan
pelanggaran, dan kita pun tidak perlu memindahkan budaya
Barat kepada kita. Yang harus kita lakukan ialah bekerja
sama dalam kebaikan serta tolong-menolong dalam kebajikan
dan takwa, dalam batas-batas hukum yang telah ditetapkan
oleh Islam. Batas-batas hukum tersebut antara lain:

1. Menahan pandangan dari kedua belah pihak. Artinya, tidak
boleh melihat aurat, tidak boleh memandang dengan syahwat,
tidak berlama-lama memandang tanpa ada keperluan. Allah
berfirman:

"Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman,
'Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara
kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi
mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang
mereka perbuat.' Katakanlah kepada wanita yang beriman,
'Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara
kemaluannya ..."(an-Nur: 30-31)

2. Pihak wanita harus mengenakan pakaian yang sopan yang
dituntunkan syara', yang menutup seluruh tubuh selain muka
dan telapak tangan. Jangan yang tipis dan jangan dengan
potongan yang menampakkan bentuk tubuh. Allah berfirman:

"... dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali
yang biasa tampak daripadanya. Dan hendaklah mereka
menutupkan kain kudung ke dadanya ..." (an-Nur: 31 )

Diriwayatkan dari beberapa sahabat bahwa perhiasan yang
biasa tampak ialah muka dan tangan.

Allah berfirman mengenai sebab diperintahkan-Nya berlaku
sopan:

"... Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk
dikenal, karena itu mereka tidak diganggu ..." (al-Ahzab:
59)

Dengan pakaian tersebut, dapat dibedakan antara wanita yang
baik-baik dengan wanita nakal. Terhadap wanita yang
baik-baik, tidak ada laki-laki yang suka mengganggunya,
sebab pakaian dan kesopanannya mengharuskan setiap orang
yang melihatnya untuk menghormatinya.

3. Mematuhi adab-adab wanita muslimah dalam segala hal,
terutama dalam pergaulannya dengan laki-laki:

a. Dalam perkataan, harus menghindari perkataan yang merayu
dan membangkitkan rangsangan. Allah berfirman:

"... Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga
berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan
ucapkanlah perkataan yang baik." (al-Ahzab: 32)

b. Dalam berjalan, jangan memancing pandangan orang. Firman
Allah:

"... Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui
perhiasan yang mereka sembunyikan..." (an-Nur: 31)

Hendaklah mencontoh wanita yang diidentifikasikan oleh Allah
dengan firman-Nya:

"Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua
wanita itu berjalan kemalu-maluan ..." (al-Qashash: 25)

c. Dalam gerak, jangan berjingkrak atau berlenggak-lenggok,
seperti yang disebut dalam hadits:

"(Yaitu) wanita-wanita yang menyimpang dari ketaatan dan
menjadikan hati laki-laki cenderung kepada kerusakan
(kemaksiatan).8 HR Ahmad dan Muslim)

Jangan sampai ber-tabarruj (menampakkan aurat) sebagaimana
yang dilakukan wanita-wanita jahiliah tempo dulu atau pun
jahiliah modern

4. Menjauhkan diri dari bau-bauan yang harum dan warna-warna
perhiasan yang seharusnya dipakai di rumah, bukan di jalan
dan di dalam pertemuan-pertemuan dengan kaum laki-laki.

5. Jangan berduaan (laki-laki dengan perempuan) tanpa
disertai mahram. Banyak hadits sahih yang melarang hal ini
seraya mengatakan, 'Karena yang ketiga adalah setan.'

Jangan berduaan sekalipun dengan kerabat suami atau istri.
Sehubungan dengan ini, terdapat hadits yang berbunyi:

"Jangan kamu masuk ke tempat wanita." Mereka (sahabat)
bertanya, "Bagaimana dengan ipar wanita." Beliau menjawab,
"Ipar wanita itu membahayakan." (HR Bukhari)

Maksudnya, berduaan dengan kerabat suami atau istri dapat
menyebabkan kebinasaan, karena bisa jadi mereka duduk
berlama-lama hingga menimbulkan fitnah.

6. Pertemuan itu sebatas keperluan yang dikehendaki untuk
bekerja sama, tidak berlebih-lebihan yang dapat mengeluarkan
wanita dari naluri kewanitaannya, menimbulkan fitnah, atau
melalaikannya dari kewajiban sucinya mengurus rumah tangga
dan mendidik anak-anak.

Catatan kaki:

1 Shahih Muslim, "Kitab Shalatul Idain," hadits nomor 823.
2 Hadits riwayat Bukhari dalam Shahih-nya, "Kitab al-Ilm."
3 Shahih Muslim, hadits nomor 1812.
4 Shahih Muslim, nomor 1811.
5 Shahih Muslim, nomor 1809.
6 Shahih Muslim, hadits nomor 1912.
7 Lihat Shahih Muslim pada nomor-nomor setelah hadits
di atas. (penj.).
8 Mumiilat dan Maailaat mengandung empat macam pengertian.
Pertama, menyimpang dari menaati Allah dan tidak mau
memenuhi kewajiban-kewajibannya seperti menjaga kehormatan
dan sebagainya, dan mengajari wanita lain supaya berbuat
seperti ite. Kedua, berjalan dengan sombong dan melenggak-
lenggokkan pundaknya (tubuhnya). Ketiga, maailaat, menyisir
rambutnya sedemikian rupa dengan gaya pelacur.
Mumiilaat: menyisir wanita lain seperti sisirannya.
Keempat, cenderung kepada laki-laki dan berusaha menariknya
dengan menampakkan perhiasannya dan sebagainya
(Syarah Muslim, 17: 191 penj.).

HAK ASASI MANUSIA DALAM ISLAM

(1) HAM Menurut Konsep Barat

stilah hak asasi manusia baru muncul setelah Revolusi Perancis, dimana para tokoh borjuis berkoalisi dengan tokoh-tokoh gereja untuk merampas hak-hak rakyat yang telah mereka miliki sejak lahir. Akibat dari penindasan panjang yang dialami masyarakat Eropa dari kedua kaum ini, muncullah perlawanan rakyat dan yang akhirnya berhasil memaksa para raja mengakui aturan tentang hak asasi manusia.

Diantaranya adalah pengumuman hak asasi manusia dari Raja John kepada rakyat Inggris tahun 1216. Di Amerika pengumuman dilakukan tahun 1773. Hak asasi ini lalu diadopsi oleh tokoh-tokoh Revolusi Perancis dalam bentuk yang lebih jelas dan luas, serta dideklarasikan pada 26 Agustus 1789. Kemudian deklarasi Internasional mengenai hak-hak asasi manusia dikeluarkan pada Desember 1948.

Akan tetapi sebenarnya bagi masyarakat muslim, belum pernah mengalami penindasan yang dialami Eropa, dimana sistem perundang-undangan Islam telah menjamin hak-hak asasi bagi semua orang sesuai dengan aturan umum yang diberikan oleh Allah kepada seluruh ummat manusia.

Dalam istilah modern, yang dimaksud dengan hak adalah wewenang yang diberikan oleh undang-undang kepada seseorang atas sesuatu tertentu dan nilai tertentu. Dan dalam wacana modern ini, hak asasi dibagi menjadi dua:

1. Hak asasi alamiah manusia sebagai manusia, yaitu menurut kelahirannya, seperti: hak hidup, hak kebebasan pribadi dan hak bekerja.
1. Hak asasi yang diperoleh manusia sebagai bagian dari masyarakat sebagai anggota keluarga dan sebagai individu masyarakat, seperti: hak memiliki, hak berumah-tangga, hak mendapat keamanan, hak mendapat keadilan dan hak persamaan dalam hak.

Terdapat berbagai klasifikasi yang berbeda mengenai hak asasi manusia menurut pemikiran barat, diantaranya :

1. Pembagian hak menurut hak materiil yang termasuk di dalamnya; hak keamanan, kehormatan dan pemilihan serta tempat tinggal, dan hak moril, yang termasuk di dalamnya: hak beragama, hak sosial dan berserikat.
1. Pembagian hak menjadi tiga: hak kebebasan kehidupan pribadi, hak kebebasan kehidupan rohani, dan hak kebebasan membentuk perkumpulan dan perserikatan.
1. Pembagian hak menjadi dua: kebebasan negatif yang memebentuk ikatan-ikatan terhadap negara untuk kepentingan warga; kebebasan positif yang meliputi pelayanan negara kepada warganya.

Dapat dimengerti bahwa pembagian-pembagian ini hanya melihat dari sisi larangan negara menyentuh hak-hak ini. Sebab hak asasi dalam pandangan barat tidak dengan sendirinya mengharuskan negara memberi jaminan keamanan atau pendidikan, dan lain sebagainya. Akan tetapi untuk membendung pengaruh Sosialisme dan Komunisme, partai-partai politik di Barat mendesak agar negara ikut campur-tangan dalam memberi jaminan hak-hak asasi seperti untuk bekerja dan jaminan sosial.



(2) HAM Menurut Konsep Islam

ak asasi dalam Islam berbeda dengan hak asasi menurut pengertian yang umum dikenal. Sebab seluruh hak merupakan kewajiban bagi negara maupun individu yang tidak boleh diabaikan. Rasulullah saw pernah bersabda: "Sesungguhnya darahmu, hartamu dan kehormatanmu haram atas kamu." (HR. Bukhari dan Muslim). Maka negara bukan saja menahan diri dari menyentuh hak-hak asasi ini, melainkan mempunyai kewajiban memberikan dan menjamin hak-hak ini.

Sebagai contoh, negara berkewajiban menjamin perlindungan sosial bagi setiap individu tanpa ada perbedaan jenis kelamin, tidak juga perbedaan muslim dan non-muslim. Islam tidak hanya menjadikan itu kewajiban negara, melainkan negara diperintahkan untuk berperang demi melindungi hak-hak ini. Dari sinilah kaum muslimin di bawah Abu Bakar memerangi orang-orang yang tidak mau membayar zakat.

Negara juga menjamin tidak ada pelanggaran terhadap hak-hak ini dari pihak individu. Sebab pemerintah mempunyai tuga sosial yang apabila tidak dilaksanakan berarti tidak berhak untuk tetap memerintah. Allah berfirman:
"Yaitu orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukannya di muka bumi, niscaya mereka menegakkan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah perbuatan munkar. Dan kepada Allah-lah kembali semua urusan." (QS. 22: 4)

Jaminan Hak Pribadi

Jaminan pertama hak-hak pribadi dalam sejarah umat manusia adalah dijelaskan Al-Qur’an:
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya... dst." (QS. 24: 27-28)

Dalam menjelaskan ayat ini, Ibnu Hanbal dalam Syarah Tsulatsiyah Musnad Imam Ahmad menjelaskan bahwa orang yang melihat melalui celah-celah ointu atau melalui lubang tembok atau sejenisnya selain membuka pintu, lalu tuan rumah melempar atau memukul hingga mencederai matanya, maka tidak ada hukuman apapun baginya, walaupun ia mampu membayar denda.

Jika mencari aib orang dilarang kepada individu, maka itu dilarang pula kepada negara. Penguasa tidak dibenarkan mencari-cari kesalahan rakyat atau individu masyarakat. Rasulullah saw bersabda: "Apabila pemimpin mencari keraguan di tengah manusia, maka ia telah merusak mereka." Imam Nawawi dalam Riyadus-Shalihin menceritakan ucapan Umar: "Orang-orang dihukumi dengan wahyu pada masa rasulullah saw. Akan tetapi wahyu telah terhenti. Oleh karenanya kami hanya menghukumi apa yang kami lihat secara lahiriah dari amal perbuatan kalian."

Muhammad Ad-Daghmi dalam At-Tajassus wa Ahkamuhu fi Syari’ah Islamiyah mengungkapkan bahwa para ulama berpendapat bahwa tindakan penguasa mencari-cari kesalahan untuk mengungkap kasus kejahatan dan kemunkaran, menggugurkan upayanya dalam mengungkap kemunkaran itu. Para ulama menetapkan bahwa pengungkapan kemunkaran bukan hasil dari upaya mencari-cari kesalahan yang dilarang agama.

Perbuatan mencari-cari kesalahan sudah dilakukan manakala muhtasib telah berupaya menyelidiki gejala-gejala kemunkaran pada diri seseorang, atau dia telah berupaya mencari-cari bukti yang mengarah kepada adanya perbuatan kemunkaran. Para ulama menyatakan bahwa setiap kemunkaran yang berlum tampak bukti-buktinya secara nyata, maka kemunkaran itu dianggap kemunkaran tertutup yang tidak dibenarkan bagi pihak lain untuk mengungkapkannya. Jika tidak, maka upaya pengungkapan ini termasuk tajassus yang dilarang agama.



(3) Nash Qur’an dan Sunnah tentang HAM

eskipun dalam Islam, hak-hak asasi manusia tidak secara khusus memiliki piagam, akan tetapi Al-Qur’an dan As-Sunnah memusatkan perhatian pada hak-hak yang diabaikan pada bangsa lain. Nash-nash ini sangat banyak, antara lain:

1. Dalam al-Qur’an terdapat sekitar empat puluh ayat yang berbicara mengenai paksaan dan kebencian. Lebih dari sepuluh ayat bicara larangan memaksa, untuk menjamin kebebasan berfikir, berkeyakinan dan mengutarakan aspirasi. Misalnya: "Kebenaran itu datangnya dari Rabb-mu, barangsiapa yang ingin beriman hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin kafir, biarlah ia kafir." (QS. 18: 29)
1. Al-Qur’an telah mengetengahkan sikap menentang kedzaliman dan orang-orang yang berbuat dzalim dalam sekitar tiga ratus dua puluh ayat, dan memerintahkan berbuat adil dalam lima puluh empat ayat yang diungkapkan dengan kata-kata: ‘adl, qisth dan qishas.
1. Al-Qur’an mengajukan sekitar delapan puluh ayat tentang hidup, pemeliharaan hidup dan penyediaan sarana hidup. Misalnya: "Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan ia telah membunuh manusia seluruhnya." (QS. 5: 32). Juga Qur’an bicara kehormatan dalam sekitar dua puluh ayat.
1. Al-Qur’an menjelaskan sekitar seratus lima puluh ayat tentang ciptaan dan makhluk-makhluk, serta tentang persamaan dalam penciptaan. Misalnya: "... Orang yang paling mulia diantara kamu adalah yang paling bertawa diantara kamu." (QS. 49: 13)
1. Pada haji wada’ Rasulullah menegaskan secara gamblang tentang hak-hak asasi manusia, pada lingkup muslim dan non-muslim, pemimpin dan rakyat, laki-laki dan wanita. Pada khutbah itu nabi saw juga menolak teori Yahudi mengenai nilai dasar keturunan.

Manusia di mata Islam semua sama, walau berbeda keturunan, kekayaan, jabatan atau jenis kelamin. Ketaqwaan-lah yang membedakan mereka. Rakyat dan penguasa juga memiliki persamaan dalam Islam. Yang demikian ini hingga sekarang belum dicapai oleh sistem demokrasi modern. Nabi saw sebagai kepala negara juga adalah manusia biasa, berlaku terhadapnya apa yang berlaku bagi rakyat. Maka Allah memerintahkan beliau untuk menyatakan: "Katakanlah bahwa aku hanyalah manusia biasa, hanya saja aku diberi wahyu, bahwa Tuhanmu adalah Tuhan yang Esa." (QS. 18: 110).



(4) Rumusan HAM dalam Islam

pa yang disebut dengan hak asasi manusia dalam aturan buatan manusia adalah keharusan (dharurat) yang mana masyarakat tidak dapat hidup tanpa dengannya. Para ulama muslim mendefinisikan masalah-masalah dalam kitab Fiqh yang disebut sebagai Ad-Dharurat Al-Khams, dimana ditetapkan bahwa tujuan akhir syari’ah Islam adalah menjaga akal, agama, jiwa, kehormatan dan harta benda manusia.

Nabi saw telah menegaskan hak-hak ini dalam suatu pertemuan besar internasional, yaitu pada haji wada’. Dari Abu Umamah bin Tsa’labah, nabi saw bersabda: "Barangsiapa merampas hak seorang muslim, maka dia telah berhak masuk neraka dan haram masuk surga." Seorang lelaki bertanya: "Walaupun itu sesuatu yang kecil, wahay rasulullah ?" Beliau menjawab: "Walaupun hanya sebatang kayu arak." (HR. Muslim).

Islam berbeda dengan sistem lain dalam hal bahwa hak-hak manusia sebagai hamba Allah tidak boleh diserahkan dan bergantung kepada penguasa dan undang-undangnya. Tetapi semua harus mengacu pada hukum Allah. Sampai kepada soal shadaqah tetap dipandang sebagaimana hal-hal besar lain. Misalnya Allah melarang bershadaqah (berbuat baik) dengan hal-hal yang buruk. "Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan dari padanya..." (QS. 2: 267).

1. Hak-hak Alamiah

Hak-hak alamiah manusia telah diberikan kepada seluruh ummat manusia sebagai makhluk yang diciptakan dari unsur yang sama dan dari sumber yang sama pula (lihat QS. 4: 1, QS. 3: 195).

a. Hak Hidup

Allah menjamin kehidupan, diantaranya dengan melarang pembunuhan dan meng-qishas pembunuh (lihat QS. 5: 32, QS. 2: 179). Bahkan hak mayit pun dijaga oleh Allah. Misalnya hadist nabi: "Apabila seseorang mengkafani mayat saudaranya, hendaklah ia mengkafani dengan baik." Atau "Janganlah kamu mencaci-maki orang yang sudah mati. Sebab mereka telah melewati apa yang mereka kerjakan." (Keduanya HR. Bukhari).

b. Hak Kebebasan Beragama dan Kebebasan Pribadi

Kebebasan pribadi adalah hak paling asasi bagi manusia, dan kebebasan paling suci adalah kebebasan beragama dan menjalankan agamanya, selama tidak mengganggu hak-hak orang lain. Firman Allah: "Dan seandainya Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman orang di muka bumi seluruhnya. Apakah kamu memaksa manusia supaya mereka menjadi orang beriman semuanya?" (QS. 10: 99).

Untuk menjamin kebebasan kelompok, masyarakat dan antara negara, Allah memerintahkan memerangi kelompok yang berbuat aniaya terhadap kelompok lain (QS. 49: 9). Begitu pula hak beribadah kalangan non-muslim. Khalifah Abu Bakar menasehati Yazid ketika akan memimpin pasukan: "Kamu akan menemukan kaum yang mempunyai keyakinan bahwa mereka tenggelam dalam kesendirian beribadah kepada Allah di biara-biara, maka biarkanlah mereka." Khalid bin Walid melakukan kesepakatan dengan penduduk Hirah untuk tidak mengganggu tempat peribadahan (gereja dan sinagog) mereka serta tidak melarang upacara-upacaranya.

Kerukunan hidup beragama bagi golongan minoritas diatur oleh prinsip umum ayat "Tidak ada paksaan dalam beragama." (QS. 2: 256).

Sedangkan dalam masalah sipil dan kehidupan pribadi (ahwal syakhsiyah) bagi mereka diatur syari’at Islam dengan syarat mereka bersedia menerimanya sebagai undang-undang. Firman Allah: "Apabila mereka (orang Yahudi) datang kepadamu minta keputusan, berilah putusan antara mereka atau biarkanlah mereka. Jika engkau biarkan mereka, maka tidak akan mendatangkan mudharat bagimu. Jika engkau menjatuhkan putusan hukum, hendaklah engkau putuskan dengan adil. Sesungguhnya Allah mengasihi orang-orang yang adil." (QS. 5: 42). Jika mereka tidak mengikuti aturan hukum yang berlaku di negara Islam, maka mereka boleh mengikuti aturan agamanya - selama mereka berpegang pada ajaran yang asli. Firman Allah: "Dan bagaimana mereka mengangkat kamu sebagai hakim, sedangkan ada pada mereka Taurat yang di dalamnya ada hukum Allah? Kemudian mereka tidak mengindahkan keputusanmu. Sesungguhnya mereka bukan orang-orang yang beriman ." (QS.5: 7).

c. Hak Bekerja

Islam tidak hanya menempatkan bekerja sebagai hak tetapi juga kewajiban. Bekerja merupakan kehormatan yang perlu dijamin. Nabi saw bersabda: "Tidak ada makanan yang lebih baik yang dimakan seseorang daripada makanan yang dihasilkan dari usaha tangannya sendiri." (HR. Bukhari). Dan Islam juga menjamin hak pekerja, seperti terlihat dalam hadist: "Berilah pekerja itu upahnya sebelum kering keringatnya." (HR. Ibnu Majah).

2. Hak Hidup

Islam melindungi segala hak yang diperoleh manusia yang disyari’atkan oleh Allah. Diantara hak-hak ini adalah :

a. Hak Pemilikan

Islam menjamin hak pemilikan yang sah dan mengharamkan penggunaan cara apapun untuk mendapatkan harta orang lain yang bukan haknya, sebagaimana firman Allah: "Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain diantara kamu dengan jalan bathil dan janganlah kamu bawa urusan harta itu kepada hakim agar kamu dapat memakan sebagian harta benda orang lain itu dengan jalan berbuat dosa padahal kamu mengetahuinya." (QS. 2: 188). Oleh karena itulah Islam melarang riba dan setiap upaya yang merugikan hajat manusia. Islam juga melarang penipuan dalam perniagaan. Sabda nabi saw: "Jual beli itu dengan pilihan selama antara penjual dan pembeli belum berpisah. Jika keduanya jujur dalam jual-beli, maka mereka diberkahi. Tetapi jika berdusta dan menipu berkah jual-bei mereka dihapus." (HR. Al-Khamsah)

Islam juga melarang pencabutan hak milik yang didapatkan dari usaha yang halal, kecuali untuk kemashlahatan umum dan mewajibkan pembayaran ganti yang setimpal bagi pemiliknya. Sabda nabi saw: "Barangsiapa mengambil hak tanah orang lain secara tidak sah, maka dia dibenamkan ke dalam bumi lapis tujuh pada hari kiamat." Pelanggaran terhadap hak umum lebih besar dan sanksinya akan lebih berat, karena itu berarti pelanggaran tehadap masyarakat secara keseluruhan.

b. Hak Berkeluarga

Allah menjadikan perkawinan sebagai sarana mendapatkan ketentraman. Bahkan Allah memerintahkan para wali mengawinkan orang-orang yang bujangan di bawah perwaliannya (QS. 24: 32). Aallah menentukan hak dan kewajiban sesuai dengan fithrah yang telah diberikan pada diri manusia dan sesuai dengan beban yang dipikul individu.

Pada tingkat negara dan keluarga menjadi kepemimpinan pada kepala keluarga yaitu kaum laki-laki. Inilah yang dimaksudkan sebagai kelebihan laki-laki atas wanita (QS. 4: 34). Tetapi dalam hak dan kewajiban masing-masing memiliki beban yang sama. "Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf, akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan dari istrinya." (QS. 2: 228)

c. Hak Keamanan

Dalam Islam, keamanan tercermin dalam jaminan keamanan mata pencaharian dan jaminan keamanan jiwa serta harta benda. Firman Allah: "Allah yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan." (QS. Quraisy: 3-4).

Diantara jenis keamanan adalah dilarangnya memasuki rumah tanpa izin (QS. 24: 27). Jika warga negara tidak memiliki tempat tinggal, negara berkewajiban menyediakan baginya. Termasuk keamanan dalam Islam adalah memberi tunjangan kepada fakir miskin, anak yatim dan yang membutuhkannya. Oleh karena itulah, Umar bin Khattab menerapkan tunjangan sosial kepada setiap bayi yang lahir dalam Islam baik miskin ataupun kaya. Dia berkata: "Demi Allah yang tidak ada sembahan selain Dia, setiap orang mempunyai hak dalam harta negara ini, aku beri atau tidak aku beri." (Abu Yusuf dalam Al-Kharaj). Umar jugalah yang membawa seorang Yahudi tua miskin ke petugas Baitul-Maal untuk diberikan shadaqah dan dibebaskan dari jizyah.

Bagi para terpidana atau tertuduh mempunyai jaminan keamanan untuk tidak disiksa atau diperlakukan semena-mena. Peringatan rasulullah saw: "Sesungguhnya Allah menyiksa orang-orang yang menyiksa manusia di dunia." (HR. Al-Khamsah). Islam memandang gugur terhadap keputusan yang diambil dari pengakuan kejahatan yang tidak dilakukan. Sabda nabi saw: "Sesungguhnya Allah menghapus dari ummatku kesalahan dan lupa serta perbuatan yang dilakukan paksaan" (HR. Ibnu Majah).

Diantara jaminan keamanan adalah hak mendpat suaka politik. Ketika ada warga tertindas yang mencari suaka ke negeri yang masuk wilayah Darul Islam. Dan masyarakat muslim wajib memberi suaka dan jaminan keamanan kepada mereka bila mereka meminta. Firman Allah: "Dan jika seorang dari kaum musyrikin minta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ke tempat yang aman baginya." (QS. 9: 6).

d. Hak Keadilan

Diantara hak setiap orang adalah hak mengikuti aturan syari’ah dan diberi putusan hukum sesuai dengan syari’ah (QS. 4: 79). Dalam hal ini juga hak setiap orang untuk membela diri dari tindakan tidak adil yang dia terima. Firman Allah swt: "Allah tidak menyukai ucapan yang diucapkan terus-terang kecuali oleh orang yang dianiaya." (QS. 4: 148).

Merupakan hak setiap orang untuk meminta perlindungan kepada penguasa yang sah yang dapat memberikan perlindungan dan membelanya dari bahaya atau kesewenang-wenangan. Bagi penguasa muslim wajib menegakkan keadilan dan memberikan jaminan keamanan yang cukup. Sabda nabi saw: "Pemimpin itu sebuah tameng, berperang dibaliknya dan berlindung dengannya." (HR. Bukhari dan Muslim).

Termasuk hak setiap orang untuk mendapatkan pembelaan dan juga mempunyai kewajiban membela hak orang lain dengan kesadarannya. Rasulullah saw bersabda: "Maukah kamu aku beri tahu saksi yang palng baik? Dialah yang memberi kesaksian sebelum diminta kesaksiannya." (HR. Muslim, Abu Daud, Nasa’i dan Tirmidzi). Tidak dibenarkan mengambil hak orang lain untuk membela dirinya atas nama apapun. Sebab rasulullah menegaskan: "Sesungguhnya pihak yang benar memiliki pembelaan." (HR. Al-Khamsah). Seorang muslim juga berhak menolak aturan yang bertentangan dengan syari’ah, dan secara kolektif diperintahkan untuk mengambil sikap sebagai solidaritas terhadap sesama muslim yang mempertahankan hak.

e. Hak Saling Membela dan Mendukung

Kesempurnaan iman diantaranya ditunjukkan dengan menyampaikan hak kepada pemiliknya sebaik mungkin, dan saling tolong-menolong dalam membela hak dan mencegah kedzaliman. Bahkan rasul melarang sikap mendiamkan sesama muslim, memutus hubungan relasi dan saling berpaling muka. Sabda nabi saw: "Hak muslim terhadap muslim ada lima: menjawab salam, menjenguk yang sakit, mengantar ke kubur, memenuhi undangan dan mendoakan bila bersin." (HR. Bukhari).

f. Hak Keadilan dan Persamaan

Allah mengutus rasulullah untuk melakukan perubahan sosial dengan mendeklarasikan persamaan dan keadilan bagi seluruh umat manusia (lihat QS. Al-Hadid: 25, Al-A’raf: 157 dan An-Nisa: 5). Manusia seluruhnya sama di mata hukum. Sabda nabi saw: "Seandainya Fathimah anak Muhammad mencuri, pasti aku potong tangannya." (HR. Bukhari dan Muslim).

Pada masa rasulullah banyak kisah tentang kesamaan dan keadilan hukum ini. Misalnya kasus putri bangsawan dari suku Makhzum yang mencuri lalu dimintai keringanan hukum oleh Usamah bin Zaid, sampai kemudian rasul menegur dengan: "... Apabila orang yang berkedudukan di antara kalian melakukan pencurian, dia dibiarkan. Akan tetapi bila orang lemah yang melakukan pencurian, mereka memberlakukan hukum kriminal..." Juga kisah raja Jabalah Al-Ghassani masuk Islam dan melakukan penganiayaan saat haji, Umar tetap memberlakukan hukum meskipun ia seorang raja. Atau kisah Ali yang mengadukan seorang Yahudi mengenai tameng perangnya, dimana Yahudi akhirnya memenangkan perkara.

Umar pernah berpesan kepada Abu Musa Al-Asy’ari ketika mengangkatnya sebagai Qadli: "Perbaikilah manusia di hadapanmu, dalam majlismu, dan dalam pengadilanmu. Sehingga seseorang yang berkedudukan tidak mengharap kedzalimanmu dan seorang yang lemah tidak putus asa atas keadilanmu."



(5) Tentang Kebebasan Mengecam Syari’ah

ebagian orang mengajak kepada kebebasan berpendapat, termasuk mengemukakan kritik terhadap kelayakan Al-Qur’an dan Sunnah sebagai pegangan hidup manusia modern. Disana terdengar suara menuntut persamaan hak laki-laki dengan wanita, kecaman terhadap poligami, tuntutan akan perkawinan campur (muslim-non muslim). Dan bahkan mereka mengajak pada pemahaman Al-Qur’an dengan mengubah inti misi Al-Qur’an.

Orang-orang dengan pandangan seperti ini pada dasarnya telah menempatkan dirinya keluar dari agama Islam (riddah) yang ancaman hukumannya sangat berat. Namun jika mayoritas ummat Islam menghendaki hukuman syari’ah atas mereka, maka jawaban mereka adalah bahwa Al-Qur’an tidak menyebutkan sanksi riddah. Dengan kata lain mereka ingin mengatakan bahwa sunnah nabi saw. Tidak memiliki kekuatan legal dalam syari’ah, termasuk sanksi riddah itu.

Untuk menjawab hal ini ada beberapa hal penting yang harus dipahami, yaitu :

1. Kebebasan yang diartikan dengan kebebasan tanpa kendali dan ikatan tidak akan dapat ditemukan di masyarakat manapun. Ikatan dan kendali ini diantaranya adalah tidak dibenarkannya keluar dari aturan umum dalam negara. Maka tidak ada kebebasan mengecam hal-hal yang dipandang oleh negara sebagai pilar-pilar pokok bagi masyarakat.
1. Islam tidak memaksa seseorang untuk masuk ke dalam Islam, melainkan menjamin kebebasan kepada non-muslim untuk menjalankan syari’at agamanya meskipun bertentangan dengan ajaran Islam. Oleh sebab itu, manakala ada seorang muslim yang mengklaim bahwa agamnya tidak sempurna, berarti ia telah melakukan kesalahan yang diancam oleh rasulullah saw: "Barangsiapa mengganti agamanya, maka bunuhlah ia." (HR. Bukhari dan Muslim).
1. Meskipun terdapat kebebasan dalam memeluk Islam, tidak berarti bagi orang yang telah masuk Islam mempunyai kebebasan untuk merubah hukum-hukum yang ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
1. Dalam Islam tidak ada konsep rahasia di tangan orang suci, dan tidak ada pula kepercayaan yang bertentangan dengan penalaran akal sehat seperti Trinita dan Kartu Ampunan. Dengan demikian, tidak ada alasan bagi penentang Islam untuk keluar dari Islam atau melakukan perubahan terhadap Islam.
1. Islam mengakui bahwa agama Ahli Kitab. Dari sini Islam membolehkan laki-laki muslim menikahi wanita Ahli Kitab, karena garis nasab dalam Islam ada di tangan laki-laki.
1. Sanksi riddah tidak dijelaskan dalam Al-Qur’an sebagaimana ibadah dan muamalah lainnya. Al-Qur’an hanya menjelaskan globalnya saja dan menugaskan rasulullah saw menjelaskan rincian hukum dan kewajiban. Firman Allah: "Dan telah Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an agar kamu menjelaskan kepada ummat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkannya." (QS. 16: 44).

Source : http://www.angelfire.com/id/sidikfound/ham.html

Minggu, 30 Mei 2010

PERGAULAN ISLAM antara Laki-Laki dan Perempuan Bekerjasama untuk Meraih Keridhoan Alloh SWT

Pergaulan Berdasarkan Sistem Islam, Bukan Nilai-nilai Barat yang Rusak

Sistem pergaulan adalah sistem yang mengatur interaksi antara laki-laki dan perempuan di tengah masyarakat. Sistem pergaulan yang diterapkan Daulah Khilafah adalah sistem berdasar pada syariah, bukan nilai-nilai Barat yang rusak. Saat ini, masyarakat Barat tengah mengalami kehancuran moral karena mengadopsi prinsip liberalisme atau “kebebasan”. Menurut paham liberalisme, setiap orang boleh berpikir, berpendapat, bertingkah laku termasuk berpakaian dan bergaul dengan bebas. Atas dasar prinsip ini, laki-laki dan perempuan di Barat bergaul bebas hingga menjalin hubungan intim di luar ikatan pernikahan. Akibatnya, banyak anak-anak lahir tanpa bapak yang jelas. Tanpa ikatan pernikahan, membuat seorang perempuan di sana harus menanggung semuanya sendiri. Lahirlah fenomena “single mother” yang harus menafkahi anaknya, menyediakan tempat tinggal dan berbagai kebutuhan lainnya sendiri, sehingga anak-anak kehilangan kasih sayang dan asuhan kedua orangtuanya.

Menurut Islam, manusia tidaklah “bebas”. Setiap manusia adalah hamba Allah SWT. Dia terikat pada aturan-aturan yang telah ditetapkan dalam syariah-Nya, baik dalam kehidupan pribadi maupun kehidupan di tengah masyarakat. Karena itu, seorang Muslim harus menjaga pergaulan dengan lawan jenisnya sesuai dengan aturan Islam. Kesediaan laki-laki dan perempuan bergaul dengan benar akan menjamin terbentuknya sebuah masyarakat yang mulia dan terhindar dari segala bentuk penyakit sosial (pergaulan bebas, anak lahir tanpa bapak, single parent, stress sosial, family disorder, dan lainnya), seperti yang saat ini marak terjadi di negeri-negeri Barat. Selain itu, menjadi kewajiban negara untuk memastikan agar seluruh warganya patuh dengan syariah Islam dalam pergaulan. Karena itu, dalam Daulah Khilafah, tidak seorang pun boleh bergaul bebas dengan lawan jenisnya melampuai batas apalagi berzina, bebas berpakaian sekehendak hatinya atau minum alkohol dengan alasan kebebasan. Pendeknya, syariah Islam harus dijadikan sebagai landasan dalam bergaul dan berinteraksi di tengah masyarakat.

***

Hak dan Kewajiban Kaum Laki-Laki dan Perempuan Ditentukan oleh Allah SWT Sesuai Fitrah Masing-masing, Bukan Berdasar Konsep ”Kesetaraan Gender” ala Barat

Allah SWT adalah pencipta manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Dalam pandangan-Nya, tidak ada kelebihan salah satu dibandingkan yang lain. Bagi-Nya, satu-satunya ukuran yang membedakan kedudukan mereka adalah ketaqwaannya. Dalam al-Quran Allah SWT. berfirman:

“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Qs. al-Hujurat [49]: 13)

Baik laki-laki maupun perempuan dapat meraih kedudukan yang tertinggi dengan jalan taat kepada aturan Allah SWT. Menurut Islam, laki-laki dan perempuan boleh beraktivitas di tengah masyarakat sesuai kedudukan mereka sebagai manusia. Allah SWT telah mengamanahkan tanggung jawab yang sama kepada laki-laki dan perempuan, sesuai dengan fakta bahwa mereka memiliki kesamaan dalam hal kebutuhan fisik, naluri, dan kemampuan akal. Tapi, Allah SWT juga memberikan kepada keduanya tanggung jawab yang berbeda, sesuai sifat jenis kelamin keduanya yang berbeda.

Dalam hal-hal yang keduanya memiliki kesamaan, Allah SWT memberikan tanggung jawab yang sama. Keduanya memiliki kewajiban menjalankan shalat, puasa, zakat, haji, berbakti kepada kedua orangtua, mendakwahkan Islam, mengoreksi kebijakan penguasa, dan sebagainya. Sedangkan dalam hal-hal yang keduanya memiliki perbedaan, Allah SWT pun memberikan tanggung jawab yang berbeda kepada keduanya. Jihad misalnya, hanya diwajibkan untuk laki-laki, tidak wajib bagi perempuan. Laki-laki wajib memberikan nafkah bagi anggota keluarganya, sedangkan perempuan tidak. Menyusui dan mengasuh anak adalah tanggung jawab perempuan, bukan laki-laki. Begitu juga mengatur rumah tangga, adalah kewajiban perempuan, meski laki-laki dianjurkan untuk membantunya.

Orang-orang Barat tidak mau mengakui realitas keterbatasan akalnya dan merujuk kepada wahyu Allah SWT. Mereka justru mengadopsi pendekatan simplistik untuk menghadapi persoalan yang rumit ini, yaitu dengan memaksakan pendapat bahwa laki-laki dan perempuan adalah setara dan memberlakukan prinsip “kesetaraan gender” bagi keduanya. Konsekuensinya, perempuan menjadi mitra laki-laki dalam pekerjaan mencari nafkah. Tapi, fitrah biologis perempuan tak ayal menunjukkan bahwa tanggung jawab mengandung dan menyusui anak masih merupakan tanggung jawab perempuan. Dengan konsep “kesetaraan gender” tersebut, kaum laki-laki justru telah membebani kaum perempuan dengan beban yang sesungguhnya menjadi tanggung jawab laki-laki.

Daulah Khilafah akan menerapkan syariah Islam yang terkait dengan interaksi antara kaum laki-laki dengan kaum perempuan dan akan membebaskan kaum perempuan dari kedzaliman sistem sekuler.

***

Peran Kaum Perempuan dalam Masyarakat

Tanggung jawab utama seorang perempuan dalam sebuah masyarakat adalah di dalam rumah tangganya. Sedangkan peran utama perempuan adalah menjadi seorang ibu dan istri. Sesungguhnya, mengatur urusan rumah tangga dan mengasuh anak-anak adalah tanggung jawab yang amat berat dan juga mulia. Bila seorang perempuan ingin mengambil pekerjaan yang diyakini tidak akan mengganggu tanggung jawab utamanya itu dengan bekerja di luar rumah, misalnya, maka syariah pun mengizinkannya. Demikianlah, perempuan boleh mengambil peran dalam sektor pertanian, industri, maupun perdagangan. Karena itu, seorang perempuan boleh menjadi dokter, guru, insinyur, ilmuwan, hakim, pegawai negeri, politisi, anggota Majlis Umat dan sebagainya. Selain itu, perempuan juga boleh memiliki harta pribadi, baik harta bergerak maupun tak bergerak. Tetapi, perempuan tidak boleh bekerja pada bidang-bidang yang mengeksploitasi karakter keperempuanannya, misalnya sebagai model iklan, peragawati, dan lain-lain. Perempuan juga tidak boleh menduduki jabatan-jabatan puncak di pemerintahan (semisal presiden, khalifah atau lainnya), karena Rasulullah saw. telah mengecualikan perempuan dari tanggung jawab ini. Pada saat putri Kisra, Raja Persia, dinobatkan sebagai penguasa, Rasulullah saw. bersabda:

« لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ امْرَأَةً »

“Tidak akan beruntung suatu kaum apabila mereka menyerahkan pemerintahannya kepada seorang perempuan.” (Hr. al-Bukhari)

***

Tanggung Jawab Nafkah pada Suami

Tanggung jawab menyediakan nafkah bagi seluruh anggota keluarga terletak di pundak suami. Jika karena suatu alasan tertentu, suami tidak mampu melaksanakan tanggung jawab tersebut, maka tugas memberikan nafkah tersebut berpindah kepada kerabat terdekat yang mampu. Bila sebuah keluarga tidak memiliki seorang pun yang mampu memberikan nafkah, maka negara bertanggung jawab untuk menyediakan nafkah bagi mereka.

***

Khilafah Akan Mengatur Interaksi antara Laki-laki dan Perempuan

Pada dasarnya dalam masyarakat Islam, kehidupan laki-laki terpisah dari kehidupan perempuan. Karenanya, pergaulan bebas antara laki-laki dan perempuan, serta aktivitas campur-baur (ikhthilath) di antara keduanya tidak dibolehkan. Namun demikian, laki-laki dan perempuan bisa bertemu dalam aktivitas-aktivitas tertentu di mana ada kepentingan yang dibenarkan oleh syariah, misalnya dalam perdagangan, jual-beli, sewa-menyewa, urusan perwakilan (wakalah), urusan kesehatan, pendidikan, dan perkara-perkara mubah lainnya. Untuk keperluan yang sifatnya wajib, seperti pelaksanaan ibadah haji atau pembayaran zakat, dan keperluan yang sifatnya sunnah (mandub), seperti sadekah, membantu orang yang membutuhkan pertolongan, atau menengok orang sakit, laki-laki dan perempuan boleh bertemu. Selain itu, perempuan tidak dilarang keluar rumah untuk memenuhi keperluannya selama bisa menjaga cara berpakaian dan pergaulan sesuai dengan tuntunan syariah.

Laki-laki dan seorang perempuan yang tidak mempunyai hubungan mahram dilarang berduaan (khalwat) di suatu tempat tanpa ada orang ketiga bersama mereka. Begitu juga tidak seorang pun boleh memasuki ruang tertentu yang secara syar’i memerlukan izin. Rasulullah saw. pernah bersabda:

«لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ»

“Tidak diperbolehkan seorang laki-laki dan perempuan berkhalwat, kecuali jika perempuan itu disertai mahramnya.” (Hr. al-Bukhari)

Di samping itu, sebelum keluar rumah, seorang perempuan juga wajib mengenakan khimar (kerudung penutup kepala hingga dada) dan jilbab (jubah) yang akan menutupi tubuhnya dari pundak hingga tumit. Dalam al-Quran Allah SWT. berfirman:

“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. al-Ahzab [33]: 59)

Kaum laki-laki juga wajib menutup auratnya, yakni bagian tubuh dari pusar hingga lutut.

***

Hukum-hukum Islam Akan Menciptakan Masyarakat yang Khas dan Tenteram

Saat ini, masyarakat Indonesia tengah berada dalam bahaya, di mana angka kejahatan seksual mengalami peningkatan dari hari ke hari. Pesta campur-baur, perbuatan tak senonoh, dan perilaku vulgar terus-menerus dipropagandakan untuk menghancurkan generasi muda kita. Maraknya film-film cabul, pentas drama yang vulgar dan pesta-pesta dansa, mendorong para generasi muda yang belum menikah untuk melanggar batasan-batasan yang ditetapkan Allah SWT saat memuaskan dorongan seksnya. Namun demikian, sebagaimana bisa kita lihat pada masyarakat Barat, semua aktivitas ini tidak akan pernah menghasilkan kebahagiaan, kepuasan, dan ketenteraman masyarakat.

Sabtu, 29 Mei 2010

Adab Pergaulan Laki-laki dan Wanita

Sebenarnya tidak ada satu pun agama langit atau agama bumi, kecuali Islam, yang memuliakan wanita, memberikan haknya, dan menyayanginya. Islam memuliakan wanita, memberikan haknya, dan memeliharanya sebagai anak perempuan, istri, ibu dan anggota masyarakat.

Islam memuliakan wanita sebagai manusia yang diberi tugas (taklif) dan tanggung jawab yang utuh seperti halnya laki-laki, yang kelak akan mendapatkan pahala atau siksa sebagai balasannya. Tugas yang mula-mula diberikan Allah kepada manusia bukan khusus untuk laki-laki, tetapi juga untuk perempuan, yakni Adam dan istrinya (surat al-Baqarah: 35)

Aturan Pergaulan

Sebenarnya pertemuan antara laki-laki dengan perempuan tidak haram, melainkan jaiz (boleh). Bahkan, hal itu kadang-kadang dituntut apabila bertujuan untuk kebaikan, seperti dalam urusan ilmu yang bermanfaat, amal saleh, kebajikan, perjuangan, atau lain-lain yang memerlukan banyak tenaga, baik dari laki-laki maupun perempuan.

Namun, kebolehan itu tidak berarti bahwa batas-batas diantara keduanya menjadi lebur dan ikatan-ikatan syar`iyah yang baku dilupakan. Kita tidak perlu menganggap diri kita sebagai malaikat yang suci yang dikhawatirkan melakukan pelanggaran, dan kita pun tidak perlu memindahkan budaya Barat kepada kita. Yang harus kita lakukan ialah bekerja sama dalam kebaikan serta tolong-menolong dalam kebajikan dan takwa, dalam batas-batas hukum yang telah ditetapkan oleh Islam. Batas-batas hukum tersebut antara lain:?

1. Menahan pandangan dari kedua belah pihak.

Artinya, tidak boleh melihat aurat, tidak boleh memandang dengan syahwat, tidak berlama-lama memandang tanpa ada keperluan. Allah berfirman:

`Katakanlah ke pada orang laki-laki yang beriman, Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.` Katakanlah kepada wanita yang beriman, Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya...`(an-Nur: 30-31)

2. Pihak wanita harus mengenakan pakaian yang sopan yang dituntunkan syara`

Yaitu pakaian yang menutup seluruh tubuh selain muka dan telapak tangan. Jangan yang tipis dan jangan dengan potongan yang menampakkan bentuk tubuh. Allah berfirman:

`... dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa tampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya ...` (an-Nur: 31 )

Diriwayatkan dari beberapa sahabat bahwa perhiasan yang biasa tampak ialah muka dan tangan.

Allah berfirman mengenai sebab diperintahkan-Nya berlaku sopan:

`... Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu ...` (al-Ahzab: 59)

Dengan pakaian tersebut, dapat dibedakan antara wanita yang baik-baik dengan wanita nakal. Terhadap wanita yang baik-baik, tidak ada laki-laki yang suka mengganggunya, sebab pakaian dan kesopanannya mengharuskan setiap orang yang melihatnya untuk menghormatinya.

3. Mematuhi adab-adab wanita muslimah dalam segala hal, terutama dalam pergaulannya dengan laki-laki:

a. Dalam perkataan, harus menghindari perkataan yang merayu dan membangkitkan rangsangan. Allah berfirman:

`... Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik.` (al-Ahzab: 32)?

b.Dalam berjalan, jangan memancing pandangan orang. Firman Allah

`... Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan...` (an-Nur: 31)

Hendaklah mencontoh wanita yang diidentifikasikan oleh Allah dengan firman-Nya:

`Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu berjalan kemalu-maluan ...` (al-Qashash: 25)?

c. Dalam gerak, jangan berjingkrak atau berlenggak-lenggok, seperti yang disebut dalam hadits:

`(Yaitu) wanita-wanita yang menyimpang dari ketaatan dan menjadikan hati laki-laki cenderung kepada kerusakan (kemaksiatan).(HR Ahmad dan Muslim)

Jangan sampai ber-tabarruj (menampakkan aurat) sebagaimana yang dilakukan wanita-wanita jahiliah tempo dulu atau pun jahiliah modern.

4. Menjauhkan diri dari bau-bauan yang harum dan warna-warna perhiasan yang seharusnya dipakai di rumah, bukan di jalan dan di dalam pertemuan-pertemuan dengan kaum laki-laki.

5. Jangan berduaan (laki-laki dengan perempuan) tanpa disertai mahram.

Banyak hadits sahih yang melarang hal ini seraya mengatakan, `Karena yang ketiga adalah setan.`

Jangan berduaan sekalipun dengan kerabat suami atau istri. Sehubungan dengan ini, terdapat hadits yang berbunyi:

`Jangan kamu masuk ke tempat wanita.` Mereka (sahabat) bertanya, `Bagaimana dengan ipar wanita.` Beliau menjawab, `Ipar wanita itu membahayakan.` (HR Bukhari)

Maksudnya, berduaan dengan kerabat suami atau istri dapat menyebabkan kebinasaan, karena bisa jadi mereka duduk berlama-lama hingga menimbulkan fitnah.

Pertemuan itu sebatas keperluan yang dikehendaki untuk bekerja sama, tidak berlebih-lebihan yang dapat mengeluarkan wanita dari naluri kewanitaannya, menimbulkan fitnah, atau melalaikannya dari kewajiban sucinya mengurus rumah tangga dan mendidik anak-anak.

Menutup Aurat

Kita tahu bahwa semua bagian tubuh yang tidak boleh dinampakkan, adalah aurat. Oleh karena itu dia harus menutupinya dan haram dibuka. Aurat perempuan dalam hubungannya dengan laki-laki lain atau perempuan yang tidak seagama, yaitu seluruh badannya, kecuali muka dan dua tapak tangan. Demikian menurut pendapat yang lebih kuat.

Karena dibolehkannya membuka kedua anggota tersebut --seperti kata ar-Razi-- adalah karena ada suatu kepentingan untuk bekerja, mengambil dan memberi. Oleh karena itu orang perempuan diperintah untuk menutupi anggota yang tidak harus dibuka dan diberi rukhsah untuk membuka anggota yang biasa terbuka dan mengharuskan dibuka, justru syariat Islam adalah suatu syariat yang toleran. Ar-Razi selanjutnya berkata: `Oleh karena membuka muka dan kedua tapak tangan itu hampir suatu keharusan, maka tidak salah kalau para ulama juga bersepakat, bahwa kedua anggota tersebut bukan aurat.`

Kholwah

Kholwah adalah bersendirian dengan seorang perempuan lain (ajnabiyah). Yang dimaksud perempuan lain, yaitu: bukan isteri, bukan salah satu kerabat yang haram dikawin untuk selama-lamanya, seperti ibu, saudara, bibi dan sebagainya.

Ini bukan berarti menghilangkan kepercayaan kedua belah pihak atau salah satunya, tetapi demi menjaga kedua insan tersebut dari perasaan-perasaan yang tidak baik yang biasa bergelora dalam hati ketika bertemunya dua jenis itu, tanpa ada orang ketiganya. Dalam hal ini Rasulullah bersabda sebagai berikut :

`Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka jangan sekali-kali dia bersendirian dengan seorang perempuan yang tidak bersama mahramnya, karena yang ketiganya ialah syaitan.` (Riwayat Ahmad)

`Jangan sekali-kali salah seorang di antara kamu menyendiri dengan seorang perempuan, kecuali bersama mahramnya.`

Melihat Jenis Lain dengan Bersyahwat

Di antara sesuatu yang diharamkan Islam dalam hubungannya dengan masalah gharizah, yaitu pandangan seorang laki-laki kepada perempuan dan seorang, perempuan memandang laki-laki. Mata adalah kuncinya hati, dan pandangan adalah jalan yang membawa fitnah dan sampai kepada perbuatan zina.

`Katakanlah kepada orang-orang mu`min laki-laki: hendaklah mereka itu menundukkan sebagian pandangannya dan menjaga kemaluannya (an-Nur: 30-31)

Menundukkan Pandangan

Yang dimaksud menundukkan pandangan itu bukan berarti memejamkan mata dan menundukkan kepala ke tanah. Bukan ini yang dimaksud dan ini satu hal yang tidak mungkin. Hal ini sama dengan menundukkan suara seperti yang disebutkan dalam al-Quran dan tundukkanlah sebagian suaramu (Luqman 19). Di sini tidak berarti kita harus membungkam mulut sehingga tidak berbicara.

Tetapi apa yang dimaksud menundukkan pandangan, yaitu: menjaga pandangan, tidak dilepaskan begitu saja tanpa kendali sehingga dapat menelan perempuan-perempuan atau laki-laki yang beraksi.

Pandangan yang terpelihara, apabila memandang kepada jenis lain tidak mengamat-amati kecantikannya dan tidak lama menoleh kepadanya serta tidak melekatkan pandangannya kepada yang dilihatnya itu.

Oleh karena itu pesan Rasulullah kepada Sahabat Ali :

`Hai Ali! Jangan sampai pandangan yang satu mengikuti pandangan lainnya. Kamu hanya boleh pada pandangan pertama, adapun yang berikutnya tidak boleh.` (Riwayat Ahmad, Abu Daud dan Tarmizi)

Rasulullah s.a.w. menganggap pandangan liar dan menjurus kepada lain jenis, sebagai suatu perbuatan zina mata. Sabda beliau : `Dua mata itu bisa berzina, dan zinanya ialah melihat.` (Riwayat Bukhari)

Tabarruj

Tabarruj ini mempunyai bentuk dan corak yang bermacam-macam yang sudah dikenal oleh orang-orang banyak sejak zaman dahulu sampai sekarang. Ahli-ahli tafsir dalam menafsirkan ayat yang mengatakan :

`Dan tinggallah kamu (hai isteri-isteri Nabi) di rumah-rumah kamu dan jangan kamu menampak-nampakkan perhiasanmu seperti orang jahiliah dahulu.` (Ahzab: 33)

sebagai berikut: -

Mujahid berkata: Perempuan ke luar dan berjalan di hadapan laki-laki.?

Qatadah berkata: Perempuan yang cara berjalannya dibikin-bikin dan menunjuk-nunjukkan.

Muqatil berkata: Yang dimaksud tabarruj, yaitu melepas kudung dari kepala dan tidak diikatnya, sehingga kalung, kriul dan lehernya tampak semua.

Cara-cara di atas adalah macam-macam daripada tabarruj di zaman jahiliah dahulu, yaitu: bercampur bebas dengan laki-laki, berjalan dengan melenggang, kudung dan sebagainya tetapi dengan suatu mode yang dapat tampak keelokan tubuh dan perhiasannya.

Jahiliah pada zaman kita sekarang ini ada beberapa bentuk dan macam tabarruj yang kalau diukur dengan tabarruj jahiliah, maka tabarruj jahiliah itu masih dianggap sebagai suatu macam pemeliharaan.

Suara Wanita

Ada pendapat yang mengatakan bahwa suara wanita itu aurat, karenanya tidak boleh wanita berkata-kata kepada laki-laki selain suami atau mahramnya. Sebab, suara wanita dengan tabiatnya yang merdu dapat menimbulkan fitnah dan membangkitkan syahwat. Namun bila ditanyakan dalil yang dapat dijadikan acuan dan sandaran, sebenarnya tidak ada.

Sebaliknya Al-Qur`an juga menceritakan kepada kita percakapan yang terjadi antara Nabi Sulaiman a.s. dengan Ratu Saba, serta percakapan sang Ratu dengan kaumnya yang laki-laki. Begitu pula peraturan (syariat) bagi nabi-nabi sebelum kita menjadi peraturan kita selama peraturan kita tidak menghapuskannya, sebagaimana pendapat yang terpilih.

Yang dilarang bagi wanita ialah melunakkan pembicaraan untuk menarik laki-laki, yang oleh Al-Qur`an diistilahkan dengan al-khudhu bil-qaul (tunduk / lunak / memikat dalam berbicara).

Pria Memandang Wanita dan Sebaliknya

Pandangan pertama (secara tiba-tiba) adalah tidak dapat dihindari sehingga dapat dihukumi sebagai darurat. Adapun pandangan berikutnya (kedua) diperselisihkan hukumnya oleh para ulama.

Yang dilarang dengan tidak ada keraguan lagi ialah melihat dengan menikmati (taladzdzudz) dan bersyahwat, karena ini merupakan pintu bahaya dan penyulut api. Sebab itu, ada ungkapan, `memandang merupakan pengantar perzinaan.` Dan bagus sekali apa yang dikatakan oleh Syauki ihwal memandang yang dilarang ini, yakni: `Memandang (berpandangan) lalu tersenyum, lantas mengucapkan salam, lalu bercakap-cakap, kemudian berjanji, akhirnya bertemu.`

Adapun melihat perhiasan (bagian tubuh) yang tidak biasa tampak, seperti rambut, leher, punggung, betis, lengan (bahu), dan sebagainya, adalah tidak diperbolehkan bagi selain mahram, menurut ijma. Ada dua kaidah yang menjadi acuan masalah ini beserta masalah-masalah yang berhubungan dengannya.

Pertama, bahwa sesuatu yang dilarang itu diperbolehkan ketika darurat atau ketika dalam kondisi membutuhkan, seperti kebutuhan berobat, melahirkan, dan sebagainya, pembuktikan tindak pidana, dan lain-lainnya yang diperlukan dan menjadi keharusan, baik untuk perseorangan maupun masyarakat.

Kedua, bahwa apa yang diperbolehkan itu menjadi terlarang apabila dikhawatirkan terjadinya fitnah, baik kekhawatiran itu terhadap laki-laki maupun perempuan. Dan hal ini apabila terdapat petunjukpetunjuk yang jelas, tidak sekadar perasaan dan khayalan sebagian orang-orang yang takut dan ragu-ragu terhadap setiap orang dan setiap persoalan.

Karena itu, Nabi saw. pernah memalingkan muka anak pamannya yang bernama al-Fadhl bin Abbas, dari melihat wanita Khats`amiyah pada waktu haji, ketika beliau melihat al-Fadhl berlama-lama memandang wanita itu. Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa al-Fadhl bertanya kepada Rasulullah saw., `Mengapa engkau palingkan muka anak pamanmu?` Beliau saw. menjawab, `Saya melihat seorang pemuda dan seorang pemudi, maka saya tidak merasa aman akan gangguan setan terhadap mereka.`

Kekhawatiran akan terjadinya fitnah itu kembali kepada hati nurani si muslim, yang wajib mendengar dan menerima fatwa, baik dari hati nuraninya sendiri maupun orang lain. Artinya, fitnah itu tidak dikhawatirkan terjadi jika hati dalam kondisi sehat, tidak dikotori syahwat, tidak dirusak syubhat (kesamaran), dan tidak menjadi sarang pikiran-pikiran yang yimpang.

Diantara hal yang telah disepakati ialah bahwa melihat kepada aurat itu hukumnya haram, baik dengan syahwat maupun tidak, kecuali jika hal itu terjadi secara tiba-tiba, tanpa sengaja, sebagaimana diriwayatkan dalam hadits sahih dari Jarir bin Abdullah, ia berkata:

`Saya bertanya kepada Nabi saw. Tentang memandang (aurat orang lain) secara tiba-tiba (tidak disengaja). Lalu beliau bersabda, `Palingkanlah pandanganmu.`` (HR Muslim)

Lantas, apakah aurat laki-laki itu? Bagian mana saja yang disebut aurat laki-laki? Kemaluan adalah aurat mughalladhah (besar/berat) yang telah disepakati akan keharaman membukanya di hadapan orang lain dan haram pula melihatnya, kecuali dalam kondisi darurat seperti berobat dan sebagainya. Bahkan kalau aurat ini ditutup dengan pakaian tetapi tipis atau menampakkan bentuknya, maka ia juga terlarang menurut syara`.

Mayoritas fuqaha berpendapat bahwa paha laki-laki termasuk aurat, dan aurat laki-laki ialah antara pusar dengan lutut. Mereka mengemukakan beberapa dalil dengan hadits-hadits yang tidak lepas dari cacat. Sebagian mereka menghasankannya dan sebagian lagi mengesahkannya karena banyak jalannya, walaupun masing-masing hadits itu tidak dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan suatu hukum syara`.

Sebagian fuqaha lagi berpendapat bahwa paha laki-laki itu bukan aurat, dengan berdalilkan hadits Anas bahwa Rasulullah saw. pernah membuka pahanya dalam beberapa kesempatan. Pendapat ini didukung oleh Muhammad Ibnu Hazm.

Menurut mazhab Maliki sebagaimana termaktub dalam kitab-kitab mereka bahwa aurat mughalladhah laki-laki ialah qubul (kemaluan) dan dubur saja, dan aurat ini bila dibuka dengan sengaja membatalkan shalat.

Para fuqaha hadits berusaha mengkompromikan antara hadits-hadits yang bertentangan itu sedapat mungkin atau mentarjih (menguatkan salah satunya). Imam Bukhari mengatakan dalam kitab sahihnya `Bab tentang Paha,` diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Jurhud, dan Muhammad bin-Jahsy dari Nabi saw. bahwa paha itu aurat, dan Anas berkata, `Nabi saw. pernah membuka pahanya.` Hadits Anas ini lebih kuat sanadnya, sedangkan hadits Jurhud lebih berhati-hati.

Jumat, 28 Mei 2010

Tuhan Tolong

Ku rasa getaran cinta
Di setiap tatapan matanya
Andai ku coba tuk berpaling
Akankah sanggup ku hadapi kenyataan ini

Reff:
Oh Tuhan tolonglah aku
Janganlah kau biarkan diriku
Jatuh cinta kepadanya

Sebab andai itu terjadi
Akan ada hati yang terluka
Tuhan tolong diriku

Walaupun terasa indah
Andaikan ku dapat juga dirinya
Namun ku harus tetap bertahan
Menjaga cinta yang tlah lebih dulu ku jalani

Repeat reff

Sebab andai itu terjadi
Akan ada hati yang terluka
Tuhan tolong diriku

Repeat reff

Tuhan tolong diriku

Sebab andai itu terjadi
Akan ada hati yang terluka
Tuhan tolong diriku
Tuhan Tolong
by: Derby

Kamis, 27 Mei 2010

Menjadi Pemuda Pejuang Islam...

Menjadi pejuang Islam? Hiii takuuut! Lho, kenapa musti takut? Hmm.. rupanya ada bisik-bisik tetangga nih. Maklum, di jaman sekarang ini, jadi aktivis itu katanya bikin hidup kagak lebih hidup. Abisnya, masyarakat suka mencontohkan hal-hal serem berkaitan dengan hal itu. Celakanya, itu menurut penilaiannya yang emang nggak objektif. Misalnya, ada yang bilang kalo jadi aktivis itu risikonya berat. Lihat aja orang-orang yang melakukan demonstrasi, mereka dikejar, ditangkapi, dijebloskan ke bui, bahkan nggak sedikit yang kemudian dikasih "kopi pahit", alias dipateni. Wah syerem juga ya? Tapi anehnya meskipun udah tahu risikonya, kok masih banyak yang mau melakukannya?

Sobat muda muslim, hidup ini adalah perjuangan. Dan yang namanya perjuangan, selalu punya risiko. Itu sudah pasti. Uniknya, rata-rata risikonya udah ketahuan, alias bisa kita perhitungkan. Ya, ibarat tukang dagang, sebetulnya doi udah tahu ada risikonya, yakni rugi. Kerugian tersebut bisa aja berasal dari barang dagangannya yang emang nggak laku dijual, alias masyarakat nggak minat beli barang dagangannya. Bisa juga faktor lain, misalnya, ada penertiban dari aparat tibum. Baru aja nongkrong, eh barangnya udah diangkut truk aparat tibum karena berjualan di jalur terlarang. Itu risiko. Tapi apakah itu kemudian membuat mereka males jualan? Rasanya, kalo kamu lihat dengan bijak, mereka tetap punya semangat untuk berdagang. Alasan mereka, inilah perjuangan hidup.

Setiap orang, siapapun ia dan apapun jenis pekerjaannya selalu punya risiko. Pak sopir yang sehari-hari hidup di jalanan, risikonya udah ketahuan kan? Bisa aja terjadi kecelakaan atau sebangsanya. Jadi tentara? Juga udah jelas risikonya. Dikirim ke daerah konflik seperti di Ambon atau NAD (Nangroe Aceh Darussalam), pilihannya cuma dua, selamat atau mati di medan tempur. Termasuk mereka yang bekerja di belakang meja sekalipun, ada risikonya. Hidup memang penuh risiko. Jadi kenapa musti takut?

Sobat muda muslim, kita memaparkan contoh-contoh tadi dengan harapan kamu juga bisa bersikap lebih dewasa dan bijak. Sekali lagi, hidup ini penuh risiko. Tinggal bagaimana kita bisa menjadikan hidup ini enjoy untuk dinikmati. Sobat, yang terpenting dari semua itu, kita kudu punya tujuan dalam hidup ini. Tanpa tujuan, rasanya hidup ini garing bin bete banget. Tom Bodett punya pepatah begini: "Mereka berkata bahwa setiap orang membutuhkan tiga hal yang akan membuat mereka berbahagia di dunia ini, yaitu; seseorang untuk dicintai, sesuatu untuk dilakukan, dan sesuatu untuk diharapkan."
Rasanya nggak salah-salah amat Tom Bodett menuliskan kata-kata mutiaranya begitu. Sebab, kita di dunia membutuhkan kejelasan arah. Apalagi kita sebagai seorang muslim, harus sudah tahu apa yang kudu dilakukan, yakni berjuang untuk Islam, dan sudah ngeh dengan apa yang diharapkan, yakni terwujudnya kembali kehidupan Islam di dunia ini.

Sobat pembaca, inilah cita-cita tertinggi kita sebagai pemuda pejuang Islam. Berjuang, berjuang, dan berjuang untuk Islam. Bukan untuk yang lain. Kita harusnya malu dengan saudara kita di Palestina, mereka punya semangat yang pantang menyerah dan tahu betul makna hidup. Mereka bilang, berperang melawan tentara Yahudi, atau diam di rumah, kematian pasti akan datang menjemput. Yup, persoalan yang terpenting adalah bagaimana cara mati kita? Apakah sedang dalam berjuang untuk Islam, atau malah sedang maksiat? Itu yang kudu jadi perhatian kita..

Menanamkan keberanian
Setelah punya tujuan dan cita-cita dalam hidup ini, satu hal yang wajib dimiliki oleh kaum muslimin, khususnya pemuda, adalah keberanian untuk menjadi pejuang dan pembela Islam. Tanpa keberanian, rasanya semangat itu hanya berkecamuk saja dalam dada. Nggak terwujud dalam perilaku keseharian.

Kamu pernah menyaksikan aksi heroik Letnan Chris Burnett yang diperankan Owen Wilson dalam film perang berjudul Behind Enemy Lines? Di situ, kita bisa ambil semacam hikmah. Bahwa keberanian dan kecerdasan sangat diperlukan dalam kondisi kritis seperti itu. Chris Burnett, sebagai pilot jempolan yang lihai menerbangkan jet tempur F/A-18 Superhornet harus menerima kenyataan pahit ketika pesawatnya dihantam rudal musuh saat akan melakukan investigasi tentang kekejaman Serbia di Bosnia. Beruntung Owen Wilson, eh, Chris Burnett bisa menyelamatkan diri dengan kursi pelontar. Tapi celakanya, doi terperangkap di belakang garis musuh. Inilah cerita yang amat mendebarkan tentang sisi lain dari perang Bosnia. Apa yang dilakukan Burnett? Sembari menunggu datang pertolongan, ia berusaha untuk melepaskan diri dari kejaran tentara Serbia yang kejam. Rasanya, tanpa keberanian, meskipun ini hanya sekadar dalam film, Burnett sudah nyerah duluan, apalagi temannya ditembak mati di depan mata kepalanya sendiri. Tapi keberanian ternyata tetap bersemayam dalam dadanya.

Nah, kita, sebagai seorang muslim jangan pernah merasa takut, kecuali hanya kepada Allah. Kita jangan kalah semangat dengan salah seorang prajurit perang salib yang berkata lantang kepada ibunya ketika ia hendak menghancurkan Islam. "Ibu…tenangkan hatimu, berbahagialah, anakmu pergi ke Tripoli siap mengalirkan darah demi melumatkan bangsa yang terkutuk. Dengan segala kekuatan yang aku miliki akan aku lenyapkan Islam. Akan aku bakar al-Quran" (al-Qoumiyyah wal Ghozwul Fikriy, hlm. 208)

Bayangkan, prajurit Perang Salib saja yang jelas-jelas di jalur yang salah punya keberanian seperti itu. Kita, pemuda Islam harus bisa lebih dari keberanian orang-orang kafir. Sebab kita di jalur yang benar dalam pandangan Allah Swt.
Sobat muda muslim, para sahabat yang mulia adalah sosok yang layak untuk dijadikan teladan bagi kita dalam mencontoh keberaniannya.

Ada satu peristiwa yang sangat menarik untuk direnungkan para pemuda jaman kiwari. Peristiwa ini selengkapnya diceritakan oleh Abdurrahman bin 'Auf: "Selagi aku berdiri di dalam barisan pada Perang Badar, aku melihat ke kanan dan kiriku, saat itu tampaklah olehku dua orang Anshar yang masih muda belia. Aku berharap semoga aku lebih kuat dari padanya. Tiba-tiba salah seorang di antara mereka menekanku seraya berkata: 'Hai Paman, apakah engkau mengenal Abu Jahal?' Aku jawab: 'Ya, apakah keperluanmu padanya, hai anak saudaraku?' Dia menjawab: 'Ada seorang yang memberitahuku bahwa Abu Jahal ini sering mencela Rasulullah saw. Demi (Allah) yang jiwaku ada di tangan-Nya, jika aku menjumpainya tentulah tak akan kulepaskan dia sampai siapa yang terlebih dulu mati, antara aku atau dia!' Berkata Abdurrahman bin 'Auf: 'Aku merasa heran ketika mendengar ucapan anak muda itu'. Kemudian anak yang satunya pun menekanku dan berkata seperti temannya tadi. Tidak lama berselang, aku pun melihat Abu Jahal sedang mondar-mandir di dalam barisannya, segera aku katakan (kepada kedua anak muda itu): 'Itulah orang yang sedang kalian cari!' Keduanya langsung menyerang Abu Jahal, menikamnya dengan pedang sampai tewas. Setelah itu mereka menghampiri Rasulullah saw. (dengan rasa bangga) untuk melaporkan kejadian itu. Rasulullah saw. berkata: 'Siapa di antara kalian yang menewaskannya?' Masing-masing menjawab: 'Sayalah yang membunuhnya'. Lalu Rasulullah bertanya lagi: 'Apakah kalian sudah membersihkan mata pedang kalian?' 'Belum' jawab mereka serentak. Rasulullah pun kemudian melihat pedang mereka, seraya bersabda: 'Kamu berdua telah membunuhnya. Akan tetapi segala pakaian dan senjata yang dipakai Abu Jahal (boleh) dimiliki Muadz bin al-Jamuh." (Berkata perawi hadis ini): Kedua pemuda itu adalah Mu'adz bin "Afra" dan Muadz bin Amru bin al-Jamuh (Musnad Imam Ahmad I/193. Shahih Bukhari hadis nomor 3141 dan Shahih Muslim hadis nomor 1752)

Sobat muda muslim, pemuda seperti inilah yang bakal menjadi pembela dan pejuang Islam yang tangguh. Selain semangat, tentunya wajib memiliki keberanian.

Rela berkorban
Yup, perjuangan, selain butuh keberanian, juga kudu rela berkorban. Apapun jenis pengorbanan yang kudu kita berikan untuk tegaknya Islam di muka bumi ini. Bisa berupa waktu kita, harta kita, tenaga kita, bahkan nyawa kita. Semuanya harus rela kita korbankan. Sebab, kita yakin hal itu bukanlah kesia-siaan. Firman Allah Swt.:"Tetapi Rasul dan orang-orang yang beriman bersama beliau, mereka berjihad dengan harta dan diri mereka. Dan merekalah orang-orang yang memperoleh berbagai kebaikan dan merekalah orang-orang yang beruntung." (TQS at-Taubah [9]: 88)

Sobat muda muslim, benar bahwa kita harus menjadi pemuda pejuang Islam. Untuk itu kita harus punya keberanian dan rela berkorban. Supaya perjuangan ini lebih punya makna. Rasanya memang janggal ya, kalo kita berjuang, terus pengen berhasil, tapi sedikitpun nggak berani dan nggak rela untuk berkorban. Itu mah sama aja dengan boong, ya nggak?
Aneh banget kan, kalo ada orang yang ingin menang dan sukses, tapi dirinya nggak berani menghadapi rintangan dan ogah berkorban. Rasanya emang nggak ada dalam kehidupan nyata. Jadi, jangan ngimpi!

Nah, apalagi dalam urusan hidup dan mati untuk tegaknya Islam ini, jelas diperlukan keberanian dan sikap rela berkorban yang tinggi. Masak kita kalah sama mereka yang cuma berjuang untuk yang sebetulnya nggak perlu bagi sebuah kemajuan bangsa. Kita, insya Allah akan menjadi pembela dan pejuang Islam, yang akan menentukan masa depan Islam. Rasanya, pantas bila memiliki sikap rela berkorban yang tinggi. Untuk mengalahkan segala hambatan. Firman Allah Swt.:"Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah" kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): "Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu". (QS. Fushilat [41]: 30)

Berilmu, bertakwa, dan optimis
Imam asy-Syafii mengatakan bahwa: "Sesungguhnya kehidupan pemuda itu, demi Allah hanya dengan ilmu dan takwa (memiliki ilmu dan bertakwa), karena apabila yang dua hal itu tidak ada, tidak dianggap hadir (dalam kehidupan)." Sabda Rasulullah saw: "Apabila Allah menginginkan kebaikan bagi seseorang maka dia diberi pendalaman dalam ilmu agama. Sesungguhnya memperoleh ilmu hanya dengan belajar." (HR. Bukhari).

Sobat muda muslim, untuk menjadi pemuda pejuang Islam, kamu kudu menyiapkan mental dan juga ilmu. Keberanian dan rela berkorban kudu ditunjang dengan ilmu dan ketakwaan. Dan terakhir, rasa optimis perlu juga dimiliki. David J. Schwartz, menyebutkan bahwa ujian bagi seseorang yang sukses bukanlah pada kemampuannya untuk mencegah munculnya masalah, tetapi pada waktu menghadapi dan menyelesaikan setiap kesulitan saat masalah itu terjadi. Jadi optimis. Bener juga ya?
Oke deh, mulai sekarang kita kaji Islam. Pahami dan amalkan dalam kehidupan kita. Jadi, jangan malas ngaji lagi ya?