Surga merupakan sesuatu yang paling dicari-cari oleh para pencarinya dan yang paling mahal untuk dipersaingkan oleh orang-orang yang bersaing memperebutkannya; maka beruntunglah orang yang berupaya untuk meraihnya lalu memenangkannya dan berbahagialah orang yang berusaha demi untuk mendapatkannya. Harganya memang mahal namun mudah dan murah bagi orang yang dimudahkan oleh Alloh. Dalam hal ini, Rasululloh Shallallâhu ‘alaihi wasallam memberikan jaminan bagi orang yang melakukan perbuatan-perbuatan mulia tersebut.
Tidak suka berdebat dalam hal yang tidak ada faedahnya
Orang yang memiliki sifat ini akan mendapatkan surga tingkatan paling rendah. Bentuk dari perdebatan tersebut berupa perdebatan yang diiringi dengan suara yang meninggi dan ber-takalluf (menghabiskan energi dan bersusah-susah) dalam berargumentasi. Dalam hal ini, sebenarnya dia justru ingin mempertajam rasa permusuhan dan kebencian, bukan untuk mencapai kebenaran yang semestinya dicari. Seorang Mukmin yang haq adalah orang yang meninggalkan hal itu meskipun sangat yakin bahwa dia berada dalam kebenaran.
Tidak suka berdusta meskipun sekedar bercanda
Orang yang memiliki sifat ini akan mendapatkan surga tingkat menengah. Dia mendapatkan ini karena telah menjauhkan dirinya dari dusta baik dalam perkataan maupun perbuatan, konsisten dengan sifat jujur, tidak berbicara selain yang benar serta tidak memberikan informasi selain berita yang benar.
Dusta adalah salah satu dari sifat orang-orang Munafiq sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah radhiallaahu ‘anhu bahwasanya Rasululloh Shallallâhu ‘alaihi wasallam bersabda, yang artinya: “Tanda orang Munafiq ada tiga: (Pertama), bila berbicara dia berdusta, (Kedua) bila berjanji dia mengingkarinya, dan (ketiga), bila dia diberi amanah dia berkhianat”.
Perbuatan dusta adalah termasuk dosa besar, implikasinya sangat mengerikan serta amat membahayakan. Rasululloh Shallallâhu ‘alaihi wasallam bersabda, yang artinya: “Berhati-hatilah terhadap dusta, karena sesungguhnya perbuatan dusta itu akan menuntun (menggiring) kepada perbuatan buruk (fujur), dan sesungguhnya perbuatan buruk (fujur) itu akan menuntun (menggiring) kepada neraka. Tidaklah seseorang, senantiasa berdusta dan amat mencari-cari (membiasakan) dusta hingga dia dicatat di sisi Alloh sebagai seorang Pendusta”.
Ini adalah ancaman yang serius dan amat pedih yang setimpal dengan perbuatan dusta tersebut meskipun hanya sekedar membikin orang tertawa, sebagaimana sabda Rasululloh Shallallâhu ‘alaihi wasallam, yang artinya: “celakalah bagi orang yang berbicara dengan suatu pembicaraan agar orang lain tertawa tetapi berdusta, celakalah dia! Celakalah dia!”. [HR: At-Tirmizi].
Mengenai hadits ini, Pengarang kitab Tuhfah al-Ahwazy Syarh Sunan at-Turmuzi memberikan komentar: “yang dapat difahami dari hadits ini, bahwa bila dia berbicara benar (dalam candanya tersebut-red) maka hal itu tidak apa-apa sebagaimana yang dilakukan oleh Umar terhadap Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam ketika beliau sedang marah kepada sebagian Ummahatul Mukminin…”.
Tingkatan dusta yang paling besar dosanya adalah berdusta terhadap Alloh Subhanahu wa Ta’ala atau Rasul-Nya Shallallâhu ‘alaihi wasallam . Demikian juga dusta yang berkaitan dengan harta benda.
Berakhlak baik; orang yang memiliki sifat ini akan mendapatkan surga yang paling tinggi. Yang mendapatkannya adalah siapa saja yang memiliki sifat-sifat yang terpuji, akhlak yang baik serta yang cara pergaulannya menyenangkan. Dalam hal ini, dia meneladani Rasululloh Shallallâhu ‘alaihi wasallam yang telah dipuji oleh Alloh Subhanahu wa Ta’ala dalam firmanNya, yang artinya: “dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung”. (QS: Al-Qalam: 4).
Akhlaq Yang Baik
Akhlaq yang baik merupakan perbuatan yang paling banyak memberikan sumbangsih terhadap melejitnya predikat seorang Muslim di tengah-tengah masyarakat dalam kehidupan di dunia dan juga di sisi Alloh Subhanahu wa Ta’ala dalam kehidupan di akhirat kelak sebagaimana dalam hadits Abu ad-Darda’ radhiallaahu ‘anhu bahwasanya Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam bersabda, yang artinya: “Tidak ada sesuatupun yang lebih berat timbangannya bagi seorang Muslim pada hari Kiamat daripada akhlak yang baik. Sesungguhnya Alloh amat membenci orang yang berbuat keji dan kotor”.
Hubungan Sosial yakni ikatan yang terjadi antara sesama manusia hendaklah diliputi oleh suasana kemesraan, saling mencintai, persaudaraan dan kasih sayang. Dari sisi yang lain, hendaknya terbebas dari perasaan dengki, dendam dan suka mengicuh. Hal inilah yang dikehendaki dan diupayakan oleh Islam. Untuk itu, hati seorang Muslim mesti bersih dan suci serta terbebas dari penyakit-penyakit dan kuman-kumannya yang kelak akan mengeruhkan kejernihan hubungan tersebut.
Di dalam syari’at Islam terdapat kaidah: “Mencegah timbulnya kerusakan-kerusakan lebih diutamakan daripada upaya mencari kemaslahatan-kemaslahatan”. Oleh karena itu, setiap pembicaraan, perdebatan atau perbuatan yang dapat menimbulkan suatu kerusakan, maka wajib bagi seorang hamba untuk meninggalkannya dan menjauhinya.
Surga juga memiliki banyak tingkatan yang dipersiapkan oleh Alloh Subhanahu wa Ta’ala untuk para hamba-Nya yang beriman. Sebagaimana dari Abu Umamah al-Bahily radhiallaahu ‘anhu, dia berkata: Rasululloh Shallallâhu ‘alaihi wasallam bersabda, yang artinya: “aku adalah penjamin/penanggung jawab rumah di surga yang paling rendah terhadap orang yang meninggalkan perdebatan meskipun dia berada dalam kebenaran, (juga penjamin/penanggung jawab) rumah di surga yang (berada) ditengah-tengah terhadap orang yang meninggalkan dusta meskipun sekedar bercanda, (juga penjamin/penanggung jawab) rumah di surga yang paling tinggi terhadap orang yang baik akhlaknya”. (HR: Abu Daud dengan sanad hasan).
Dalam hadits diatas, Rasululloh Shallallâhu ‘alaihi wasallam menjelaskan balasan bagi orang yang memiliki salah satu dari tiga sifat yaitu yang meninggalkan debat, meninggalkan dusta dan berakhlaq baik.Tidak suka berdebat dalam hal yang tidak ada faedahnya
Orang yang memiliki sifat ini akan mendapatkan surga tingkatan paling rendah. Bentuk dari perdebatan tersebut berupa perdebatan yang diiringi dengan suara yang meninggi dan ber-takalluf (menghabiskan energi dan bersusah-susah) dalam berargumentasi. Dalam hal ini, sebenarnya dia justru ingin mempertajam rasa permusuhan dan kebencian, bukan untuk mencapai kebenaran yang semestinya dicari. Seorang Mukmin yang haq adalah orang yang meninggalkan hal itu meskipun sangat yakin bahwa dia berada dalam kebenaran.
Tidak suka berdusta meskipun sekedar bercanda
Orang yang memiliki sifat ini akan mendapatkan surga tingkat menengah. Dia mendapatkan ini karena telah menjauhkan dirinya dari dusta baik dalam perkataan maupun perbuatan, konsisten dengan sifat jujur, tidak berbicara selain yang benar serta tidak memberikan informasi selain berita yang benar.
Dusta adalah salah satu dari sifat orang-orang Munafiq sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah radhiallaahu ‘anhu bahwasanya Rasululloh Shallallâhu ‘alaihi wasallam bersabda, yang artinya: “Tanda orang Munafiq ada tiga: (Pertama), bila berbicara dia berdusta, (Kedua) bila berjanji dia mengingkarinya, dan (ketiga), bila dia diberi amanah dia berkhianat”.
Perbuatan dusta adalah termasuk dosa besar, implikasinya sangat mengerikan serta amat membahayakan. Rasululloh Shallallâhu ‘alaihi wasallam bersabda, yang artinya: “Berhati-hatilah terhadap dusta, karena sesungguhnya perbuatan dusta itu akan menuntun (menggiring) kepada perbuatan buruk (fujur), dan sesungguhnya perbuatan buruk (fujur) itu akan menuntun (menggiring) kepada neraka. Tidaklah seseorang, senantiasa berdusta dan amat mencari-cari (membiasakan) dusta hingga dia dicatat di sisi Alloh sebagai seorang Pendusta”.
Ini adalah ancaman yang serius dan amat pedih yang setimpal dengan perbuatan dusta tersebut meskipun hanya sekedar membikin orang tertawa, sebagaimana sabda Rasululloh Shallallâhu ‘alaihi wasallam, yang artinya: “celakalah bagi orang yang berbicara dengan suatu pembicaraan agar orang lain tertawa tetapi berdusta, celakalah dia! Celakalah dia!”. [HR: At-Tirmizi].
Mengenai hadits ini, Pengarang kitab Tuhfah al-Ahwazy Syarh Sunan at-Turmuzi memberikan komentar: “yang dapat difahami dari hadits ini, bahwa bila dia berbicara benar (dalam candanya tersebut-red) maka hal itu tidak apa-apa sebagaimana yang dilakukan oleh Umar terhadap Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam ketika beliau sedang marah kepada sebagian Ummahatul Mukminin…”.
Tingkatan dusta yang paling besar dosanya adalah berdusta terhadap Alloh Subhanahu wa Ta’ala atau Rasul-Nya Shallallâhu ‘alaihi wasallam . Demikian juga dusta yang berkaitan dengan harta benda.
Berakhlak baik; orang yang memiliki sifat ini akan mendapatkan surga yang paling tinggi. Yang mendapatkannya adalah siapa saja yang memiliki sifat-sifat yang terpuji, akhlak yang baik serta yang cara pergaulannya menyenangkan. Dalam hal ini, dia meneladani Rasululloh Shallallâhu ‘alaihi wasallam yang telah dipuji oleh Alloh Subhanahu wa Ta’ala dalam firmanNya, yang artinya: “dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung”. (QS: Al-Qalam: 4).
Akhlaq Yang Baik
Akhlaq yang baik merupakan perbuatan yang paling banyak memberikan sumbangsih terhadap melejitnya predikat seorang Muslim di tengah-tengah masyarakat dalam kehidupan di dunia dan juga di sisi Alloh Subhanahu wa Ta’ala dalam kehidupan di akhirat kelak sebagaimana dalam hadits Abu ad-Darda’ radhiallaahu ‘anhu bahwasanya Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam bersabda, yang artinya: “Tidak ada sesuatupun yang lebih berat timbangannya bagi seorang Muslim pada hari Kiamat daripada akhlak yang baik. Sesungguhnya Alloh amat membenci orang yang berbuat keji dan kotor”.
Hubungan Sosial yakni ikatan yang terjadi antara sesama manusia hendaklah diliputi oleh suasana kemesraan, saling mencintai, persaudaraan dan kasih sayang. Dari sisi yang lain, hendaknya terbebas dari perasaan dengki, dendam dan suka mengicuh. Hal inilah yang dikehendaki dan diupayakan oleh Islam. Untuk itu, hati seorang Muslim mesti bersih dan suci serta terbebas dari penyakit-penyakit dan kuman-kumannya yang kelak akan mengeruhkan kejernihan hubungan tersebut.
Di dalam syari’at Islam terdapat kaidah: “Mencegah timbulnya kerusakan-kerusakan lebih diutamakan daripada upaya mencari kemaslahatan-kemaslahatan”. Oleh karena itu, setiap pembicaraan, perdebatan atau perbuatan yang dapat menimbulkan suatu kerusakan, maka wajib bagi seorang hamba untuk meninggalkannya dan menjauhinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar