Segala puji hanya milik dan hanya bagi Allah. "Alhamdulillah", itulah kata yang senantiasa kita ucapkan untuk memuji Sang Khaliq atas limpahan karunia-Nya yang tiada berbatas. Minimal 17 kali sehari kita lafazkan kalimat itu sebagai bukti pujian kita kepada-Nya. Kata "puji" dalam kalimat tersebut sesungguhnya telah jelas menggambarkan bahwa ia menafikan segala bentuk pujian kepada selain-Nya. Faktanya, kata itu telah berubah peruntukkannya. Sebagian besar kaum Muslimin telah menggunakan berbagai macam kata pujian untuk memuji orang lain yang dikaguminya.
Dalam berbagai pertemuan keagamaan masih terdengar ucapan saling memuji di antara mereka yang hadir. Mungkin saja sekadar basa-basi, atau untuk merendahkan diri satu sama lain, atau hanya berkelakar. Ulama yang bijak biasanya segera beristighfar ketika mendengar pujian terarah kepada dirinya. Mereka tidak suka dipuji walau hanya untuk berkelakar. Karena ulama yang bijak, tahu betul guyon atau lelucon tidak ada dalam kamusnya. Apalagi berbicara hal-hal yang tak bermanfaat sama sekali!
Orang yang senang dipuji dan disanjung biasanya adalah orang yang hidupnya selalu bergelimang dosa. Paling tidak, orang yang sangat mencintai dunia. Imam al-Ghazali berkata bahwa memuji ternyata telah menjadi kebiasaan para pembesar dan penguasa yang menjadi budak dunia. Begitu pula dengan para pembuat kisah dan juru bicara, mereka suka memuji para hadirin, khususnya para hartawan. Dalam berbagai rapat formal yang digelar di negeri ini, sudah menjadi suatu pemandangan yang umum bila kita mendengar serangkaian pujian dikeluarkan oleh seseorang kepada pejabat yang hadir. Saking biasanya, telinga hadirin menjadi biasa ketika kata-kata "yang mulia," atau "yang kami banggakan," keluar dari mulut si pembicara.
Maksudnya untuk menghormati si tamu, atau bisa jadi untuk mengambil hati atau mencari muka agar dirinya dapat memperoleh promosi jabatan. Yang lebih celaka ketika saudara-saudara Muslim kita ramai-ramai memuji, mengusung, dan menyanjung kemaksiatan di pentas hiburan tanpa tedeng aling-aling. Demi fulus, popularitas dan atas nama kebebasan berekspresi, mereka sesungguhnya telah menjerumuskan saudaranya, artis yang berwajah lugu itu (atau berlagak lugu) ke dalam jurang kemaksiatan yang dalam. Na'uudzu billahi mindzaliik!
Saudaraku, para sahabat sangat membenci pujian. Mereka akan sangat marah kepada siapa saja yang melontarkan pujian walau jujur dan apa adanya. Mereka lebih senang mendapatkan kritikan pedas sekali pun mereka termasuk orang-orang yang berperilaku bersih. Sahabat 'Umar bin Khaththab ra suatu ketika pernah bertanya kepada seorang lelaki tentang sesuatu hal. Lantas lelaki itu berkata, "Tentunya Anda lebih baik dan lebih tahu daripada aku wahai Amirul Mukminin." 'Umar ra lantas memarahi orang itu seraya berkata, "Apakah aku memerintahkan kamu untuk memuji diriku?"
Seorang sufi, Al-Harits al-Muhasibi dalam kitabnya, 'al-Washaya' menuliskan bahwa, aku telah mendengar sebuah Hadits Rasulullah Saw yang sanad-nya belum aku yakini dengan pasti. Namun jika memang Hadits itu shahih maka kandungannya akan sangat bermanfaat bagi kita.
Disebutkan bahwa ada salah seorang laki-laki memberikan pujian kepada rekannya yang sedang berada di samping Rasulullah saw. Maka beliau bersabda, "Seandainya temanmu tadi itu sedang sekarat dalam keadaan ridha dengan pujian yang kamu sampaikan kepadanya, lantas dia meninggal dunia, maka dia akan masuk Neraka." Dalam kesempatan lain Rasulullah saw pernah bersabda kepada para sahabat, "Ingatlah, janganlah kalian saling melontarkan pujian! Jika kalian melihat ada orang-orang yang memberikan pujian, maka taburkanlah pasir ke wajah mereka!" (Hr. Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi).
Imam al-Ghazali dalam kitabnya, 'Kitabul Arba'in fi Ushuliddiin' mengatakan bahwa pujian itu mengandung enam bencana. Empat bencana bagi pemuji dan dua untuk yang dipuji: Pertama, seringkali pujian tersebut dilakukan secara berlebih-lebihan, bahkan akhirnya menjurus pada dusta, karena tidak sesuai dengan kenyataan. Kedua, berpura-pura senang kepada orang yang dipuji, padahal sebenarnya tidaklah demikian, Hal ini jelas menjurus pada sifat munafik dan riya'. Ketiga, seringkali mengatakan sesuatu secara tidak obyektif dan omong kosong. Misalnya, mengatakan dia itu orang yang adil, dan dia itu wara', padahal kenyataannya tidak.
Keempat, dapat menjadikan pihak yang dipuji itu merasa bangga dan besar kepala. Padahal bisa jadi orang yang dipuji itu adalah orang yang zhalim, yang membuatnya semakin senang atas kedurhakaan dan kefasikannya. Padahal Rasulullah Saw telah bersabda, "Sesungguhnya Allah sangat murka bila ada orang fasik dipuji-puji." (al-Hadits). Kelima, kemungkinan si penerima pujian akan menjadi takabur dan ta'ajjub yang keduanya sangat membinasakan. Dan keenam, bisa jadi si penerima pujian akan bangga dan lupa akan amalnya serta merasa dirinya sudah cukup.
Karena itu, mari periksa diri kita. Jika kebaikan yang kita lakukan selama ini mulai nampak di permukaan, biasanya akan diikuti dengan sejuta pujian dan penghormatan. Jika demikian, berhati-hatilah, karena syaitan mulai melepaskan anak panahnya agar kita terlena dalam pujian. Melayang dengan pujian dan sanjungan yang diterima, sampai lupa bahwa segala bentuk pujian hanya untuk dan milik Allah. Seorang bijak berkata, "Barangsiapa suka dipuji, maka dia telah memungkinkan syaitan untuk masuk ke dalam perutnya."
Begitulah. Jangan sampai kita tertipu dengan merasa telah beramal baik dengan tulus ikhlas sehingga merasa sudah layak menerima pahala dari Allah. Jangan pernah merasa sebagai ahli Surga hanya karena telah membantu dan menyantuni anak-anak yatim, atau telah memberangkatkan sejumlah orang untuk pergi haji, jika hati kecil ini masih ingin dipuji orang lain. Jangan berkecil hati hanya karena orang di sekitar tak memandang dan memperhatikan amal baik kita selama ini. Jangan bersedih ketika orang-orang tak mengakui jasa-jasa kita dalam membangun masjid atau mushala. Karena pujian, sekali lagi hanya milik dan untuk Allah, bukan milik kita!
Saudaraku, semua ini bukan berarti kita tak berhak menerima pujian. Sebagian ulama mengatakan bahwa, suatu pujian kalau disampaikan bebas dari unsur-unsur negatif seperti di atas, maka boleh dilakukan. Sebab, dalam beberapa kesempatan, Rasulullah saw juga sering memberikan pujian dan sanjungan kepada para sahabat, bilamana menurut beliau justru akan semakin menambah semangat kerja dan daya juang mereka, bukannya semakin membuat mereka sombong.
Misalnya ketika Nabi saw memuji Abu Bakar ash-Shaddiq ra, "Andaikata kualitas keimanan Abu Bakar dan manusia sejagad ditimbang, tentu akan lebih berat kualitas keimanan Abu Bakar." Dan tentang 'Umar bin Khaththab ra, Nabi saw bersabda, "Andaikata aku belum diutus tentu engkau 'Umar yang akan diutus menjadi Rasul."
Ada ungkapan menarik yang disampaikan oleh al-Muhasibi, "Beribadahlah karena dan untuk Allah semata, karena niscaya burung, binatang-binatang buas, hewan melata dan para Malaikat akan memuji dirimu. Seluruh bangsa jin dan manusia yang berada di sekelilingmu juga akan turut berbahagia. Mereka akan memuji sikapmu. Lantas apakah kamu memilih untuk beribadah karena Allah atau tetap mengharapkan tipu daya berupa pujian dari mahluk. Kamu lebih memilih untuk meraih ridha Allah ataukah senang menerima azab-Nya? Kamu lebih senang mendapatkan nikmat yang abadi ataukah azab yang pedih?"
Salah satu obat untuk menghindari sikap senang dipuji dan disanjung adalah memperbanyak syukur kepada-Nya. Karena dengan menanamkan rasa syukur, memperbanyak syukur dan khawatir kalau nikmat Allah dicabut maka kita tidak akan mempunyai waktu lagi untuk merasa tersanjung ketika dipuji. Sebab malaikat dan para nabi saja sangat khawatir jika sampai anugerah Allah dicabut dari mereka. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya: "(Mereka berdoa), 'Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami." (ali-'Imraan: 8).
Saudaraku, tak henti-hentinya al-Fakir mengingatkan, terutama bagi diri al-Fakir sendiri agar kita senantiasa saling mengingatkan satu sama lain dalam berperilaku. Mari kita teladani apa yang dilakukan oleh Imam 'Ali bin Abi Thalib kw saat disanjung orang. Beliau biasanya berdoa: "Ya Allah, ampunilah aku dari apa yang tidak mereka ketahui, dan janganlah Engkau siksa aku dengan apa yang mereka katakan, dan jadikanlah aku lebih baik daripada dari apa yang mereka sangkakan kepadaku." Atau meniru apa yang diucapkan oleh sebagian sufi dalam doanya ketika dipuji: "Ya Allah, sungguh hamba-Mu ini lebih layak pada murka-Mu dan aku bersaksi kepada-Mu atas kelayakan murka itu."
Dalam berbagai pertemuan keagamaan masih terdengar ucapan saling memuji di antara mereka yang hadir. Mungkin saja sekadar basa-basi, atau untuk merendahkan diri satu sama lain, atau hanya berkelakar. Ulama yang bijak biasanya segera beristighfar ketika mendengar pujian terarah kepada dirinya. Mereka tidak suka dipuji walau hanya untuk berkelakar. Karena ulama yang bijak, tahu betul guyon atau lelucon tidak ada dalam kamusnya. Apalagi berbicara hal-hal yang tak bermanfaat sama sekali!
Orang yang senang dipuji dan disanjung biasanya adalah orang yang hidupnya selalu bergelimang dosa. Paling tidak, orang yang sangat mencintai dunia. Imam al-Ghazali berkata bahwa memuji ternyata telah menjadi kebiasaan para pembesar dan penguasa yang menjadi budak dunia. Begitu pula dengan para pembuat kisah dan juru bicara, mereka suka memuji para hadirin, khususnya para hartawan. Dalam berbagai rapat formal yang digelar di negeri ini, sudah menjadi suatu pemandangan yang umum bila kita mendengar serangkaian pujian dikeluarkan oleh seseorang kepada pejabat yang hadir. Saking biasanya, telinga hadirin menjadi biasa ketika kata-kata "yang mulia," atau "yang kami banggakan," keluar dari mulut si pembicara.
Maksudnya untuk menghormati si tamu, atau bisa jadi untuk mengambil hati atau mencari muka agar dirinya dapat memperoleh promosi jabatan. Yang lebih celaka ketika saudara-saudara Muslim kita ramai-ramai memuji, mengusung, dan menyanjung kemaksiatan di pentas hiburan tanpa tedeng aling-aling. Demi fulus, popularitas dan atas nama kebebasan berekspresi, mereka sesungguhnya telah menjerumuskan saudaranya, artis yang berwajah lugu itu (atau berlagak lugu) ke dalam jurang kemaksiatan yang dalam. Na'uudzu billahi mindzaliik!
Saudaraku, para sahabat sangat membenci pujian. Mereka akan sangat marah kepada siapa saja yang melontarkan pujian walau jujur dan apa adanya. Mereka lebih senang mendapatkan kritikan pedas sekali pun mereka termasuk orang-orang yang berperilaku bersih. Sahabat 'Umar bin Khaththab ra suatu ketika pernah bertanya kepada seorang lelaki tentang sesuatu hal. Lantas lelaki itu berkata, "Tentunya Anda lebih baik dan lebih tahu daripada aku wahai Amirul Mukminin." 'Umar ra lantas memarahi orang itu seraya berkata, "Apakah aku memerintahkan kamu untuk memuji diriku?"
Seorang sufi, Al-Harits al-Muhasibi dalam kitabnya, 'al-Washaya' menuliskan bahwa, aku telah mendengar sebuah Hadits Rasulullah Saw yang sanad-nya belum aku yakini dengan pasti. Namun jika memang Hadits itu shahih maka kandungannya akan sangat bermanfaat bagi kita.
Disebutkan bahwa ada salah seorang laki-laki memberikan pujian kepada rekannya yang sedang berada di samping Rasulullah saw. Maka beliau bersabda, "Seandainya temanmu tadi itu sedang sekarat dalam keadaan ridha dengan pujian yang kamu sampaikan kepadanya, lantas dia meninggal dunia, maka dia akan masuk Neraka." Dalam kesempatan lain Rasulullah saw pernah bersabda kepada para sahabat, "Ingatlah, janganlah kalian saling melontarkan pujian! Jika kalian melihat ada orang-orang yang memberikan pujian, maka taburkanlah pasir ke wajah mereka!" (Hr. Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi).
Imam al-Ghazali dalam kitabnya, 'Kitabul Arba'in fi Ushuliddiin' mengatakan bahwa pujian itu mengandung enam bencana. Empat bencana bagi pemuji dan dua untuk yang dipuji: Pertama, seringkali pujian tersebut dilakukan secara berlebih-lebihan, bahkan akhirnya menjurus pada dusta, karena tidak sesuai dengan kenyataan. Kedua, berpura-pura senang kepada orang yang dipuji, padahal sebenarnya tidaklah demikian, Hal ini jelas menjurus pada sifat munafik dan riya'. Ketiga, seringkali mengatakan sesuatu secara tidak obyektif dan omong kosong. Misalnya, mengatakan dia itu orang yang adil, dan dia itu wara', padahal kenyataannya tidak.
Keempat, dapat menjadikan pihak yang dipuji itu merasa bangga dan besar kepala. Padahal bisa jadi orang yang dipuji itu adalah orang yang zhalim, yang membuatnya semakin senang atas kedurhakaan dan kefasikannya. Padahal Rasulullah Saw telah bersabda, "Sesungguhnya Allah sangat murka bila ada orang fasik dipuji-puji." (al-Hadits). Kelima, kemungkinan si penerima pujian akan menjadi takabur dan ta'ajjub yang keduanya sangat membinasakan. Dan keenam, bisa jadi si penerima pujian akan bangga dan lupa akan amalnya serta merasa dirinya sudah cukup.
Karena itu, mari periksa diri kita. Jika kebaikan yang kita lakukan selama ini mulai nampak di permukaan, biasanya akan diikuti dengan sejuta pujian dan penghormatan. Jika demikian, berhati-hatilah, karena syaitan mulai melepaskan anak panahnya agar kita terlena dalam pujian. Melayang dengan pujian dan sanjungan yang diterima, sampai lupa bahwa segala bentuk pujian hanya untuk dan milik Allah. Seorang bijak berkata, "Barangsiapa suka dipuji, maka dia telah memungkinkan syaitan untuk masuk ke dalam perutnya."
Begitulah. Jangan sampai kita tertipu dengan merasa telah beramal baik dengan tulus ikhlas sehingga merasa sudah layak menerima pahala dari Allah. Jangan pernah merasa sebagai ahli Surga hanya karena telah membantu dan menyantuni anak-anak yatim, atau telah memberangkatkan sejumlah orang untuk pergi haji, jika hati kecil ini masih ingin dipuji orang lain. Jangan berkecil hati hanya karena orang di sekitar tak memandang dan memperhatikan amal baik kita selama ini. Jangan bersedih ketika orang-orang tak mengakui jasa-jasa kita dalam membangun masjid atau mushala. Karena pujian, sekali lagi hanya milik dan untuk Allah, bukan milik kita!
Saudaraku, semua ini bukan berarti kita tak berhak menerima pujian. Sebagian ulama mengatakan bahwa, suatu pujian kalau disampaikan bebas dari unsur-unsur negatif seperti di atas, maka boleh dilakukan. Sebab, dalam beberapa kesempatan, Rasulullah saw juga sering memberikan pujian dan sanjungan kepada para sahabat, bilamana menurut beliau justru akan semakin menambah semangat kerja dan daya juang mereka, bukannya semakin membuat mereka sombong.
Misalnya ketika Nabi saw memuji Abu Bakar ash-Shaddiq ra, "Andaikata kualitas keimanan Abu Bakar dan manusia sejagad ditimbang, tentu akan lebih berat kualitas keimanan Abu Bakar." Dan tentang 'Umar bin Khaththab ra, Nabi saw bersabda, "Andaikata aku belum diutus tentu engkau 'Umar yang akan diutus menjadi Rasul."
Ada ungkapan menarik yang disampaikan oleh al-Muhasibi, "Beribadahlah karena dan untuk Allah semata, karena niscaya burung, binatang-binatang buas, hewan melata dan para Malaikat akan memuji dirimu. Seluruh bangsa jin dan manusia yang berada di sekelilingmu juga akan turut berbahagia. Mereka akan memuji sikapmu. Lantas apakah kamu memilih untuk beribadah karena Allah atau tetap mengharapkan tipu daya berupa pujian dari mahluk. Kamu lebih memilih untuk meraih ridha Allah ataukah senang menerima azab-Nya? Kamu lebih senang mendapatkan nikmat yang abadi ataukah azab yang pedih?"
Salah satu obat untuk menghindari sikap senang dipuji dan disanjung adalah memperbanyak syukur kepada-Nya. Karena dengan menanamkan rasa syukur, memperbanyak syukur dan khawatir kalau nikmat Allah dicabut maka kita tidak akan mempunyai waktu lagi untuk merasa tersanjung ketika dipuji. Sebab malaikat dan para nabi saja sangat khawatir jika sampai anugerah Allah dicabut dari mereka. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya: "(Mereka berdoa), 'Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami." (ali-'Imraan: 8).
Saudaraku, tak henti-hentinya al-Fakir mengingatkan, terutama bagi diri al-Fakir sendiri agar kita senantiasa saling mengingatkan satu sama lain dalam berperilaku. Mari kita teladani apa yang dilakukan oleh Imam 'Ali bin Abi Thalib kw saat disanjung orang. Beliau biasanya berdoa: "Ya Allah, ampunilah aku dari apa yang tidak mereka ketahui, dan janganlah Engkau siksa aku dengan apa yang mereka katakan, dan jadikanlah aku lebih baik daripada dari apa yang mereka sangkakan kepadaku." Atau meniru apa yang diucapkan oleh sebagian sufi dalam doanya ketika dipuji: "Ya Allah, sungguh hamba-Mu ini lebih layak pada murka-Mu dan aku bersaksi kepada-Mu atas kelayakan murka itu."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar