Islam itu beda dan istimewa dibanding yang lain. Banyak hal untuk menunjukkan hal itu, salah satunya adalah sikap Islam terhadap Ilmu Pengetahuan dan para ilmuwan, baik ilmu-ilmu agama maupun dunia. Keduanya (ilmu dan ilmuwan) mendapatkan posisi tinggi dan penting dalam Islam, yang tidak diraih oleh lainnya.
Bagaimana tidak? Al Quran dan As Sunnah, sebagai referensi tertinggi umat Islam, telah menegaskan hal itu. Lalu, ditunjukkan pula dengan sikap para sahabat nabi, para tabi’in (murid-murid sahabat nabi), hingga zaman keemasan Islam. Maka, sudah semestinya bagi umat Islam masa kini, mengembalikan supremasi yang sudah hilang, yang diawali pemahaman yang benar terhadap posisi ilmu dan ilmuwan. Merenungi dan tidak menganggapnya ini sebagai utopia (mimpi) semata. Sebab mimpi kemarin adalah kenyataan hari ini, khayalan hari ini adalah kenyataan hari esok.
Perspektif Al Quran
Dalam Al Quran banyak sekali ayat yang menegaskan hal ini. Di sini akan ditunjukkan beberapa saja, diantaranya:
Pertama. Ilmuwan adalah tempat bertanya. Allah Ta’ala befirman:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ
“Maka, bertanyalah kepada ahli dzikr jika kalian tidak tahu.” (QS. An Nahl (16): 43)
Ahli dzikri dalam ayat ini adalah bermakna Ahlul ‘Ilmi (ilmuwan), juga ahli Al Quran, sebagaimana dikatakan Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma. (Imam Al Qurthubi, Jami’ul Ahkam, 10/108. Cet. 1. 1420H-2000M. Muasasah Ar Risalah)
Lihatlah ayat ini! Ahli ilmu dijadikan tempat rujukan bagi manusia untuk mengetahui perkara yang mereka ingin ketahui. Dan, masing-masing urusan ada ilmunya, masing-masing ilmu ada ahlinya, dan kepada merekalah kita diperintahkan untuk bertanya.
Secara khusus ayat ini juga menceritakan keunggulan Ahlul Quran, dan Adz Dzikr adalah nama lain dari Al Quran. Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di Rahmatullah ‘Alaih berkata:
وعموم هذه الآية فيها مدح أهل العلم، وأن أعلى أنواعه العلم بكتاب الله المنزل. فإن الله أمر من لا يعلم بالرجوع إليهم في جميع الحوادث، وفي ضمنه تعديل لأهل العلم وتزكية لهم حيث أمر بسؤالهم، وأن بذلك يخرج الجاهل من التبعة، فدل على أن الله ائتمنهم على وحيه وتنزيله، وأنهم مأمورون بتزكية أنفسهم، والاتصاف بصفات الكمال.
وأفضل أهل الذكر أهل هذا القرآن العظيم، فإنهم أهل الذكر على الحقيقة، وأولى من غيرهم بهذا الاسم، ولهذا قال تعالى: { وَأَنزلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ } أي: القرآن الذي فيه ذكر ما يحتاج إليه العباد من أمور دينهم ودنياهم الظاهرة والباطنة
“Secara umum, dalam ayat ini terdapat pujian terhadap ahlul ilmi (ilmuwan), dan jenis yang paling tinggi adalah pengetahuan terhadap Kitabullah (Al Quran). Maka, Allah memerintahkan orang yang tidak tahu untuk mengembalikan kepada mereka dalam berbagai urusan, dan di dalamnya juga terdapat pujian dan mentazkiyah (membanggakan) ahli ilmu, yakni ketika Allah memerintahkan untuk menanyai mereka. Dan, dengan hal itu dapat mengeluarkan orang bodoh dari sifat ikut-ikutan, dan menunjukkan bahwa Allah mengamanahkankan mereka atas wahyuNya dan kitabNya. Mereka juga diperintahkan untuk mentazkiyah para ulama dengan sifat-sifat yang baik. Sebaik-baiknya Ahludz Dzikr adalah ahlinya Al Quran Al ‘Azhim, merekalah ahli dzikri sebenarnya, dan mereka lebih utama disbanding selainnya dengan penamaan ini. Oleh karena itu Allah Ta’ala berfirman: (Kami menurunkan kepadamu Adz Dzikr) yaitu Al Quran yang di dalamnya terdapat peringatakan (Dzikr) yang dibutuhkan hamba-hamba Allah, berupa perkara agama dan dunia mereka, baik yang nampak maupun tersembunyi.” (Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, Taisir Al Karim Ar Rahman, 1/441. Cet. 1, 1420H-2000M. Muasasah Ar Risalah)
Kedua. Allah Ta’ala memerintahkan agar mentaati ilmuwan. Allah Ta’ala berfirman:
أطيعوا الله وأطيعوا الرسول وأولي الأمر منكم
“Taatilah Allah dan taatilah Rasul, dan Ulil Amri di antara kalian.” (QS. An Nisa (4): 59)
Siapakah yang dimaksud ulil Amri dalam ayat ini? Berikut penjelasannya:
وقال علي بن أبي طلحة، عن ابن عباس: { وأولي الأمر منكم } يعني: أهل الفقه والدين. وكذا قال مجاهد، وعطاء، والحسن البصري، وأبو العالية: { وأولي الأمر منكم } يعني: العلماء. والظاهر -والله أعلم-أن الآية في جميع أولي الأمر من الأمراء والعلماء، كما تقدم.
Berkata Ali bin Abi Thalhah, dari Ibnu Abbas (dan Ulil Amri di antara kalian) yakni ahli fiqh (ilmu) dan agama. Demikian pula kata Mujahid, ‘Atha, Al Hasan Al Bashri, dan Abul ‘Aliyah (dan Ulil Amri di antara kalian) yakni ulama. Dan zahirnya ayat ini –wallahu a’lam- bahwa seua makna ulil Amri adalah dari kalangan umara (penguasa) dan ulama (ilmuwan). (Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 2/345. Dar Ath Thayyibah)
Hal ini karena masih ada kaitan dengan ayat sebelumnya bahwa di tangan merekalah ilmu pengetahuan, sehingga amat logis jika mengikuti apa yang mereka katakan. Dan, ini merupakan perintah Allah Ta’ala untuk mentaati mereka, selama mereka masih di atas kebenaran.
Ketiga. Derajat mereka ditinggikan oleh Allah Ta’ala.
Allah Ta’ala berfirman:
يرفع الله الذين آمنوا منكم والذين أوتوا العلم درجات والله بما تعملون خبير
“Allah mengangkat derajat orang-orang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberikan ilmu. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kalian lakukan.” (QS. Al Mujadillah (58): 11)
Orang yang beriman adalah baik, tapi beriman namun bodoh? Orang berilmu adalah bagus, tapi berilmu tanpa iman? Tidak baik dan tidak sempurna. Islam menghendaki paduan keduanya, dalam pribadi seorang muslim yakni iman dan ilmu. Berilmu tanpa iman, maka hidup tanpa arah, ilmu yang dimilikinya tidak memiliki panduan kearah kebaikan . Lihatlah koruptor, bukankah mereka itu orang pintar? Tapi imannya tipis, sehingga menjadi pintar tapi tidak benar. Sebaliknya, beriman tanpa ilmu, akan menjadi orang baik dan shalih, tapi tidak berdaya guna dan polos. Hidupnya hanya untuk dirinya sendiri, bahkan dia mudah diperdaya orang jahat.
Jadi, muslim yang seharusnya adalah dia mukmin dan berilmu sekaligus. Mulia di mata Allah Ta’ala, dan berwibawa di mata manusia.
Imam Asy Syaukani Rahimahullah menjelaskan:
أنه يرفع الذين آمنوا على من لم يؤمن درجات ، ويرفع الذين أوتوا العلم على الذين آمنوا درجات ، فمن جمع بين الإيمان والعلم رفعه الله بإيمانه درجات ، ثم رفعه بعلمه درجات
“Sesungguhnya Allah angkat derajat orang beriman di atas orang tidak beriman bertingkat-tingkat, dan mengangkat derajat orang-orang yang diberikan ilmu di atas orang beriman bertingkat-tingkat, maka barangsiapa yang menggabungkan antara iman dan ilmu, maka dengan imannya Allah akan mengangkat derajatnya, kemudian dengan ilmunya Dia meninggikan derajatnya.” (Fathul Qadir, 7/175. Mauqi’ Ruh Al Islam)
Keempat. Allah Ta’ala memuji, bahwa orang yang tahu tidaklah sama derajatnya dengan orang yang tidak tahu. Allah Ta’ala berfirman:
قُلْ هَلْ يَسْتَوِى الذين يَعْلَمُونَ والذين لاَ يَعْلَمُونَ
Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” (QS. Az Zumar (39): 9)
Imam Asy Syaukani Rahimahullah menjelaskan:
المراد : العلماء والجهال ، ومعلوم عند كل من له عقل أنه لا استواء بين العلم والجهل ، ولا بين العالم والجاهل
“Maksudnya: orang-orang berilmu dan orang-orang bodoh, dan telah diketahui oleh setiap orang yang berakal, bahwa tidak sama antara ilmu dan kebodohan, dan antara orang berilmu dan orang bodoh.” (Ibid, 6/273)
Ilmu Dalam Perspektif As Sunnah
Dalam berbagai hadits nabi pun banyak disebutkan keutamaan ilmu dan orang berilmu. Di sini akan disebutkan beberapa saja:
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
من سلك طريقا يلتمس فيه علما سهل الله له به طريقا إلى الجنة
“Barangsiapa yang menempuh perjalanan untuk mencari ilmu maka akan Allah mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim No. 2699, At Tirmidzi No. 2689, Abu Daud No. 3641, Ibnu Majah No. 223, Ibnu Hibban No. 84, Ibnu Abi Syaibah, 118/6)
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إن الدنيا ملعونةٌ ملعونٌ ما فيها إلا ذكر الله وما والاه وعالمٌ أو متعلمٌ
“Sesungguhnya dunia itu terlaknat, dan terlaknatlah apa-apa yang ada di dalamnya, kecuali berdzikir kepada Allah dan apa-apa yang mendukungnya, orang berilmu, dan orang ang menuntut ilmu.” (HR. At Tirmidzi No. 2322, katanya: hasan gharib. Syaikh Al Albani menghasankan dalam Shahihul Jami’ No. 1609, Misykah Al Mashabih No. 5176)
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
وإن الملائكة لتضع أجنحتها رضاً لطالب العلم، وإن العالم ليستغفر له من في السموات ومن في الأرض والحيتان في جوف الماء، وإن فضل العالم على العابد كفضل القمر ليلة البدر على سائر الكواكب، وإن العلماء ورثة الأنبياء، وإن الأنبياء لم يورثوا ديناراً ولا درهماً، ورثوا العلم؛ فمن أخذه أخذ بحظٍّ وافرٍ”
“Sesungguhnya para malaikat meletakkan sayap-sayapnya karena ridha terhadap penuntut ilmu, sesungguhnya orang yang berilmu akan dimintakan ampun oleh siapa saja yang di langit, di bumi, ikan-ikan yang di laut, sesungguhnya keutamaan orang berilmu di atas ahli ibadah seumpama keutamaan rembulan di malam purnama dibanding semua bintang. Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi, dan para nabi tidaklah mewariskan dinar dan dirham, mereka mewariskan ilmu, barang siapa yang mengambilnya maka ambillah dengan keuntungan yang banyak.” (HR. Abu Daud No. 3641, Ibnu Majah No. 223, Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ No. 6297)
Masih banyak hadits nabi yang menstimulus umatnya untuk mengejar ilmu pengetahuan.
Ilmu Dalam Perspektif Para Sahabat Nabi
Tak ada generasi sebaik mereka, baik di dunia Islam atau semua peradaban dunia. Hal ini Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebutkan sendiri. Dari ‘Imran bin Hushain Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
خير أمتي قرني، ثم الذين يلونهم، ثم الذين يلونهم – قال عمران: فلا أدري أذكر بعد قرنه قرنين أو ثلاثا
“Sebaik-baiknya umat adalah zamanku, kemudian setelah mereka, kemudian setelah mereka – ‘Imran berkata: saya tidak tahu penyebutan setelah zamannya itu dua kali atau tiga kali.” (HR. Bukhari No. 3450)
Di antara faktor mereka menjadi umat terbaik adalah kesungguhan mereka yang sangat besar terhadap ilmu. Kita ambil contoh perkataan Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu. Dari Tsumamah, katanya: Anas bin Malik berkata kepadaku:
قيدوا العلم بالكتابة
“Ikatlah ilmu dengan tulisan.” (HR. Ath Thabarani dalam Al Kabir No. 699. Syamilah. Imam Al Haitsami dalam Al Majma’ mengomentari ucapan Anas ini, katanya: “rijal (periwayat) hadits ini adalah rijal yang shahih/valid . Lihat Majma’ Az Zawaid, 1/152)
Abu Nu’aim Al Hindi mengatakan, bahwa Umar bin Al Khathab Radhiallahu ‘Anhu berkata:
تعلموا من النجوم ما تهتدون به في بركم وبحركم ثم امسكوا وتعلموا من النسبة ما تصلون به أرحامكم وتعلموا ما يحل لكم من النساء ويحرم عليكم ثم انتهوا
“Pelajarilah ilmu tentang perbintangan yang dengannya kalian mendapatkan petunjuk di darat dan laut, lalu tekunilah. Dan, pelajarilah tentang nasab yang dengannya kalian dapat menyambungkan silaturrahim, dan pelajarilah apa-apa yang halal bagi kalian terhadap wanita dan yang haram bagi kalian, lalu jauhilah.” (Imam Ibnu Rajab Al Hambali, Fadhlu ‘Ilmi Salaf ‘Alal Khalaf, Hal. 2. Mawqi’ Ruh Al Islam)
Hal ini juga dilakukan oleh kaum wanita. Rasa malu tidaklah menghalangi mereka untuk mengetahui ilmu yang mereka butuhkan untuk kebaikan mereka.
Ummu Salamah mengatakan: Ummu Sulaim mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah tidaklah malu terhadap kebenaran, apakah wajib bagi wanita untuk mandi jika dia bermimpi (basah)?” Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Ya, jika dia melihat air (dari kemaluannya, pen)” Lalu Ummu Salamah menutup wajahnya (karena malu, pen).” Ummu Salamah bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah wanita ada mimpi basah?” Beliau bersabda: “Ya, gimana kamu ini, kalau tidak bagaimana anaknya bisa mirip dia?” (HR. Bukhari No. 130, 282, 3328, 6091, 6121)
‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha pernah mengatakan:
“نِعْمَ النِّسَاءُ نِسَاءُ الأَنْصَارِ لَمْ يَمْنَعْهُنَّ الْحَيَاءُ أَنْ يَتَفَقَّهْنَ فِي الدِّينِ”
“Sebaik-baiknya wanita adalah wanita Anshar, rasa malu tidak menghalangi mereka untuk memahami agama.” (HR. Bukhari, Bab Al Haya’ Fil ‘Ilmi)
Ini hanyalah beberapa contoh dan masih banyak contoh lainnya.
Setelah ini, Apa?
Tidak cukup sekedar bangga, dan mengulang-ulang kebanggaan. Sebab itu tidaklah merubah keadaan dan tidak akan mengembalikan kejayaan. Di luar sana ada tantangan bagi umat Islam, bagi ulama, pemimpin, mahasiswa, pelajar, dan semuanya. Apakah kita hanya bisa berbangga dengan romantika kejayaan masa lalu, lalu meratapi puing keruntuhan peradaban Islam masa kini, dan menatap masa depan dengan pandangan hampa? Ataukah kita mulai berbenah, dari yang paling ringan dan dekat, yang masih mungkin kita lakukan?
Hari ini kita menikmati berbagai merek mobil dan motor; ada Mercedes Benz, BMW, Peugeot, Toyota, Hyundai, Daihatsu, dan lainnya dengan berbagai serinya. Begitu pula Honda, Yamaha, Suzuki, dan Kawasaki, dengan berbagai tipenya. Tapi itu semua bukan buatan kita, bukan hasil dari rekayasa para insinyur kita, kita hanya membeli, menikmat, memakai, lalu merusaknya, tanpa mampu lagi membuat hal yang baru, yang bisa kita tawarkan ke dunia kita, apalagi dunia mereka!
Keadaan ini tidak perlu ada yang disalahkan. Sebab kita hidup dalam satu hembusan nafas dengan paket kemunduran Islam abad modern. Kita lahir di zaman yang sudah seperti ini. Juga, tidak dibenarkan menuduh kepada para pendahulu dalam kemunduran umat Islam. Kita di sini, pada zaman ini, memiliki tugas masing-masing dengan jangkauan masing-masing pula. Bekerjalah semua secara harmonis demi kembalinya supremasi keilmuan Islam, dan untuk ‘izzul islam wal muslimin (kejayaan Islam dan muslimin).
[source] : http://al-fauzien.web.id/isi/2010/04/23/ilmu-dalam-perspektif-islam/#more-855
Tidak ada komentar:
Posting Komentar