Senin, 31 Mei 2010

Adab Pergaulan Laki-laki dan Wanita (1)

PERTANYAAN

Banyak perkataan dan fatwa seputar masalah (boleh tidaknya)
laki-laki bergaul dengan perempuan (dalam satu tempat). Kami
dengar diantara ulama ada yang mewajibkan wanita untuk tidak
keluar dari rumah kecuali ke kuburnya, sehingga ke masjid
pun mereka dimakruhkan. Sebagian lagi ada yang
mengharamkannya, karena takut fitnah dan kerusakan zaman.

Mereka mendasarkan pendapatnya pada perkataan Ummul Mu'minin
Aisyah r.a.: "Seandainya Rasulullah saw. mengetahui apa yang
diperbuat kaum wanita sepeninggal beliau, niscaya beliau
melarangnya pergi ke masjid."

Kiranya sudah tidak samar bagi Ustadz bahwa wanita juga
perlu keluar rumah ketengah-tengah masyarakat untuk belajar,
bekerja, dan bersama-sama di pentas kehidupan. Jika itu
terjadi, sudah tentu wanita akan bergaul dengan laki-laki,
yang boleh jadi merupakan teman sekolah, guru, kawan kerja,
direktur perusahaan, staf, dokter dan sebagainya.

Pertanyaan kami, apakah setiap pergaulan antara laki-laki
dengan perempuan itu terlarang atau haram? Apakah mungkin
wanita akan hidup tanpa laki-laki, terlebih pada zaman yang
kehidupan sudah bercampur aduk sedemikian rupa? Apakah
wanita itu harus selamanya dikurung dalam sangkar, yang
meskipun berupa sangkar emas, ia tak lebih sebuah penjara?
Mengapa laki-laki diberi sesuatu (kebebasan) yang tidak
diberikan kepada wanita? Mengapa laki-laki dapat
bersenang-senang dengan udara bebas, sedangkan wanita
terlarang menikmatinya? Mengapa persangkaan jelek itu selalu
dialamatkan kepada wanita, padahal kualitas keagamaan,
pikiran, dan hati nurani wanita tidak lebih rendah daripada
laki-laki?

Wanita - sebagaimana laki-laki - punya agama yang
melindunginya, akal yang mengendalikannya, dan hati nurani
(an-nafs al-lawwamah) yang mengontrolnya. Wanita,
sebagaimana laki-laki, juga punya gharizah atau keinginan
yang mendorong pada perbuatan buruk (an-nafs al-ammarah
bis-su). Wanita dan laki-laki sama-sama punya setan yang
dapat menyulap kejelekan menjadi keindahan serta membujuk
rayu mereka.

Yang menjadi pertanyaan, apakah semua peraturan yang ketat
untuk wanita itu benar-benar berasal dari hukum Islam?

Kami mohon Ustadz berkenan menjelaskan masalah ini, dan
bagaimana seharusnya sikap kita? Dengan kata lain, bagaimana
pandangan syariat terhadap masalah ini? Atau, bagaimana
ketentuan Al-Qur'an dan Sunnah Nabi yang sahih, bukan kata
si Zaid dan si Amr.

JAWABAN

Kesulitan kita - sebagaimana yang sering saya kemukakan -
ialah bahwa dalam memandang berbagai persoalan agama,
umumnya masyarakat berada dalam kondisi ifrath (berlebihan)
dan tafrith (mengabaikan). Jarang sekali kita temukan sikap
tawassuth (pertengahan) yang merupakan salah satu
keistimewaan dan kecemerlangan manhaj Islam dan umat Islam.

Sikap demikian juga sama ketika mereka memandang masalah
pergaulan wanita muslimah di tengah-tengah masyarakat. Dalam
hal ini, ada dua golongan masyarakat yang saling
bertentangan dan menzalimi kaum wanita.

Pertama, golongan yang kebarat-baratan yang menghendaki
wanita muslimah mengikuti tradisi Barat yang bebas tetapi
merusak nilai-nilai agama dan menjauh dari fitrah yang lurus
serta jalan yang lempang. Mereka jauh dari Allah yang telah
mengutus para rasul dan menurunkan kitab-kitab-Nya untuk
menjelaskan dan menyeru manusia kepada-Nya.

Mereka menghendaki wanita muslimah mengikuti tata kehidupan
wanita Barat "sejengkal demi sejengkal, sehasta demi
sehasta" sebagaimana yang digambarkan oleh hadits Nabi,
sehingga andaikata wanita-wanita Barat itu masuk ke lubang
biawak niscaya wanita muslimah pun mengikuti di belakangnya.
Sekalipun lubang biawak tersebut melingkar-lingkar, sempit,
dan pengap, wanita muslimah itu akan tetap merayapinya. Dari
sinilah lahir "solidaritas" baru yang lebih dipopulerkan
dengan istilah "solidaritas lubang biawak."

Mereka melupakan apa yang dikeluhkan wanita Barat sekarang
serta akibat buruk yang ditimbulkan oleh pergaulan bebas
itu, baik terhadap wanita maupun laki-laki, keluarga, dan
masyarakat. Mereka sumbat telinga mereka dari
kritikan-kritikan orang yang menentangnya yang datang silih
berganti dari seluruh penjuru dunia, termasuk dari Barat
sendiri. Mereka tutup telinga mereka dari fatwa para ulama,
pengarang, kaum intelektual, dan para muslihin yang
mengkhawatirkan kerusakan yang ditimbulkan peradaban Barat,
terutama jika semua ikatan dalan pergaulan antara laki-laki
dan perempuan benar-benar terlepas.

Mereka lupa bahwa tiap-tiap umat memiliki kepribadian
sendiri yang dibentuk oleh aqidah dan pandangannya terhadap
alam semesta, kehidupan, tuhan, nilai-nilai agama, warisan
budaya, dan tradisi. Tidak boleh suatu masyarakat melampaui
tatanan suatu masyarakat lain.

Kedua, golongan yang mengharuskan kaum wanita mengikuti
tradisi dan kebudayaan lain, yaitu tradisi Timur, bukan
tradisi Barat. Walaupun dalam banyak hal mereka telah
dicelup oleh pengetahuan agama, tradisi mereka tampak lebih
kokoh daripada agamanya. Termasuk dalam hal wanita, mereka
memandang rendah dan sering berburuk sangka kepada wanita.

Bagaimanapun, pandangan-pandangan diatas bertentangan dengan
pemikiran-pemikiran lain yang mengacu pada Al-Qur'anul Karim
dan petunjuk Nabi saw. serta sikap dan pandangan para
sahabat yang merupakan generasi muslim terbaik.

Ingin saya katakan disini bahwa istilah ikhtilath
(percampuran) dalam lapangan pergaulan antara laki-laki
dengan perempuan merupakan istilah asing yang dimasukkan
dalam "Kamus Islam." Istilah ini tidak dikenal dalam
peradaban kita selama berabad-abad yang silam, dan baru
dikenal pada zaman sekarang ini saja. Tampaknya ini
merupakan terjemahan dari kata asing yang punya konotasi
tidak menyenangkan terhadap perasaan umat Islam. Barangkali
lebih baik bila digunakan istilah liqa' (perjumpaan),
muqabalah (pertemuan), atau musyarakrah (persekutuan)
laki-laki dengan perempuan.

Tetapi bagaimanapun juga, Islam tidak menetapkan hukum
secara umum mengenai masalah ini. Islam justru
memperhatikannya dengan melihat tujuan atau kemaslahatan
yang hendak diwujudkannya, atau bahaya yang
dikhawatirkannya, gambarannya, dan syarat-syarat yang harus
dipenuhinya, atau lainnya.

Sebaik-baik petunjuk dalam masalah ini ialah petunjuk Nabi
Muhammad saw., petunjuk khalifah-khalifahnya yang lurus, dan
sahabat-sahabatnya yang terpimpin.

Orang yang mau memperhatikan petunjuk ini, niscaya ia akan
tahu bahwa kaum wanita tidak pernah dipenjara atau diisolasi
seperti yang terjadi pada zaman kemunduran umat Islam.

Pada zaman Rasulullah saw., kaum wanita biasa menghadiri
shalat berjamaah dan shalat Jum'at. Beliau saw. menganjurkan
wanita untuk mengambil tempat khusus di shaf (baris)
belakang sesudah shaf laki-laki. Bahkan, shaf yang paling
utama bagi wanita adalah shaf yang paling belakang. Mengapa?
Karena, dengan paling belakang, mereka lebih terpelihara
dari kemungkinan melihat aurat laki-laki. Perlu diketahui
bahwa pada zaman itu kebanyakan kaum laki-laki belum
mengenal celana.

Pada zaman Rasulullah saw. (jarak tempat shalat) antara
laki-laki dengan perempuan tidak dibatasi dengan tabir sama
sekali, baik yang berupa dinding, kayu, kain, maupun
lainnya. Pada mulanya kaum laki-laki dan wanita masuk ke
masjid lewat pintu mana saja yang mereka sukai, tetapi
karena suatu saat mereka berdesakan, baik ketika masuk
maupun keluar, maka Nabi saw. bersabda:

"Alangkah baiknya kalau kamu jadikan pintu ini untuk wanita"

Dari sinilah mula-mula diberlakukannya pintu khusus untuk
wanita, dan sampai sekarang pintu itu terkenal dengan
istilah "pintu wanita."



PERGAULAN LAKI-LAKI DENGAN PEREMPUAN Dr. Yusuf Qardhawi
(2/3)

Kaum wanita pada zaman Nabi saw. juga biasa menghadiri
shalat Jum'at, sehingga salah seorang diantara mereka ada
yang hafal surat "Qaf." Hal ini karena seringnya mereka
mendengar dari lisan Rasulullah saw. ketika berkhutbah
Jum'at.

Kaum wanita juga biasa menghadiri shalat Idain (Hari Raya
Idul Fitri dan Idul Adha). Mereka biasa menghadiri hari raya
Islam yang besar ini bersama orang dewasa dan anak-anak,
laki-laki dan perempuan, di tanah lapang dengan bertahlil
dan bertakbir.

Imam Muslim meriwayatkan dari Ummu Athiyah, katanya:

"Kami diperintahkan keluar (untuk menunaikan shalat dan
mendengarkan khutbah) pada dua hari raya, demikian pula
wanita-wanita pingitan dan para gadis."

Dan menurut satu riwayat Ummu Athiyah berkata:

"Rasulullah saw. menyuruh kami mengajak keluar kaum wanita
pada hari raya Fitri dan Adha, yaitu wanita-wanita muda,
wanita-wanita yang sedang haid, dan gadis-gadis pingitan.
Adapun wanita-wanita yang sedang haid, mereka tidak
mengerjakan shalat, melainkan mendengarkan nasihat dan
dakwah bagi umat Islam (khutbah, dan sebagainya). Aku (Ummu
Athiyah) bertanya, 'Ya Rasulullah salah seorang diantara
kami tidak mempunyai jilbab.' Beliau menjawab, 'Hendaklah
temannya meminjamkan jilbab yang dimilikinya.'"1

Ini adalah sunnah yang telah dimatikan umat Islam di semua
negara Islam, kecuali yang belakangan digerakkan oleh
pemuda-pemuda Shahwah Islamiyyah (Kebangkitan Islam). Mereka
menghidupkan sebagian sunnah-sunnah Nabi saw. yang telah
dimatikan orang, seperti sunnah i'tikaf pada sepuluh hari
terakhir bulan Ramadhan dan sunnah kehadiran kaum wanita
pada shalat Id.

Kaum wanita juga menghadiri pengajian-pengajian untuk
mendapatkan ilmu bersama kaum laki-laki di sisi Nabi saw.
Mereka biasa menanyakan beberapa persoalan agama yang
umumnya malu ditanyakan oleh kaum wanita. Aisyah r.a. pernah
memuji wanita-wanita Anshar yang tidak dihalangi oleh rasa
malu untuk memahami agamanya, seperti menanyakan masalah
jinabat, mimpi mengeluarkan sperma, mandi junub, haid,
istihadhah, dan sebagainya.

Tidak hanya sampai disitu hasrat mereka untuk menyaingi kaum
laki-laki dalam menimba-ilmu dari Rasululah saw. Mereka juga
meminta kepada Rasulullah saw. agar menyediakan hari
tertentu untuk mereka, tanpa disertai kaum laki-laki. Hal
ini mereka nyatakan terus terang kepada Rasulullah saw.,
"Wahai Rasulullah, kami dikalahkan kaum laki-laki untuk
bertemu denganmu, karena itu sediakanlah untuk kami hari
tertentu untuk bertemu denganmu." Lalu Rasulullah saw.
menyediakan untuk mereka suatu hari tertentu guna bertemu
dengan mereka, mengajar mereka, dan menyampaikan
perintah-perintah kepada mereka.2

Lebih dari itu kaum wanita juga turut serta dalam perjuangan
bersenjata untuk membantu tentara dan para mujahid, sesuai
dengan kemampuan mereka dan apa yang baik mereka kerjakan,
seperti merawat yang sakit dan terluka, disamping memberikan
pelayanan-pelayanan lain seperti memasak dan menyediakan air
minum. Diriwayatkan dari Ummu Athiyah, ia berkata:

"Saya turut berperang bersama Rasulullah saw. sebanyak tujuh
kali, saya tinggal di tenda-tenda mereka, membuatkan mereka
makanan, mengobati yang terluka, dan merawat yang sakit."3

Imam Muslim juga meriwayatkan dari Anas:

"Bahwa Aisyah dan Ummu Sulaim pada waktu perang Uhud sangat
cekatan membawa qirbah (tempat air) di punggungnya kemudian
menuangkannya ke mulut orang-orang, lalu mengisinya lagi."4

Aisyah r.a. yang waktu itu sedang berusia belasan tahun
menepis anggapan orang-orang yang mengatakan bahwa
keikutsertaan kaum wanita dalam perang itu terbatas bagi
mereka yang telah lanjut usia. Anggapan ini tidak dapat
diterima, dan apa yang dapat diperbuat wanita-wanita yang
telah berusia lanjut dalam situasi dan kondisi yang menuntut
kemampuan fisik dan psikis sekaligus?

Imam Ahmad meriwayatkan bahwa enam orang wanita mukmin turut
serta dengan pasukan yang mengepung Khaibar. Mereka memungut
anak-anak panah, mengadoni tepung, mengobati yang sakit,
mengepang rambut, turut berperang di jalan Allah, dan Nabi
saw memberi mereka bagian dari rampasan perang.

Bahkan terdapat riwayat yang sahih yang menceritakan bahwa
sebagian istri para sahabat ada yang turut serta dalam
peperangan Islam dengan memanggul senjata, ketika ada
kesempatan bagi mereka. Sudah dikenal bagaimana yang
dilakukan Ummu Ammarah Nusaibah binti Ka'ab dalam perang
Uhud, sehingga Nabi saw. bersabda mengenai dia, "Sungguh
kedudukannya lebih baik daripada si Fulan dan si Fulan."

Demikian pula Ummu Sulaim menghunus badik pada waktu perang
Hunain untuk menusuk perut musuh yang mendekat kepadanya.

Imam Muslim meriwayatkan dari Anas, anaknya (anak Ummu
Sulaim) bahwa Ummu Sulaim menghunus badik pada waktu perang
Hunain, maka Anas menyertainya. Kemudian suami Ummu Sulaim
Abu Thalhah, melihatnya lantas berkata, "Wahai Rasulullah,
ini Ummu Sulaim membawa badik." Lalu Rasululah saw. bertanya
kepada Ummu Sulaim, "Untuk apa badik ini? Ia menjawab, "Saya
mengambilnya, apabila ada salah seorang musyrik mendekati
saya akan saya tusuk perutnya dengan badik ini." Kemudian
Rasulullah saw. tertawa.5

Imam Bukhari telah membuat bab tersendiri didalam Shahih-nya
mengenai peperangan yang dilakukan kaum wanita.

Ambisi kaum wanita muslimah pada zaman Nabi saw. untuk turut
perang tidak hanya peperangan dengan negara-negara tetangga
atau yang berdekatan dengan negeri Arab seperti Khaibar dan
Hunain saja tetapi mereka juga ikut melintasi lautan dan
ikut menaklukkan daerah-daerah yang jauh guna menyampaikan
risalah Islam.

Diriwayatkan dalam Shahih Bukhari dan Muslim dari Anas bahwa
pada suatu hari Rasulullah saw. tidur siang di sisi Ummu
Haram binti Mulhan - bibi Anas - kemudian beliau bangun
seraya tertawa. Lalu Ummu Haram bertanya, "Mengapa engkau
tertawa, wahai Rasulullah?" Beliau bersabda, "Ada beberapa
orang dari umatku yang diperlihatkan kepadaku berperang fi
sabilillah. Mereka menyeberangi lautan seperti raja-raja
naik kendaraan." Ummu Haram berkata, "Wahai Rasulullah,
doakanlah kepada Allah agar Dia menjadikan saya termasuk
diantara mereka." Lalu Rasulullah saw. mendoakannya.6

Dikisahkan bahwa Ummu Haram ikut menyeberangi lautan pada
zaman Utsman bersama suaminya Ubadah bin Shamit ke Qibris.
Kemudian ia jatuh dari kendaraannya (setelah menyeberang)
disana, lalu meninggal dan dikubur di negeri tersebut,
sebagaimana yang dikemukakan oleh para ahli sejarah.7

Dalam kehidupan bermasyarakat kaum wanita juga turut serta
berdakwah: menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah dari
perbuatan munkar, sebagaimana firman Allah:

"Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan
sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang
lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah
dari yang munkar..." (at-Taubah: 71 )

Diantara peristiwa yang terkenal ialah kisah salah seorang
wanita muslimah pada zaman khalifah Umar bin Khattab yang
mendebat beliau di sebuah masjid. Wanita tersebut menyanggah
pendapat Umar mengenai masalah mahar (mas kawin), kemudian
Umar secara terang-terangan membenarkan pendapatnya, seraya
berkata, "Benar wanita itu, dan Umar keliru." Kisah ini
disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam menafsirkan surat
an-Nisa', dan beliau berkata, "Isnadnya bagus." Pada masa
pemerintahannya, Umar juga telah mengangkat asy-Syifa binti
Abdullah al-Adawiyah sebagai pengawas pasar.

Orang yang mau merenungkan Al-Qur'an dan hadits tentang
wanita dalam berbagai masa dan pada zaman kehidupan para
rasul atau nabi, niscaya ia tidak merasa perlu mengadakan
tabir pembatas yang dipasang oleh sebagian orang antara
laki-laki dengan perempuan.

Kita dapati Musa - ketika masih muda dan gagah perkasa -
bercakap-cakap dengan dua orang gadis putri seorang syekh
yang telah tua (Nabi Syusaib; ed.). Musa bertanya kepada
mereka dan mereka pun menjawabnya dengan tanpa merasa
berdosa atau bersalah, dan dia membantu keduanya dengan
sikap sopan dan menjaga diri. Setelah Musa membantunya,
salah seorang di antara gadis tersebut datang kepada Musa
sebagai utusan ayahnya untuk memanggil Musa agar menemui
ayahnya. Kemudian salah seorang dari kedua gadis itu
mengajukan usul kepada ayahnya agar Musa dijadikan
pembantunya, karena dia seorang yang kuat dan dapat
dipercaya.

Marilah kita baca kisah ini dalam Al-Qur'an:

"Dan tatkala ia (Musa) sampai di sumber air negeri Madyan ia
menjumpai disana sekumpulan orang yang sedang meminumi
(ternaknya), dan ia menjumpai di belakang orang banyak itu,
dua orang wanita yang sedang menghambat (ternaknya). Musa
berkata, 'Apakah maksudmu (dengan berbuat begitu.?)' Kedua
wanita itu menjawab, 'Kami tidak dapat meminumi (ternak
kami), sebelum penggembala-penggembala itu memulangkan
(ternaknya), sedangkan bapak kami adalah orang tua yang
telah lanjut umurnya.' Maka Musa memberi minum ternak itu
untuk (menolong) keduanya, kemudian dia kembali ke tempat
yang teduh lalu berdoa, 'Ya Tuhanku, sesungguhnya aku sangat
memerlukan sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku.'
Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua
wanita itu berjalan kemalu-maluan, ia berkata, 'Sesungguhnya
bapakku memanggil kamu agar ia memberi balasan terhadap
(kebaikan)-mu memberi minum (ternak)kami.' Maka tatkala Musa
mendatangi bapaknya (Syu'aib) dan menceritakan kepadanya
cerita (mengenai dirinya), Syu'aib berkata, 'Janganlah kamu
takut. Kamu telah selamat dari orang-orang yang zalim itu.'
Salah seorang dari kedua wanita itu berkata, 'Ya bapakku,
ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena
sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk
bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat
dipercaya.'" (al-Qashash: 23-26)



Mengenai Maryam, kita jumpai Zakaria masuk ke mihrabnya dan
menanyakan kepadanya tentang rezeki yang ada di sisinya:

"... Setiap Zakaria masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia
dapati makanan di sisinya. Zakaria berkata, 'Hai Maryam,
dari mana kamu memperoleh (makanan) ini?' Maryam menjawab,
'Makanan itu dari sisi Allah.' Sesungguhnya Allah memberi
rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa hisab."(Ali
Imran: 37)

Lihat pula tentang Ratu Saba, yang mengajak kaumnya
bermusyawarah mengenai masalah Nabi Sulaiman:

"Berkata dia (Bilqis), 'Hai para pembesar, berilah aku
pertimbangan dalam urusanku (ini) aku tidak pernah
memutuskan sesuatu persoalan sebelum kamu berada dalam
majlis-(ku).' Mereka menjawab, 'Kita adalah orang-orang yang
memilih kekuatan dan (juga) memilih keberanian yang sangat
(dalam peperangan), dan keputusan berada di tanganmu; maka
pertimbangkanlah apa yang akan kamu perintahkan.' Dia
berkata, 'Sesungguhnya raja-raja apabila memasuki suatu
negeri, niscaya mereka membinasakannya dan menjadikan
penduduknya yang mulia jadi hina; dan demikian pulalah yang
akan mereka perbuat." (an-Naml 32-34)

Berikut ini percakapan antara Bilqis dan Sulaiman:

"Dan ketika Bilqis datang, ditanyakantah kepadanya, 'Serupa
inikah singgasanamu?' Dia menjawab, 'Seakan akan
singgasanamu ini singgasanaku, kami telah diberi pengetahuan
sebelumnya dan kamõ adalah orang-orang yang berserah diri.'
Dan apa yang disembahnya selama ini selain Allah,
mencegahnya (untuk melahirkan keislamannya), karena
sesungguhnya dia dahulunya termasuk orang-orang yang kafir.
Dikatakan kepadanya, 'Masuk1ah ke dalam istana.' Maka
tatka1a ia melihat lantai istana itu, dikiranya kolam air
yang besar, dan disingkapkannya kedua betisnya. Berkatalah
Sulaiman, 'Sesungguhnya ia adalah istana licin terbuat dari
kaca. 'Berkata1ah Bilqis, 'Ya Tuhanku, sesungguhnya aku
telah berbuat zalim terhadap diriku dan aku berserah diri
bersama Sulaiman kepada Allah, Tuhan semesta
alam.'"(an-Naml: 42-44)

Kita tidak boleh mengatakan "bahwa syariat (dalam kisah di
atas) adalah syariat yang hanya berlaku pada zaman sebelum
kita (Islam) sehingga kita tidak perlu mengikutinya."
Bagaimanapun, kisah-kisah yang disebutkan dalam Al-Qur'an
tersebut dapat dijadikan petunjuk, peringatan, dan pelajaran
bagi orang-orang berpikiran sehat. Karena itu, perkataan
yang benar mengenai masalah ini ialah "bahwa syariat orang
sebelum kita yang tercantum dalam Al-Qur' an dan As-Sunnah
adalah menjadi syariat bagi kita, selama syariat kita tidak
menghapusnya."

Allah telah berfirman kepada Rasul-Nya:

"Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh
Allah, maka ikutilah petunjuk mereka ..." (al-An'am: 90)

Sesungguhnya menahan wanita dalam rumah dan membiarkannya
terkurung didalamnya dan tidak memperbolehkannya keluar dari
rumah oleh Al-Qur'an - pada salah satu tahap diantara
tahapan-tahapan pembentukan hukum sebelum turunnya nash yang
menetapkan bentuk hukuman pezina sebagaimana yang terkenal
itu - ditentukan bagi wanita muslimah yang melakukan
perzinaan. Hukuman ini dianggap sebagai hukuman yang sangat
berat. Mengenai masalah ini Allah berfirman:

"Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji,
hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang
menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi
persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam
rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai memberi
jalan lain kepadanya." (an-Nisa': 15 )

Setelah itu Allah memberikan jalan bagi mereka ketika Dia
mensyariatkan hukum had, yaitu hukuman tertentu dalam syara'
sebagai hak Allah Ta'ala. Hukuman tersebut berupa hukuman
dera (seratus kali) bagi ghairu muhshan (laki-laki atau
wanita belum kawin) menurut nash Al-Qur'an, dan hukum rajam
bagi yang mahshan (laki-laki atau wanita yang sudah kawin)
sebagaimana disebutkan dalam As-Sunnah.

Jadi, bagaimana mungkin logika Al-Qur'an dan Islam akan
menganggap sebagai tindakan lurus dan tepat jika wanita
muslimah yang taat dan sopan itu harus dikurung dalam rumah
selamanya? Jika kita melakukan hal itu, kita seakan-akan
menjatuhkan hukuman kepadanya selama-lamanya, padahal dia
tidak berbuat dosa.

KESIMPULAN

Dari penjelasan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa
pertemuan antara laki-laki dengan perempuan tidak haram,
melainkan jaiz (boleh). Bahkan, hal itu kadang-kadang
dituntut apabila bertujuan untuk kebaikan, seperti dalam
urusan ilmu yang bermanfaat, amal saleh, kebajikan,
perjuangan, atau lain-lain yang memerlukan banyak tenaga,
baik dari laki-laki maupun perempuan.

Namun, kebolehan itu tidak berarti bahwa batas-batas
diantara keduanya menjadi lebur dan ikatan-ikatan syar'iyah
yang baku dilupakan. Kita tidak perlu menganggap diri kita
sebagai malaikat yang suci yang dikhawatirkan melakukan
pelanggaran, dan kita pun tidak perlu memindahkan budaya
Barat kepada kita. Yang harus kita lakukan ialah bekerja
sama dalam kebaikan serta tolong-menolong dalam kebajikan
dan takwa, dalam batas-batas hukum yang telah ditetapkan
oleh Islam. Batas-batas hukum tersebut antara lain:

1. Menahan pandangan dari kedua belah pihak. Artinya, tidak
boleh melihat aurat, tidak boleh memandang dengan syahwat,
tidak berlama-lama memandang tanpa ada keperluan. Allah
berfirman:

"Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman,
'Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara
kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi
mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang
mereka perbuat.' Katakanlah kepada wanita yang beriman,
'Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara
kemaluannya ..."(an-Nur: 30-31)

2. Pihak wanita harus mengenakan pakaian yang sopan yang
dituntunkan syara', yang menutup seluruh tubuh selain muka
dan telapak tangan. Jangan yang tipis dan jangan dengan
potongan yang menampakkan bentuk tubuh. Allah berfirman:

"... dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali
yang biasa tampak daripadanya. Dan hendaklah mereka
menutupkan kain kudung ke dadanya ..." (an-Nur: 31 )

Diriwayatkan dari beberapa sahabat bahwa perhiasan yang
biasa tampak ialah muka dan tangan.

Allah berfirman mengenai sebab diperintahkan-Nya berlaku
sopan:

"... Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk
dikenal, karena itu mereka tidak diganggu ..." (al-Ahzab:
59)

Dengan pakaian tersebut, dapat dibedakan antara wanita yang
baik-baik dengan wanita nakal. Terhadap wanita yang
baik-baik, tidak ada laki-laki yang suka mengganggunya,
sebab pakaian dan kesopanannya mengharuskan setiap orang
yang melihatnya untuk menghormatinya.

3. Mematuhi adab-adab wanita muslimah dalam segala hal,
terutama dalam pergaulannya dengan laki-laki:

a. Dalam perkataan, harus menghindari perkataan yang merayu
dan membangkitkan rangsangan. Allah berfirman:

"... Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga
berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan
ucapkanlah perkataan yang baik." (al-Ahzab: 32)

b. Dalam berjalan, jangan memancing pandangan orang. Firman
Allah:

"... Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui
perhiasan yang mereka sembunyikan..." (an-Nur: 31)

Hendaklah mencontoh wanita yang diidentifikasikan oleh Allah
dengan firman-Nya:

"Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua
wanita itu berjalan kemalu-maluan ..." (al-Qashash: 25)

c. Dalam gerak, jangan berjingkrak atau berlenggak-lenggok,
seperti yang disebut dalam hadits:

"(Yaitu) wanita-wanita yang menyimpang dari ketaatan dan
menjadikan hati laki-laki cenderung kepada kerusakan
(kemaksiatan).8 HR Ahmad dan Muslim)

Jangan sampai ber-tabarruj (menampakkan aurat) sebagaimana
yang dilakukan wanita-wanita jahiliah tempo dulu atau pun
jahiliah modern

4. Menjauhkan diri dari bau-bauan yang harum dan warna-warna
perhiasan yang seharusnya dipakai di rumah, bukan di jalan
dan di dalam pertemuan-pertemuan dengan kaum laki-laki.

5. Jangan berduaan (laki-laki dengan perempuan) tanpa
disertai mahram. Banyak hadits sahih yang melarang hal ini
seraya mengatakan, 'Karena yang ketiga adalah setan.'

Jangan berduaan sekalipun dengan kerabat suami atau istri.
Sehubungan dengan ini, terdapat hadits yang berbunyi:

"Jangan kamu masuk ke tempat wanita." Mereka (sahabat)
bertanya, "Bagaimana dengan ipar wanita." Beliau menjawab,
"Ipar wanita itu membahayakan." (HR Bukhari)

Maksudnya, berduaan dengan kerabat suami atau istri dapat
menyebabkan kebinasaan, karena bisa jadi mereka duduk
berlama-lama hingga menimbulkan fitnah.

6. Pertemuan itu sebatas keperluan yang dikehendaki untuk
bekerja sama, tidak berlebih-lebihan yang dapat mengeluarkan
wanita dari naluri kewanitaannya, menimbulkan fitnah, atau
melalaikannya dari kewajiban sucinya mengurus rumah tangga
dan mendidik anak-anak.

Catatan kaki:

1 Shahih Muslim, "Kitab Shalatul Idain," hadits nomor 823.
2 Hadits riwayat Bukhari dalam Shahih-nya, "Kitab al-Ilm."
3 Shahih Muslim, hadits nomor 1812.
4 Shahih Muslim, nomor 1811.
5 Shahih Muslim, nomor 1809.
6 Shahih Muslim, hadits nomor 1912.
7 Lihat Shahih Muslim pada nomor-nomor setelah hadits
di atas. (penj.).
8 Mumiilat dan Maailaat mengandung empat macam pengertian.
Pertama, menyimpang dari menaati Allah dan tidak mau
memenuhi kewajiban-kewajibannya seperti menjaga kehormatan
dan sebagainya, dan mengajari wanita lain supaya berbuat
seperti ite. Kedua, berjalan dengan sombong dan melenggak-
lenggokkan pundaknya (tubuhnya). Ketiga, maailaat, menyisir
rambutnya sedemikian rupa dengan gaya pelacur.
Mumiilaat: menyisir wanita lain seperti sisirannya.
Keempat, cenderung kepada laki-laki dan berusaha menariknya
dengan menampakkan perhiasannya dan sebagainya
(Syarah Muslim, 17: 191 penj.).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar