Senin, 25 Oktober 2010

HAK ASUH ANAK SETELAH PERCERAIAN

Perkawinan adalah upaya menyatukan dua pribadi yang berbeda satu sama lain. Dalam kenyataannya tidak semua perkawinan dapat berlangsung dengan langgeng dan tentunya tidak ada seorang pun yang ingin perkawinannya berakhir dengan jalan perceraian. Namun apa daya, saat semua upaya dikerahkan untuk menyelamatkan suatu perkawinan ternyata pada akhirnya diputus cerai oleh pengadilan. Dengan putusnya suatu perkawinan berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), maka akan ada akibat – akibat hukum yang mengikutinya, salah satunya adalah mengenai Hak Asuh atas anak – anak yang lahir dari perkawinan tersebut.

Dalam kesempatan kali ini, Koridor Hukum akan membahas topik mengenai Anak Setelah Perceraian terjadi sesuai dengan dasar hukum yang ada dan penerapannya dalam masyarakat.

Akibat Hukum Dari Putusnya Perkawinan Karena Perceraian.
Berdasarkan  ketentuan Pasal 41 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) disebutkan bahwa akibat dari putusnya suatu perkawinan karena perceraian adalah:
a.    Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya.
b.    Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataannya tidak dapat memberi kewajiban tersebut pengadilan dapat menentukan bahwa Ibu ikut memikul biaya tersebut.
c.    Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.

Berdasarkan Pasal 41 UU Perkawinan yang telah kami kutip di atas, maka jelas bahwa meskipun suatu perkawinan sudah putus karena perceraian, tidaklah mengakibatkan hubungan antara orang tua (suami dan isteri yang telah bercerai) dan anak – anak yang lahir dari perkawinan tersebut menjadi putus.

Sebab dengan tegas diatur bahwa suami dan istri yang telah bercerai tetap mempunyai kewajiban sebagai orang tua yaitu untuk memelihara dan mendidik anak – anaknya, termasuk dalam hal pembiayaan yang timbul dari  pemeliharaan dan pendidikan  dari anak tersebut.

Ketentuan di atas juga menegaskan bahwa Negara melalui UU Perkawinan tersebut telah memberikan perlindungan hukum bagi kepentingan anak – anak yang perkawinan orang tuanya putus karena perceraian.

Secara sosiologis dalam masyarakat seringkali dijumpai istilah “bekas suami” atau “bekas isteri”, namun tidak pernah sama sekali dijumpai adanya istilah “bekas bapak”, “bekas ibu” atau “bekas anak” karena hubungan darah dari orang tua dan anak tidak pernah dapat dipisahkan oleh apapun juga.

Meskipun demikian suatu perceraian selain mempunyai akibat secara hukum juga mempunyai akibat secara sosiologis dan psikologis bagi pribadi anak tersebut, untuk itu diperlukan pertimbangan yang matang dan bijaksana sebelum memutuskan untuk mengakhiri perkawinan.

Permohonan Untuk Mendapatkan Hak Asuh
Perlu dicermati bahwa ketentuan Pasal 41 huruf a, UU Perkawinan pada bagian terakhir menyatakan bahwa ”bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, pengadilan memberi keputusannya.”
Berangkat dari ketentuan tersebut maka dalam suatu gugatan perceraian, selain dapat memohonkan agar perkawinan itu putus karena perceraian, maka salah satu pihak juga dapat memohonkan agar diberikan Hak Asuh atas anak – anak (yang masih dibawah umur) yang lahir dari perkawinan tersebut.

Dalam UU Perkawinan sendiri memang tidak terdapat definisi mengenai Hak Asuh tersebut, namun jika kita melihat Pasal 1 angka 11, Undang Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU Perlindungan Anak),  terdapat istilah ”Kuasa Asuh”  yaitu ”kekuasaan orang tua untuk mengasuh, mendidik, memelihara, membina, melindungi, dan menumbuhkembangkan anak sesuai dengan agama yang dianutnya dan kemampuan, bakat, serta minatnya.”

Selain itu juga dalam Pasal 1 angka 10, UU Perlindungan Anak terdapat pula istilah ”Anak Asuh” yaitu : ”Anak yang diasuh oleh seseorang atau lembaga, untuk diberikan bimbingan, pemeliharaan, perawatan, pendidikan, dan kesehatan, karena orang tuanya atau salah satu orang tuanya tidak mampu menjamin tumbuh kembang anak secara wajar.”

Istilah Kuasa Asuh dan Anak Asuh ini menurut hemat kami setidak – tidaknya dapat memberikan gambaran mengenai pengertian dari Hak Asuh itu sendiri. Jadi dalam suatu perkara perceraian, selain dapat memohonkan agar perkawinannya dinyatakan putus karena perceraian, maka salah satu pihak dapat memohonkan agar Hak Asuh atas anak – anak yang lahir dari perkawinan tersebut diberikan kepadanya.

Seluk Beluk Pemberian Hak Asuh Anak
Sesuai dengan apa yang kami sampaikan di atas tentunya akan timbul suatu pertanyaan, siapakah diantara bapak atau ibu yang paling berhak untuk memperoleh Hak Asuh atas anak tersebut.
Satu-satunya aturan yang dengan jelas dan tegas memberikan pedoman bagi hakim dalam memutus pemberian hak asuh atas anak tersebut terdapat dalam Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menyatakan:

“Dalam hal terjadi perceraian :
a.     pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya.
b.    pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaan.
c.    biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.”

Ketentuan KHI diatas nampaknya tidak dapat berlaku secara universal, karena hanya akan mengikat bagi mereka yang memeluk agama Islam (yang perkaranya diperiksa dan diputus di Pengadilan Agama). 

Sedangkan untuk orang – orang yang bukan beragama Islam (yang perkaranya diperiksa dan diputus di Pengadilan Negeri), karena tidak ada pedoman yang secara tegas mengatur batasan pemberian hak asuh bagi pihak yang menginginkannya, maka hakim dalam menjatuhkan putusannya akan mempertimbangkan antara lain pertama, fakta-fakta yang terungkap dipersidangan; kedua, bukti – bukti yang diajukan oleh para pihak; serta argumentasi yang dapat meyakinkan hakim mengenai kesanggupan dari pihak yang memohonkan Hak Asuh Anak tersebut dalam mengurus dan melaksanakan kepentingan dan pemeliharaan atas anak tersebut baik secara materi, pendidikan, jasmani dan rohani dari anak tersebut.

Misalnya dalam persidangan tersebut terungkap bahwa suami/istri tersebut sering berbuat kasar dan memiliki perilaku yang buruk seperti mabuk, berjudi dan sebagainya. Selain itu akan diperhatikan juga dari segi finansial, apakah pihak yang memohonkan Hak Asuh Anak tersebut memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan baik sandang, pangan dan papan dari anak tersebut nantinya.

Semua ini dipertimbangkan oleh hakim semata-mata dilakukan demi kepentingan dan kemanfaatan dari si anak tersebut.  Tentunya mereka yang tidak dapat memberikan penghidupan yang layak bagi si anak, sangat sulit untuk diberikan Hak Asuh.
Permasalahan lain yang dapat timbul dari pemberian hak asuh tersebut antara lain, keinginan dari pihak Bapak/Ibu yang tidak mendapat Hak Asuh untuk tetap dapat bertemu dengan anak – anaknya yang berada dalam pengasuhan Bapak/Ibu yang mendapatkan Hak Asuh atas anak-anak tersebut.

Sehingga sekali lagi dapat dikatakan bahwa pemberian Hak Asuh kepada salah satu pihak, entah itu diberikan kepada pihak Bapak atau Ibu, sekali – kali tidak menghilangkan hubungan antara Bapak/Ibu yang tidak mempunyai Hak Asuh dengan anak tersebut. Hal tersebut dapat dimohonkan agar dituangkan dalam putusan atas perkara tersebut (sesuai dengan permohonan para pihak) agar pihak Bapak/Ibu sewaktu – waktu dapat bertemu dengan anak – anaknya dengan sepengetahuan dari Bapak/Ibu yang mempunyai Hak Asuh atas anak tersebut.

Anak, Bukan Objek Yang Dapat Dieksekusi
Selain itu dalam praktik juga terdapat permasalahan lain, apabila salah satu pihak sudah dinyatakan sebagai pemegang Hak Asuh, namun anak – anaknya berada dalam penguasaan pihak lain. Dengan mengantongi putusan tersebut, apakah untuk mendapatkan anak tersebut perlu ”dieksekusi” sebagaimana dalam perkara perdata lainnya? Sebaiknya tidak, karena anak bukanlah suatu barang melainkan pribadi yang mempunyai pikiran dan perasaan. Ada baiknya penyerahan atas anak tersebut dilakukan oleh suami dan isteri yang telah bercerai tersebut dengan cara mengkomunikasikannya terlebih dahulu secara baik – baik dan kekeluargaan, sehingga tidak menimbulkan permasalahan lain dikemudian hari, yang tentunya akan membawa efek negatif bagi perkembangan anak tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar