Marquee Player, Harga Mahal Sebuah Gengsi
SEJAK ada Liga Primer Indonesia (LPI), publik bola tak hanya disuguhi sebuah tontotan sepakbola ‘indie’ atau di luar main stream. Tapi juga ada sejumlah fenomena atau istilah baru yang mulai akrab, salah satunya istilah marquee player.
Secara harfiah, marquee player berarti pemain bintang atau kelas dunia yang didatangkan dengan gaji di atas rata-rata, biasanya dibiayai sponsor. Mungkin penikmat LPI sudah paham bagaimana Bandung FC sudah diwarnai mantan pemain Aston Villa, Lee Hendrie.
Sistem marquee player sudah akrab diterapkan di A League Australia dan MLS Amerika Serikat dan bertujuan untuk mengangkat value dari kompetisi maupun klub. Pertanyaannya, apakah ‘proyek’ marquee player benar-benar optimal di Indonesia?
Masih terlalu dini menjawabnya. Namun menurut saya, di iklim kompetisi seperti Indonesia, keberadaan marquee player tak lebih dari sebuah pelampiasan gengsi. Itu jika melihat status pemain bintang yang rata-rata sudah ‘karatan’ atau uzur.
Misalnya Lee Hendrie di Bandung FC. Saya melihat orientasi memiliki marquee player kemudian menyimpang hanya untuk pamer-pameran atau gagah-gagahan, bukan orientasi murni pada prestasi. Akhirnya keberadaan marquee player menjadi asing.
Lee Hendrie yang dicetak untuk sepakbola disiplin, cepat, dan tertata, kemudian secara instant harus bertanding di sepakbola indonesia yang lambat, disiplin rendah dan bahkan lapangan yang kurang rata. Sudah begitu, ia dituntut untuk menjadi tukang sulap yang bisa mengubah tim menjadi superior.
Tak heran jika keberadaan pemain kelahiran 1977 ini seperti kehilangan sentuhan kala ia bermain di negaranya. Yang tampak kemudian adalah tak ada bedanya Lee Hendrie dengan pemain asing lain yang bukan berstatus marquee player.
Saya lebih terpesona oleh penampilan kiper Cenderawasih Papua Dennis Romanovs. Kiper asal Papua ini tak banyak menyita publikasi, tapi kemampuannya masih luar biasa di usia 35. Siapa sangka ia pernah bermain Liga Champions Eropa bersama Slavia Praha.
Penampilan Romanovs kala berlaga di Gelora 10 November menunjukkan bahwa penampilan jauh lebih penting dibanding status. Ia sudah membuktikan keberadaannya sangat dibutuhkan Cenderawasih Papua, minimal untuk membuat frustrasi bomber-bomber Bajul Ijo.
Saya sepakat dengan Aji Santoso yang tak mau pusing dengan status pemain, apakah marquee player atau tidak. Aji lebih mengedepankan pemain yang sesuai kebutuhan timnya alias efektif, bukan pemain bintang yang nantinya tidak banyak mengangkat performa tim.
Perekrutan pemain macam Otaviano Dutra menurut saya sudah cukup bagus untuk kompetisi LPI, tanpa embel-embel marquee player. Persema Malang juga terbilang stabil di papan atas tanpa harus mengumbar libido mendatangkan pemain kelas dunia.
Dengan status old crack atau renta, pemain berkelas dunia pun sudah banyak berkurang kemampuannya. Paling menonjol adalah fisik. Tanpa kondisi fisik yang memadai, mustahil pemain bisa konsentrasi dan fokus pada skill-nya, terlebih ia dikelilingi pemain yang berlevel jauh di bawahnya.
Seorang marquee player seharusnya tak hanya bisa mengangkat pencapaian sebuah klub, tapi juga menjalankan fungsi tutorial terhadap pemain lokal. Apa jadinya jika pemain bintang penampilannya lebih parah atau hanya setara dengan pemain domestik karena ketidakcocokan iklim kompetisi sepakbola.
LPI memang membutuhkan sarana untuk promosi demi mengangkat nilai kompetisi itu sendiri. Namun mendatangkan marquee player bernilai milyaran yang tak sesuai dengan kebutuhan tim, pada akhirnya hanya akan menjadi aksi gagah-gagahan tanpa prospek yang jelas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar