Selasa, 07 September 2010

Mudik: Sebuah Ritual Budaya Masyarakat Kota

Mudik dan Hari Raya

            Sudar melangkah gontai di antara ratusan pemudik yang mengantri di loket. Dia kehilangan dompetnya. Dan baru disadarinya ketika akan membali karcis bus. Bayangan berlebaran di kampung pun pudar. Sementara dia masih harus mengganti uang pinjaman yang hilang tersebut.
Mentari kian terik, sedang waktu berbuka masih sekitar empat jam lagi. Haus dan lapar mungkin tak terasa pada diri Sudar, tetapi kekesalan dan kekecewaan tidak bias pulang kampung menemui calon istri dan orang tua menusuk hati Sudar. Di antara ratusan pemudik Sudar hanya terbengong bingung. Dia malu untuk kembali ke kosannya karena telah pamit pulang kampung pada kawan-kawannya dan warga sekitar. Namun untuk pulang kampung tak ada uang lagi karena baru saja kecopetan. Uang pinjaman pula.
            Kejadian seperti di atas sering terjadi dan selalu terulang pada setiap menjelang Idul Fitri.   Mudik, seakan telah menjadi ritus budaya, yang sedemikian mentradisi dalam masyarakat kita. Fenomena mudik berkait-kelindan dengan perayaan Idul Fitri, atau akrab disebut Lebaran. Dari segi ritus budaya, mudik biasanya ditandai dua hal. Pertama, mudik menjadi “kebutuhan primer” tahunan masyarakat urban.  Kedua, walaupun memiliki korelasi waktu dengan Idul Fitri yang nota bene ritual Islam, mudik juga melibatkan hampir seluruh lapisan masyarakat, termasuk non-Muslim.

Kampung nan Jauh Di Mata


            Kampung yang jauh di mata itu besar pesonanya. Ia memanggil-manggil kita pulang. Dan, panggilannya mungkin lebih sentimentil daripada rasionil. Dan, karena itu pula, perhitungan rasional kaum modern yang menimbang untung rugi dari segi ekonomis, tak berlaku lagi.
Orang pun bilang, mudik itu sentimen primordial. Kita dianggap belum menaruh sentimen kita kepada perkara-perkara lebih besar, lebih luas, lebih universal. Kita masih terpojok atau memojokkan diri di suatu gugusan budaya setempat, yang sempit dan khusus. Tapi, kita masih tak juga peduli. Apa pun kata orang tentang kita, ibaratnya anjing boleh menggonggong dan kafilah akan tetap lalu. Kafilah jalan terus. Bagi kita, mudik ya mudik. Dan, cuma itu. Artinya mudik tak ada hubungan dengan kalkukasi ekonomi. Hidup menggelinding begitu saja
Mitos mudik memang sangat kuat dalam masyarakat kita. Seribu cara mereka lakukan untuk bias pulang ke kampung ketika hari raya tiba. Dari yang menyicilnya dengan menabung hingga yang memaksakan diri dengan meminjam uang pada kenalan mereka hanya agar bisa pulang kampung dan bernostalgia dengan kenangan masa lalu.
Sehingga wajar banyak orang bilang jika mudik, yang merupakan pemborosan, tak pernah mereka lihat dari segi pemborosan. Mudik malah menjadi sejenis pembebasan. Mudik memberi merekakesempatan melupakan kerunyaman-kerunyaman ekonomis yang di kota, di tempat kerja yang rusuh, dan menekan menjadi tekanan utama. Maka, munculnya momentum budaya untuk melupakannya, sambil sekaligusdibumbui makna-makna sosio-religius yang begitu penting, jelas disambut dengan gegap gempita.
Begitu gegap gempita mereka menyambut momentum itu, hingga rela mereka menginap di stasiun, di terminal bus, atau berdesak-desakan di kereta api atau di dalam bus yang kelewat banyak takaran penumpangnya. Banyak hal tak rasionil di sana.
Bukan cuma tak rasionil dilihat dari perhitungan ekonomi kota yang maju, dan modern, tapi juga dari segi keamanan. Bus yang sarat penumpang digasak saja —oleh sopir yang ingin mengeduk untung berganda— maupun oleh para penumpang yang cuma melihat ke satu titik, mudik, mudik, dan cuma mudik. Perkara keamanan dihitung kelak, kalau itu sungguh sudah menjadi problem nyata.
Kali, sawah, bukit, gunung tegalan pohon mangga, pohon jeruk, pohon jambu, dan sekolah, masjid tua, surau kecil, balai desa, jalan baru, gardu baru, puskesmas atau .. atau teman lama, orang tua, nenek, kakek, paman, pak carik, pak lurah, semua menggumpal dalam ingatan dan daya tarik mereka —sekali lagi— kuat. Kepada mereka gairah tertuju. Dan bahwa demi mereka keselamatan di jalan lupa diperhitungkan.
           Tradisi mudik dijadikan sebagai wahana klangenan atau “jembatan  nostalgia” dengan masa lalu. Pemudik yang rata-rata berasal dari desa, diajak bercengkerama dengan romantisme alam pedesaan, yang di dalam konsep antropologi dikenal dengan sebutan close coorporate community. Pemudik merindukan nilai-nilai kebersamaan alamiah yang jarang lagi mereka temui di kota, karena ketatnya persaingan memburu “status”. Di sinilah ada benang merah yang dapat ditarik, mengapa keinginan pemudik untuk mengenang “sejarah” dirinya barang sejenak selalu dilakukan beriringan dengan perayaan Idul Fitri.
           Hal di atas bisa dimaklumi, karena selama masa perantauannya, masyarakat urban “dipaksakan” menerima dan menjalankan tatanan sosial yang sebenarnya bertentangan dengan “kodratnya.” Hubungan sosial di perkotaan (tempat mereka mengais rejeki), berbeda 180 derajat dengan solidaritas sosial yang dibangun di pedesaan, yang lebih menekankan ikatan emosional, moralitas dan kekerabatan. Solidaritas ala masyarakat perkotaan lebih didasarkan pada hubungan pekerjaan dan kepentingan (vested interest), terutama kepentingan ekonomi.
          Gagasan mengenai sentimen primordial dan ejekan lain pun lalu terasa tak relevan. Mudik, dengan begitu, tak ada hubungan dengan sentimen ini dan itu. Kita, sekali lagi, cuma mudik karena mudik menjadi sebuahkeharusan budaya. Mudik —tak usah dianalisis statusnya—sudah menjadi sebuah ritus penting: ritus kebudayaan bagi warga kota yang sumpek, yang longgar, yang susah, yang senang atau yang hidup antara longgar dan sumpek dan antara susah dan senang.Dan ritus, yang berarti memberi kesempatan menemukan kembali keutuhan diri, kelengkapan elemen hidup yang lama terlupakan, lalu sukar diabaikan. Biaya sosial ekonomisnya mungkin besar. Tapi manfaat sosialnya mungkin juga besar.Sebagai sebuah ritual budaya mudik telah menjadi sebuah mitos yang sangat dipercaya oleh masyarakat kita. Bahkan beberapa di antaranya mempercayai jika mereka tak pulang kampung , maka akan terjadi hal yang buruk pada mereka. Oleh karena itu, mudik pun bagi sebagian masyarakat kita jadi sebuah kewajiban ritual, selain kebutuhan rohani bagi mereka.
Mudik, Ramadhan, dan Idul Fitri
                Mungkin Sudar salah satu di antara banyak orang yang mempercayai mitos mudik tersebut. Atau hanya pemuda kampung yang jenuh dengan kesumpekkan kota Jakarta. Biarlah Sudar terbengong bingung di terminal Pulo Gadung karena hari penuh kemenangan dan suci itu akan segera tiba. Seakan-akan Mudik, Ramadhan, dan Idul Fitri itu seperti satu rangkaian dalam satu gerbong ritual-budaya.
Sebagaimana mudik, Idul Fitri dan Ramadhan seringkali hanya bermakna sebagai rutinitas ritual tanpa makna. Setelah Idul Fitri berlalu, festival kesalehan selama satu bulan penuh juga turut berlalu, dan masing-masing kembali pada ritme kehidupan biasanya, tanpa bekas. Kita sering memperlakukan Idul Fitri sebagai mudik: momentum nostalgia mengingat potensi keilahian dalam diri manusia untuk kemudian menanggalkannya setelah perayaan itu usai. Acapkali orang yang mudik sekadar meromantisasi masa lalunya untuk kemudian kembali pada hiruk-pikuk “dekadensi” kehidupan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar