Salah satu karakter orang yang bertaqwa (muttaqin) adalah memberi maaf. Karakter atau sifat ini secara tegas disebutkan sebagai salah satu ciri orang bertakwa, sebagaimana firman Allah di dalam Al-Quran;
وَسَارِعُوٓاْ إِلَىٰ مَغۡفِرَةٍ۬ مِّن رَّبِّڪُمۡ وَجَنَّةٍ عَرۡضُهَا ٱلسَّمَـٰوَٲتُ وَٱلۡأَرۡضُ أُعِدَّتۡ لِلۡمُتَّقِينَ .١٣٣. ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ فِى ٱلسَّرَّآءِ وَٱلضَّرَّآءِ وَٱلۡڪَـٰظِمِينَ ٱلۡغَيۡظَ وَٱلۡعَافِينَ عَنِ ٱلنَّاسِۗ وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلۡمُحۡسِنِينَ .١٣٤
“Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan.” (Ali ‘Imran : 133-134)
Ayat di atas menyatakan bahwa orang yang bertakwa adalah (1) orang yang senantiasa menafkahkan hartanya di jalan Allah baik dalam keadaan lapang maupun sempit, (2) orang yang menahan amarahnya, (3) orang yang memaafkan kesalahan orang lain. Pembahasan kali ini kita fokuskan pada ciri ketiga, yaitu memaafkan kesalah orang lain.
Ada kisah menarik yang terjadi pada seorang bernama Maimun bin Mahran. Ia mempunyai budak yang saleh. Saat budak tersebut menghidangkan makanan, tiba-tiba kakinya tergelincir dan kuah makanan yang ia hidangkan tertuang ke badan Maimun. Jelas saja Maimun langsung marah. Pada saat akan memukulnya, budak tersebut berkata, “Tuan, laksanakan ajaran Allah wal kaazhiminal ghaizha (Al-Qur’an surah Ali ‘Imran ayat 134), dan mereka yang menahan marahnya.” Maimun berkata, “Baiklah.” Maka budak itu berkata, “Dan kerjakan kelanjutannya wal-‘aafiina aninnaas, dan yang memaafkan orang.” Maimun berkata, “Engkau kumaafkan.” Budak itu berkata lagi, “Kerjakan kelanjutannya, wallaahu yuhibbul muhsiniin, dan Allah mengasihi orang yang berbuat baik.” Maka Maimun berkata, “Aku akan berbuat baik kepadamu. Engkau mulai saat ini merdeka, karena Allah.”
Kita bisa membayangkan, betapa indahnya akhlak Islam dalam hal maaf-memaafkan. Orang yang bersalah tidak saja dimaafkan, tapi juga diberikan hadiah kebebasan. Subhanallah, adakah orang seperti Maimun di zaman modern sekarang ini?
Bangsa Indonesia mempunyai budaya yang sangat baik dalam hal saling maaf-memaafkan, menjelang dan selama Lebaran Idul Fitri. Bahkan akhir-akhir ini membudaya permohonan maaf menjelang datangnya Ramadhan, agar ketika memasuki bulan suci tersebut hati sudah bersih. Ini merupakan tradisi cantik masyarakat kita, terutama kaum Muslimin. Tak sedikit pula di hari raya tersebut kaum non-Muslim juga mengirimkan ucapan permohonan maaf lahir dan batin baik langsung, melalui telpon, email, maupun SMS. Kebiasaan yang sudah membudaya pada masyarakat kita ini patut kita syukuri.
Kembali kepada karakter muttaqin. Seorang yang bertakwa sadar bahwa berinteraksi dengan sesama manusia memerlukan kesabaran dan kebesaran jiwa. Tidak semua orang sama sikap dan respon yang dilakukannya terhadap suatu peristiwa. Ia sangat mengerti bahwa tidak ada seorang pun manusia yang luput dari dosa dan kesalahan. Al-insaanu mahallul khata’ wan nisyaan. Manusia itu tempat salah dan lupa. Maka, orang yang bertakwa siap mengakui kesalahan dirinya, bahkan meminta maaf. Tetapi, ia lebih mengutamakan untuk memberi maaf kepada sesama, bahkan sebelum orang yang bersangkutan meminta maaf kepada dirinya.
Meminta maaf, pada hakikatnya sesuatu yang belum tentu pasti hasilnya. Dia amat bergantung pada yang dimintai maaf. Bisa diberi bisa tidak, hasilnya amat di luar kendali kita.
Namun sebaliknya, memberi maaf itu sepenuhnya dalam kendali kita. Ia merupakan niat dan amal perbuatan kita. Memberi maaf atau memaafkan adalah sikap batin dan amalan untuk melupakan kejadian buruk yang menimpa kita, karena perbuatan seseorang atau beberapa orang. Perwujudan sikap ini disertai niat untuk tidak membalas perbuatan buruk itu.
Karena itu, amat tidak tepat seseorang yang mengatakan, ”Saya bisa memaafkan tapi tidak bisa melupakan.” Ini sikap memaafkan yang tidak lengkap dan menjadi tidak bermakna. Ibaratnya, melepas kepala ular tapi memegangi ekornya. Ikhlas memaafkan terkandung di dalamnya perbuatan melupakan kejadian tersebut, dan mulai titik nol membangun hubungan yang lebih baik.
Memberi maaf atau memaafkan harus dilakukan dengan sungguh-sungguh, sepenuh hati, seutuhnya, tulus, dan ikhlas. Barulah pemberian maaf itu bermakna. Barulah perbuatan tersebut penuh berkah, anggun dan mulia, yang pada dasarnya keanggunan dan kemuliaan itu milik si pemberi maaf itu juga.
Jadi pada hakikatnya apabila kita memberi maaf, sebenarnya kita sedang membangun keanggunan dan kemuliaan kita sendiri yang esensinya membangun kebahagiaan kita.
Oleh karena itu, tidak ada salahnya membudayakan sifat memberi maaf. Tidak sekadar meminta maaf. Seorang ustadz muda menyarankan jamaahnya membudayakan perbuatan memberi maaf, dimulai lewat kartu ucapan lebaran yang dikirim kepada para kolega seperti di bawah ini.
“Saudaraku seiman, aku tahu mustahil bagiku memaksamu memaafkan kesalahan-kesalahanku yang begitu banyak padamu....
Tetapi ketahuilah saudaraku...tanpa diminta pun telah kumaafkan segenap kesalahan-kesalahanmu.”
Tentu indah, bukan?
Perbuatan memaafkan juga akan mendatangkan ketenangan dan kebahagiaan dalam diri. Apa sih kebahagiaan itu? Berbahagia itu ditandai oleh tiga hal. Pertama, bergembira waktu berbuat baik, berbuat baik apa saja. Kedua, damai di hati, tidak ada beban. Dan ketiga bersyukur, sehingga tercipta rasa nyaman lahir dan batin. Cukup sederhana, bukan?
Pada saat memaafkan, kita membuang dari diri dan batin kita seluruh beban yang diakibatkan kejadian buruk itu. Kita memerdekakan diri dari impitan perbuatan buruk itu, sehingga kita dapat meraih kembali kegembiraan, kedamaian hati, dan kesyukuran kita.
Lalu, bagaimana kalau perbuatan buruk itu sengaja atau tidak, kita yang melakukannya kepada orang lain? Hanya orang yang tidak wajar yang tidak menyesal apabila melakukan keburukan kepada orang lain. Oleh karena itu, segeralah minta maaf. Ungkapan yang sering diucapkan orang, “Lebih baik meminta maaf daripada meminta izin” tidak tepat dilakukan dalam hubungan kemasyarakatan. Ungkapan tersebut hanya lazim di dunia perkantoran yang mengalami kemandegan dan kejumudan, sehingga tidak ada perbaikan (improvement). Pada saat karyawan-karyawan muda yang enerjik, kreatif, dan inovatif ingin memecah kebuntuan tersebut terhadap pimpinan yang mempertahankan status quo, maka biasanya mereka langsung menjalankan ide-ide inovatif mereka tanpa meminta izin dahulu. Sebab jika meminta izin, biasanya tidak diizinkan atau malah kena marah. Maka muncullah ungkapan, “Lebih baik minta maaf” yaitu mengerjakan sesuatu tanpa izin, “Daripada minta izin,” karena jika minta izin tidak diizinkan. Sekali lagi, konteksnya berbeda dengan yang sedang kita bahas.
Sesal juga sesuatu beban. Oleh karena itu, kita yang berbuat buruk kepada orang lain, sengaja atau tidak, pasti punya dorongan untuk meminta maaf. Meminta maaf berarti membebaskan diri dari impitan penyesalan. Tidak perlu ragu, lakukanlah. Segerakanlah. Sehingga, kebahagian kita itu tidak akan tersandera oleh penyesalan perbuatan buruk kita sendiri.
Tentu kita harus bersabar untuk menerima apa pun hasil permintaan maaf kita itu. Bisa tidak segera diberikan, malah barangkali ditolak sama sekali. Itu konsekuensi perbuatan kita. Namun, hal itu tak usah jadi pikiran kita, karena hakikatnya memberi maaf atau tidak itu adalah amal dari mereka yang kita mintai maaf itu, bukan amal kita. Dia yang akan memikul atau mendapat berkah dari amal mereka itu. Oleh karena itu, hikmah memberi maaf dan memohon maaf adalah untuk membangun kebahagiaan kita sendiri. Lakukanlah dengan anggun. Keanggunan ‘grace’ adalah dia yang tidak wajib, memberi kepada dia yang tidak pantas untuk menerima pemberian itu.
Sang Khalik (Sang Pencipta) mengurus kita makhluk-Nya dengan sempurna. Banyak dari kita, yang karena kelakuan kita sendiri sebenarnya tidak pantas untuk menerima segala pemberian-Nya. Namun karena kasih sayang-Nya, diberi-Nya juga kita. Dari nama dan sifat Allah kita mengenal bahwa Ia adalah Dzat Yang Maha Pengampun, Dzat Yang Maha Pemberi Maaf. Di banyak ayat dalam Al-Qur’an dapat kita temui kalimat innahu ghafuururrahiim. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Kita sebagai makhluk-Nya diharuskan untuk dapat mengaplikasikan sifat-sifat Allah tersebut dalam kehidupan sehari-hari, di antaranya sifat pemaaf.
Memaafkan kesalahan orang lain akan dapat membebaskan belenggu dalam diri kita. Sebagaimana kita ketahui, kebencian, dendam, kekecewaan, amarah, sakit hati, dan sejenisnya hanya akan membelenggu diri dari datangnya kebahagiaan. Kebahagiaan yang dinanti-nanti dan menjadi harapan semua orang lewat begitu saja, karena kita membelenggu diri dengan sifat-sifat buruk di atas.
Marilah kita menengadahkan muka dan tangan kita, sebagai individu, anggota keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara serta umat seluruhnya, agar selalu diberi rahmat, ampunan, ridha, dan kasih sayang-Nya. Agar kita dapat hidup bersama dengan berbahagia.
Dikutip dari buku : Menapaki Jalan Mendaki Karya Palgunadi T. Setyawan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar