Rabu, 18 Agustus 2010

Apapun yg terjadi semua sudah kehendak-NYA

Kita mempercayai qadar baik dan buruk. Yang demikian adalah ketentuan Allah -Subhanahu wa ta'ala- bagi alam yang ada ini sesuai dengan pengetahuan dan ketentuan Allah -Subhanahu wa ta'ala- serta hikmah-hikmah yang ditetapkan-Nya.
Qadar itu ada empat peringkat:
1. Ilmu
            kita mempercayai, bahwa Allah -Subhanahu wa ta'ala- itu mengetahui segala sesuatu. Dia mengetahui apa yang telah terjadi, apa yang akan terjadi, dan bagaimana kejadiannya. Itu semua diketahui Allah dengan ilmu-Nya yang azali dan abadi. Pengetahuan Allah tentang segala sesuatu tidaklah baru dan tidak didahului oleh ketidaktahuan. Dia tidak pula bersifat lupa karena keabadian ilmu-Nya yang tidak berawal dan tidak berakhir.
2. Kitabah
            Kita mempercayai bahwa Allah -Subhanahu wa ta'ala- telah menulis segala sesuatu yang terjadi sampai hari kiamat di lauh mahfuzh, firman Allah dalam al-Qur'an:
أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللهَ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاءِ وَالأَّرْضِ إِنَّ ذَلِكَ فِي كِتَابِ إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللهِ يَسِيْرٌ[ الحج:70 ]
"Apakah kamu tidak mengetahui, bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan apa yang ada di bumi, bahwasannya yang demikian itu terdapat dalam bentuk kitab (lauh mahfuzh), sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah." (al-Hajj: 70)
3. Masyi'ah
            Kita mempercayai bahwa Allah -Subhanahu wa ta'ala- telah menentukan segala sesuatu baik di langit maupun di bumi sesuai dengan masyi'ah (kehendak) Nya. Segala sesuatu terjadi karena kehendak Allah. Jika Allah menghendaki, dia akan terjadi, kalau Allah tidak menghendaki, maka dia tidak akan terjadi.
4. Al-Khalq (penciptaan).
            Kita mempercayai bahwa Allah -Subhanahu wa ta'ala- adalah  pencipta segala sesuatu. Sebagaimana firman-Nya:
اللهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ وَكِيْلَ ! لَهُ مَقَالِيدُ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ[ الزمر: 62-63]
"Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu. Kepunyaan-Nya lah perbendaharaan langit dan bumi." (al-Zumar: 62-63)
         
  Keempat peringkat ini mencakup apa yang dari Allah dan apa yang dari hambanya. Maka segala sesuatu yang dilakukan hambanya, baik perkataan maupun perbuatan dan apa yang tidak dilakukan, semua itu diketahui oleh Allah -Subhanahu wa ta'ala- dan telah tertulis di sisi-Nya dan dikehendaki-Nya serta diciptakan-Nya.
            Firman Allah -Subhanahu wa ta'ala-
لِمَنْ شَاءَ مِنْكُمْ أَنْ يَسْتَقِيْمَ ! وَمَا تَشَاؤُوْنَ إِلاَّ أَنْ يَشَاءَ اللهُ رَبُّ الْعَالَمِيْنَ[ْ التكوير: 28-29]
"(Yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila kalau dikehendaki Allah Tuhan semesta alam." (at-Takwir: 28-29)
Dan firman Allah:
وَلَوْ شَاءَ اللهُ مَا اقْتَتَلُوْا وَلَكِنَّ اللهَ يَفْعَلُ مَا يُرِيدُ [ البقرة::253 ]
"Seandainya Allah menghendaki tidaklah mereka berbunuh-bunuhan, akan tetapi Allah berbuat apa yang dikehendaki-Nya." (al-Baqarah: 253)
Dan firman Allah:
وَلَوْ شَاءَ اللهُ مَا فَعَلُوْهُ فَذَرْهُمْ وَمَا يَفْتَرُوْنَ[ الأنعام:137 ]
"Dan jika Allah menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakan, dan tinggallah mereka dan apa-apa yang mereka ada-adakan." (al-An'am: 137)
Dan firman Allah:
وَاللهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُوْنَ[ الصافات:  96 ]
"Padahal Allah lah yang menciptakan kamu dan segala yang kamu kerjakan." (al-Shaffat: 96)
            Di samping kita meyakini, bahwa Allah -Subhanahu wa ta'ala- memberikan ikhtiar (kebebasan berbuat atau tidak berbuat) dan qudrah (kemampuan) bagi hamba-Nya untuk melakukan sesuatu perbuatan. Dalil bahwa perbuatan manusia adalah atas ikhtiar dan qudrahnya sendiri adalah firman Allah, antara lain:
Pertama:
فَأْتُوْا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ[ البقرة: 223 ]
"Maka datangilah ladang tempat engkau bercocok tanam itu sebagaimana kamu kehendaki." (al-Baqarah: 223)
وَلَوْ أَرَادُوا اْلُخُرُوْجَ َلأَعَدُّوا لَهُ عُدَّةً[ التوبة: 46 ]
"Dan jika mereka mau berangkat, tentulah mereka menyiapkan persiapan untuk keberangkatan itu." (al-Taubah: 46)
            Maka Allah -Subhanahu wa ta'ala-, dalam ayat di atas, menetapkan bahwa seorang hamba berhak mendatangi ladangnya (istrinya) sesuai kehendaknya dan boleh mengadakan persiapan sesuai kemauannya.
Kadua: Memberikan perintah atau larangan kepada hamba adalah berdasarkan pertimbangan adanya ikhtiar (kebebasan berbuat atau tidak berbuat) dan qudrah (kemampuan) hamba, berarti Allah memberikan perintah atau larangan kepada hamba untuk sesuatu yang tak mungkin dilaksanakan atau ditinggalkan (karena tak ada ikhtiar dan qudrah pada hamba tersebut), dan ini pasti mustahil bagi Allah swt, karena bertentangan dengan hikmah dan rahmah Allah.
            Allah berfirman:
وَلاَ يُكَلِّفُ اللهُ إِلاَّ وُسْعَهَا[ البقرة: 286 ]
"Dan Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya." (al-Baqarah: 286)
Ketiga: Pujian bagi yang berbuat baik dan celaan bagi yang berbuat jahat, serta memberikan balasan masing-masing sesuai dengan perbuatan mereka. Sekiranya suatu perbuatan terjadi bukan atas kehendak dan ikhtiar manusia, tidaklah ada artinya pujian dan celaan atau hukuman itu, pujian bagi orang yang berbuat baik akan berarti main-main (sia-sia) dan celaan serta hukuman bagi yang berbuat jahat akan berarti penganiayaan. Dan suatu yang tidak ada artinya (sia-sia) dan mengandung penganiayaan tentu mustahil bagi Allah -Subhanahu wa ta'ala-.
Keempat: Allah mengutus para Rasul-Nya untuk memberi kabar gembira dan peringatan.
Firman Allah:
رُسُلًا مُبَشِّرِيْنَ وَمُنْذِريْنَ لِئَلاَّ يَكُوْنَ لِلنَّاسِ عَلَى اللهِ حُجَّةً بَعْدَ الرَّسُلِ  [النساء:165 ]
"(Mereka kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, supaya tidak ada alasan bagi manusia untuk membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu." (al-Nisa: 165)
            Kalau perbuatan manusia terjadi tidak atas kehendak dan ikhtiarnya tentu kerasulan itu tidak dapat menjadi hujjah atas mereka.
Kelima: Setiap orang dalam berbuat sesuatu atau tidak melakukan sesuatu, merasa tidak ada yang memaksanya. Dia berdiri semaunya, dia duduk, masuk, dan keluar, dia berjalan atau tidak berjalan atas kemauannya sendiri, dan tidak merasakan ada seseorang yang memaksanya melakukan itu semua. Dia dapat membedakan antara perbuatan yang dilakukan karena dipaksa orang lain dan perbuatan atas kemauan sendiri. Begitu juga agama Islam, ia membedakan dengan penuh kebijaksanaan antara orang yang berbuat secara terpaksa dan yang berbuat dengan kehendaknya, yaitu dengan tidak menindak orang yang karena terpaksa ia melanggar hal-hal yang berkenaan dengan hak Allah.
            Dengan demikian, tidak benar alasan orang yang berbuat maksiat bahwa perbuatan itu sudah merupakan taqdir Allah atas dirinya, karena ia melakukan maksiat itu dengan kehendaknya  tanpa ia ketahui bagaimana qadar Allah atas dirinya dan tak seoranngpun tahu apa qadar Allah kecuali sesudah terjadi. Allah -Subhanahu wa ta'ala- berfirman:
وَمَا تَدْرِيْ نَفْسٌ مَا ذَا تَكْسِبُ غَدًا[ لقمان: 34 ]
"Dan tidak seorang pun mengetahui dengan pasti apa yang akan dikerjakannya esok." (Luqman: 34)
            Maka, tidaklah dibenarkan oleh akal sehat seseorang beralasan dengan qadar (taqdir) yang hal itu tidak diketahuinya saat berani melakukan suatu perbuatan. Allah membatalkan cara-cara beralasan yang demikian dalam firman-Nya:
سَيَقُوْلُ الَّذِيْنَ أَشْرَكُوْا لَوْ شَاَء اللهُ مَا َأشْرَكْنَا وَلاَ آَبَاؤُنَا وَلاَ حَرَّمْنَا مِنْ شَيْءٍ كَذَلِكَ كَذَّبَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِهِمْ حَتَّى ذَاقُوْا بَأْسَنَا قُلْ هَلْ عِنْدَكُمْ مِنْ ِعلْمٍ فَتَخْرُجُوْهُ لَنَا إِنْ تَتَّبِعُوْنَ إِلاَّ الَّظنَّ وَإِنْ أَنْتُمْ إِلاَّ تَخْرُصُوْنَ[ الأنعام: 148 ]
"Orang-orang yang mempersekutukan Tuhan akan berkata: "Jika Allah menghendaki, niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukannya dan tidak pula kami mengharamkan barang sesuatu apapun", Demikianlah orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan para rasul sampai mereka merasakan siksaan kami. Katakanlah: "Adakah kamu mempunyai sesuatu pengetahuan sehinggaa dapat kamu kemukakan kepada kami. Kamu tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka, dan kamu tiada lain hanyalah berdusta." (al-An'am: 148).
            Kita dapat mengatakan kepada orang-orang yang berbuat maksiat dengan alasan sudah taqdir Allah: "Mengapa kalian tidak melakukan perbuatan taat dengan alasan itu juga sudah taqdir Allah -Subhanahu wa ta'ala-? Sebab, tidak ada bedanya antara perbuatan taat dan maksiat yang belum jelas taqdirnya sebelum engkau lakukan. Untuk itulah tatkala Rasulullah -Shalallahu alaihi wa salam- bersabda kepada para sahabatnya bahwa setiap pribadi telah ditentukan tempatnya apakah di syurga atau di neraka, maka salah seorang sahabat bertanya: "Kalau begitu kita pasrah saja kepada qadar yang tertulis itu dan tidak usah berbuat?", Maka rasulullah menjawab: "Jangan, kamu harus berbuat. Dan masing-masing akan digiring menuju ketentuan yang telah digariskan oleh Allah."
            Demikian juga dapat kita katakana kepada orang yang berbuat maksiat dengan alasan sudah taqdir, bahwa anda bermaksud pergi ke Makkah, dan untuk ke Makkah itu ada dua jalan, anda diberitahu oleh orang yang jujur terpercaya, bahwa jalan yang satu sulit dan menghawatirkan, dan yang satu lagi jalan yang mudah dan aman, maka dalam hal itu pasti anda akan memilih jalan yang mudah dan aman.
            Dalam hal ini, jika anda sengaja pilih jalan yang sulit dan menghawatirkan lalu anda mengatakan bahwa jalan inilah yang ditaqdirkan buat anda, tentu anda akan di-cap sebagai orang yang gila.
            Sebagaiman jika kepada anda ditawarkan dua jabatan, yang satu kedudukan yang baik dan gaji besar, dan yang satu lagi jabatan yang rendah dan gaji kecil, maka pastilah anda akan memilih pekerjaan yang bergaji besar, dan anda tidak akan memilih pekerjaan yang bergaji kecil. Lalu, mengapa anda, untuk amal akhirat, memilih untuk anda sendiri hal yang rendah nilainya dan kemudian anda berkata, bahwa inilah taqdir (qadar) yang telah ditentukan.
            Demikian pula halnya dengan sakit jasmani yang anda derita. Pastilah anda akan mengetuk pintu setiap dokter untuk mengobati anda dan anda sabar atas pengobatannya itu, dan, jika perlu dilakukan operasi sekalipun, anda juga sabar. Dan betapapun pahitnya obat yang harus anda telan, andapun sanggup menelannya. Maka, mengapa hal itu tidak anda lakukan dalam mengobati penyakit hati anda oleh sebab maksiat?!
            Sebab itu kita mempercayai, bahwa segala kejahatan dan hal-hal yang tidak baik itu tidak dapat dinisbatkan kepada Allah -Subhanahu wa ta'ala-. Karena Allah penuh rahmad dan kasih saying serta sempurna hikmah kebijaksanaan-Nya. Sebagaiman dikatakan oleh Nabi kita Muhammad -Shalallahu alaihi wa salam- dalam sebuah do'a istiftah beliau:
( وَالشَّرُّ لَيْسَ إِلَيْكَ) رواه مسلم
"Kejahtan dan keburukan tidaklah dinisbatkan kepada Engkau." (HR. Muslim)
            Qadha (ketentan) Allah itu sendiri tidaklah buruk, karena, qadha Allah itu datang dari rahmat dan hikmah dari Allah. (kita tidak mengetahui apa hikmah yang sebenarnya dari qadha Allah yang ditetapkan bagi kita).
            Hal yang buruk itu adanya pada ketentuan  yang terjadi. Sebagaimana disebutkan dalam do'a yang diucapkan Rasulullah -Shalallahu alaihi wa salam- di waktu membaca do'a qunut:
( وَقِنِيْ شَرَّ مَا قَضَيْتَ)
"Dan jauhkanlah aku dari keburukan apa yang telah Engkau tentukan."
            Hal yang tidak baik itu bukanlah semata-mata tidak baik secara keseluruhan, tetapi dari sisi lain, mungkin ada baiknya. Keruskan di atas permukaan bu,mi yang berbentuk ketandusan, kelaparan dan rasa takut adalah hal yang tidak baik, tetapi dari segi lain ada kebaikan. Sebagaiman firman Allah:
ظَهَرَ الْفَسَادَ فِي اْلَبِّر وَاْلبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاِس لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ[ الروم: 41 ]
"Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar." (ar-Rum: 41)
            Pemberian hukuman potong tangan kepada pencuri dan hukuman rajam bagi pezina adalah sesuatu yang buruk bagi mereka, karena mereka kehilangan tangan dan nyawa. Tetapi, dari segi lain adalah baik baginya karena hukuman itu menjadi kafarat (penghapus dosanya). Dengan demikian, mereka tidak diadzab lagi di hari kemudian, karena mereka tidak akan menerima dua adzab dalam satu perbuatan (hukuman dunia dan hukuman akhirat). Di samping itu, dari sisi lain juga merupakan kebaikan, karena di dalamnya terdapat upaya untuk menjaga harta dan memelihara kehormatan dan keturunan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar