Mencermati perkembangan PSSI selama tujuh tahun terakhir dipimpin Nurdin Halid, maka nasib PSSI masih lebih baik dibandingkan ketika masih dibawah pimpinan para pendahulunya. Kepemimpinan pendahulu Nurdin Halid memang tidak lepas dari pola dan konstelasi kepemimpinan di era Orde Baru.
Sebagaimana telah menjadi rahasia umum, ketika pada masa Orde Baru, terdapat aturan tidak tertulis yang selalu terjadi. Aturan tidak tertulis itu ialah pos-pos pimpinan organisasi olahraga, ketua organisasi kemasyarakatan strategis, dan bahkan direksi/komisaris BUMN diperuntukkan bagi para pejabat negara atau petinggi militer yang masih aktif maupun purnawirawan.
Tetapi sebagian aturan tidak tertulis itu berakhir dengan sendirinya seiring dengan bergulirnya reformasi politik pada 1998. Runtuhnya rezim Orde Baru disusul dengan demokratisasi telah membuka lebar jalan bagi masyarakat sipil non-birokrat untuk menduduki pos-pos olahraga yang dulunya dipegang oleh kalangan pejabat negara, terutama dari kalangan militer.
Masyarakat sipil itu antara lain Chairul Tandjung pemilik Grup Para yang memimpin PBSI, Rita Soebowo yang memimpin KONI, dan Nurdin Halid yang memimpin PSSI.
Terbukanya kesempatan bagi masyarakat sipil menduduki pos-pos penting di organisasi keolahragaan merupakan bagian tak terpisahkan dari nilai-nilai demokrasi yang diperjuangkan oleh para kelompok reformis ketika itu. Naiknya Nurdin Halid pada tampuk kepemimpinan PSSI itu sendiri juga tidak melalui proses yang mudah dan mulus.
Saat itu, Nurdin Halid menghadapi masalah hukum berkaitan dengan kasus dana Inkud. Sebab pada saat yang sama, ketika itu juga banyak kasus-kasus hukum yang jauh lebih besar. Tetapi toh, kasus dana Inkud tersebut tetap menjadi agenda yang memojokkan posisi Nurdin Halid.
Kuatnya nuansa politis dan unsur kepentingan kelompok tertentu ketika itu, memaksa Nurdin Halid terseret kasus hukum hingga diproses di muka pengadilan. Toh pada akhirnya, putusan hukum tertinggi yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung membebaskan pria asal Watampone, Sulawesi Selatan, itu dari jeratan pidana.
Masalah tersebut tentu tidak mungkin berdiri sendiri dan terjadi begitu saja. Sangat kentara adanya semacam operasi intelijen untuk menjatuhkan Nurdin Halid dari posisinya sebagai Ketua Umum PSSI saat itu. Jadi, upaya mendongkel Nurdin bukan murni terkait persoalan hukum yang membelitnya. Persoalan itu hanya dijadikan batu loncatan atau pintu masuk.
Karena pada saat itu, Nurdin Halid sempat diminta mundur oleh suatu kelompok kekuatan politik, dengan alasan posisi yang tengah didudukinya adalah jatah untuk pejabat negara. Namun tentu saja Nurdin Halid menolaknya dengan tegas.
Terlepas dari kasus hukum yang telah berlalu itu, maka pada dasarnya suka atau tidak suka, semua pihak harus mendudukkan persoalan sesuai dengan aturan yang berlaku. Terlebih pada dunia sepakbola terdapat sedemikian rupa aturan-aturan baku. Dan, aturan baku yang tertinggi pada dunia sepakbola adalah statuta yang ditetapkan oleh Federation Internationale Football Association (FIFA).
Dalam kaitan dengan Statuta FIFA itulah, kondisi pro-kontra menjelang pemilihan Ketua Umum PSSI yang tengah terjadi saat ini harus didudukkan dengan benar dan proporsional. Sebab pada dasarnya FIFA tidak pernah menghendaki, dan karenanya tidak akan membiarkan PSSI mati begitu saja di bawah kepemimpinan Nurdin Halid.
Dan, memang telah terbukti, selama tujuh tahun PSSI dipimpin oleh Nurdin Halid, Indonesia telah dua kali menjadi runner up piala AFF yaitu pada 2006 dan 2010. Indonesia juga menjadi kekuatan sepakbola nomor dua terkuat di kawasan ASEAN. Selain itu, tim PSSI juga mampu berada di posisi peringkat 129 pada ranking dunia.
Bahkan di bawah Nurdin Halid, PSSI telah mampu melakukan terobosan baru dengan menaturalisasi pemain-pemain asing keturunan Indonesia. Kepengurusan PSSI saat ini juga telah berhasil mengikuti dan menjalankan semua agenda atau kalender kegiatan FIFA.
Karena itu, bila saat ini banyak pihak menilai secara negatif terhadap sosok Nurdin Halid dalam memimpin PSSI, maka penilaian tersebut haruslah membandingkan pula dengan penilaian terhadap para ketua umum PSSI pada periode-periode sebelumnya yang notabene mereka adalah pejabat negara dan purnawiran TNI.
Maka dengan demikian, mau tidak mau, harus diakui bahwa kepengurusan PSSI saat ini telah cukup berprestasi. Pengurus PSSI sebelumnya mana ada yang bisa lebih baik prestasinya dari pada pengurus PSSI saat ini?
Sederet prestasi yang telah diraih pengurus PSSI selama tujuh tahun terakhir itu telah mendapatkan pengakuan dari FIFA. Karena itu, sungguh ironis bila sederet prestasi yang telah dicapai oleh kepemimpinan PSSI di bawah Nurdin Halid itu tidak diakui oleh berbagai pihak tertentu. Malahan Nurdin Halid tidak diperbolehkan memimpin kembali PSSI dengan berbagai alasan yang dicari-cari.
Dan celakanya, kondisi pro-kontra saat ini justru diintervensi oleh pemerintah yang berpotensi mengoyak indenpendensi PSSI itu sendiri. Pemerintah, dalam hal ini Menpora Andi Mallarangeng, justru mendorong figur dari TNI AD untuk maju mengambil alih kepemimpinan PSSI dengan cara-cara yang tidak patut.
Calon dari TNI AD, yaitu KSAD Jenderal George Toisutta, karena merasa mendapatkan dukungan penuh dari Andi Mallarangeng, tampil dengan penuh percaya diri, kendati rekam jejaknya di jagat persepakbolaan nasional masih terbilang dangkal. Begitu percaya dirinya, sampai-sampai Goerge Toisutta memberanikan diri mendeklarasikan pencalonannya sebagai kandidat ketua umum PSSI di Mabes TNI AD dengan mengenakan seragam militer.
George Toisutta lupa bahwa pendeklarasian dirinya itu adalah atas nama pribadi. Jadi sifatnya adalah personal, bukan atas nama institusi negara, apalagi lembaga militer. Hal ini tentu akan menimbulkan kerancuan dan membahayakan independensi PSSI kelak. Seolah-olah untuk urusan sepak bola saja, tentara sampai harus turun tangan. Atau lebih celaka lagi, PSSI telah dikooptasi oleh TNI AD.
Langkah intervensi pemerintah itu, dalam hal ini Menpora Andi Mallarangeng, adalah suatu bentuk arogansi kekuasaan terhadap PSSI. Hal itu pada akhirnya akan mengkudeta independensi PSSI tanpa mau mengakui sederet prestasi yang telah diukir selama ini.
Celakanya, gejala kearah tirani itu telah mulai berkembang di daerah. Penggunaan cara-cara kekuasaan untuk menekan aspirasi masyarakat sepakbola diduga mulai terjadi di daerah. Hal semacam itu akan memancing reaksi ketidakpercayaan masyarakat terhadap PSSI dan terhadap pemerintah sendiri.
Saya mendapat informasi, seorang pengurus PSGL Aceh, sempat mengeluh bahwa dirinya tidak kuat mendapatkan tekanan-tekanan dari oknum aparat untuk memilih salah satu calon ketua umum yang tidak pernah berkontribusi terhadap PSGL.
Tentu sangat miris mendengar kekecewaan seorang pengurus klub sepakbola dari daerah kecil yang jauh dari ingar bingar politik dengan segala kepentingan.
Sebagaimana telah menjadi rahasia umum, ketika pada masa Orde Baru, terdapat aturan tidak tertulis yang selalu terjadi. Aturan tidak tertulis itu ialah pos-pos pimpinan organisasi olahraga, ketua organisasi kemasyarakatan strategis, dan bahkan direksi/komisaris BUMN diperuntukkan bagi para pejabat negara atau petinggi militer yang masih aktif maupun purnawirawan.
Tetapi sebagian aturan tidak tertulis itu berakhir dengan sendirinya seiring dengan bergulirnya reformasi politik pada 1998. Runtuhnya rezim Orde Baru disusul dengan demokratisasi telah membuka lebar jalan bagi masyarakat sipil non-birokrat untuk menduduki pos-pos olahraga yang dulunya dipegang oleh kalangan pejabat negara, terutama dari kalangan militer.
Masyarakat sipil itu antara lain Chairul Tandjung pemilik Grup Para yang memimpin PBSI, Rita Soebowo yang memimpin KONI, dan Nurdin Halid yang memimpin PSSI.
Terbukanya kesempatan bagi masyarakat sipil menduduki pos-pos penting di organisasi keolahragaan merupakan bagian tak terpisahkan dari nilai-nilai demokrasi yang diperjuangkan oleh para kelompok reformis ketika itu. Naiknya Nurdin Halid pada tampuk kepemimpinan PSSI itu sendiri juga tidak melalui proses yang mudah dan mulus.
Saat itu, Nurdin Halid menghadapi masalah hukum berkaitan dengan kasus dana Inkud. Sebab pada saat yang sama, ketika itu juga banyak kasus-kasus hukum yang jauh lebih besar. Tetapi toh, kasus dana Inkud tersebut tetap menjadi agenda yang memojokkan posisi Nurdin Halid.
Kuatnya nuansa politis dan unsur kepentingan kelompok tertentu ketika itu, memaksa Nurdin Halid terseret kasus hukum hingga diproses di muka pengadilan. Toh pada akhirnya, putusan hukum tertinggi yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung membebaskan pria asal Watampone, Sulawesi Selatan, itu dari jeratan pidana.
Masalah tersebut tentu tidak mungkin berdiri sendiri dan terjadi begitu saja. Sangat kentara adanya semacam operasi intelijen untuk menjatuhkan Nurdin Halid dari posisinya sebagai Ketua Umum PSSI saat itu. Jadi, upaya mendongkel Nurdin bukan murni terkait persoalan hukum yang membelitnya. Persoalan itu hanya dijadikan batu loncatan atau pintu masuk.
Karena pada saat itu, Nurdin Halid sempat diminta mundur oleh suatu kelompok kekuatan politik, dengan alasan posisi yang tengah didudukinya adalah jatah untuk pejabat negara. Namun tentu saja Nurdin Halid menolaknya dengan tegas.
Terlepas dari kasus hukum yang telah berlalu itu, maka pada dasarnya suka atau tidak suka, semua pihak harus mendudukkan persoalan sesuai dengan aturan yang berlaku. Terlebih pada dunia sepakbola terdapat sedemikian rupa aturan-aturan baku. Dan, aturan baku yang tertinggi pada dunia sepakbola adalah statuta yang ditetapkan oleh Federation Internationale Football Association (FIFA).
Dalam kaitan dengan Statuta FIFA itulah, kondisi pro-kontra menjelang pemilihan Ketua Umum PSSI yang tengah terjadi saat ini harus didudukkan dengan benar dan proporsional. Sebab pada dasarnya FIFA tidak pernah menghendaki, dan karenanya tidak akan membiarkan PSSI mati begitu saja di bawah kepemimpinan Nurdin Halid.
Dan, memang telah terbukti, selama tujuh tahun PSSI dipimpin oleh Nurdin Halid, Indonesia telah dua kali menjadi runner up piala AFF yaitu pada 2006 dan 2010. Indonesia juga menjadi kekuatan sepakbola nomor dua terkuat di kawasan ASEAN. Selain itu, tim PSSI juga mampu berada di posisi peringkat 129 pada ranking dunia.
Bahkan di bawah Nurdin Halid, PSSI telah mampu melakukan terobosan baru dengan menaturalisasi pemain-pemain asing keturunan Indonesia. Kepengurusan PSSI saat ini juga telah berhasil mengikuti dan menjalankan semua agenda atau kalender kegiatan FIFA.
Karena itu, bila saat ini banyak pihak menilai secara negatif terhadap sosok Nurdin Halid dalam memimpin PSSI, maka penilaian tersebut haruslah membandingkan pula dengan penilaian terhadap para ketua umum PSSI pada periode-periode sebelumnya yang notabene mereka adalah pejabat negara dan purnawiran TNI.
Maka dengan demikian, mau tidak mau, harus diakui bahwa kepengurusan PSSI saat ini telah cukup berprestasi. Pengurus PSSI sebelumnya mana ada yang bisa lebih baik prestasinya dari pada pengurus PSSI saat ini?
Sederet prestasi yang telah diraih pengurus PSSI selama tujuh tahun terakhir itu telah mendapatkan pengakuan dari FIFA. Karena itu, sungguh ironis bila sederet prestasi yang telah dicapai oleh kepemimpinan PSSI di bawah Nurdin Halid itu tidak diakui oleh berbagai pihak tertentu. Malahan Nurdin Halid tidak diperbolehkan memimpin kembali PSSI dengan berbagai alasan yang dicari-cari.
Dan celakanya, kondisi pro-kontra saat ini justru diintervensi oleh pemerintah yang berpotensi mengoyak indenpendensi PSSI itu sendiri. Pemerintah, dalam hal ini Menpora Andi Mallarangeng, justru mendorong figur dari TNI AD untuk maju mengambil alih kepemimpinan PSSI dengan cara-cara yang tidak patut.
Calon dari TNI AD, yaitu KSAD Jenderal George Toisutta, karena merasa mendapatkan dukungan penuh dari Andi Mallarangeng, tampil dengan penuh percaya diri, kendati rekam jejaknya di jagat persepakbolaan nasional masih terbilang dangkal. Begitu percaya dirinya, sampai-sampai Goerge Toisutta memberanikan diri mendeklarasikan pencalonannya sebagai kandidat ketua umum PSSI di Mabes TNI AD dengan mengenakan seragam militer.
George Toisutta lupa bahwa pendeklarasian dirinya itu adalah atas nama pribadi. Jadi sifatnya adalah personal, bukan atas nama institusi negara, apalagi lembaga militer. Hal ini tentu akan menimbulkan kerancuan dan membahayakan independensi PSSI kelak. Seolah-olah untuk urusan sepak bola saja, tentara sampai harus turun tangan. Atau lebih celaka lagi, PSSI telah dikooptasi oleh TNI AD.
Langkah intervensi pemerintah itu, dalam hal ini Menpora Andi Mallarangeng, adalah suatu bentuk arogansi kekuasaan terhadap PSSI. Hal itu pada akhirnya akan mengkudeta independensi PSSI tanpa mau mengakui sederet prestasi yang telah diukir selama ini.
Celakanya, gejala kearah tirani itu telah mulai berkembang di daerah. Penggunaan cara-cara kekuasaan untuk menekan aspirasi masyarakat sepakbola diduga mulai terjadi di daerah. Hal semacam itu akan memancing reaksi ketidakpercayaan masyarakat terhadap PSSI dan terhadap pemerintah sendiri.
Saya mendapat informasi, seorang pengurus PSGL Aceh, sempat mengeluh bahwa dirinya tidak kuat mendapatkan tekanan-tekanan dari oknum aparat untuk memilih salah satu calon ketua umum yang tidak pernah berkontribusi terhadap PSGL.
Tentu sangat miris mendengar kekecewaan seorang pengurus klub sepakbola dari daerah kecil yang jauh dari ingar bingar politik dengan segala kepentingan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar