Dalam hidup kita akan dihadapkan pada pilihan-pilihan yang akan mengantarkan kita pada suatu kondisi tertentu, sehingga tak heran bila kita sering mendengar istilah “hidup adalah pilihan”. Setiap pilihan yang telah kita buat akan berdampak pada kehidupan kita dengan segala konsekuensinya. Begitu juga dengan menjadi seorang aktivis ada banyak konsekuensi-konsekuensi yang harus kita jalani, terlebih lagi menjadi aktivis dakwah Islam, maka kita harus menyiapkan diri atas konsekuensi-konsekuensi yang akan kita jalani atas pilihan kita menjadi seorang pengemban dakwah. Allah SWT melalui Rasul-Nya yang mulia menegaskan bahwa “ketika Allah mencintai hamba-Nya, maka Allah akan memberinya Ujian dan cobaan..”
Kenapa ketika Allah mencintai hambanya Allah malah memberinya cobaan atau ujian? Mestinya diberi nikmat dan kesenangan-kesenangan yang bertambah?.. Mungkin ini yang terlintas dalam benak kita. Sejenak kita renungi dan kita pelajari perjalanan hidup kita mulai dari lahir sampai sekarang dan hingga detik ini. Banyak sekali yang membuktikan bahwa kita itu hidup memang dengan masalah, ujian dan cobaan. Ibarat anak Sekolah, untuk naik ke kelas 2 atau kelas 3 dan seterusnya kita harus dapat melewati ujian yang diselenggarakan sekolah, kalau kita tidak mampu melewati ujian tersebut tentu kita tidak akan naik kelas.
Begitu juga dengan hidup dan cobaan-cobaan yang kita hadapi, semuanya adalah “alat” yang dipakai oleh Allah untuk meninggikan derajat kita, meninggikan kualitas keimanan kita, meninggikan pengetahuan kita, meningkatkan tingkat kesabaran kita, keistiqamahan kita, keikhlasan kita, dan seterusnya hingga Allah semakin dekat dengan kita. Jika dalam ujian tersebut kita gagal, dan mengalihkan perhatian utama kita dengan mengganti poros hidup selain dakwah maka kita gagal. Ini memang tidak semudah yang kita bayangkan, ujian dari Allah tidak bisa kita prediksikan, tetapi dengan keimanan kita dan keyakinan kita bahwa Allah tidak akan menguji kita dengan ujian dan cobaan yang melampaui batas kemampuan kita, kita akan sanggup melewati berbagai ujian dan cobaan yang datang dalam kehidupan kita. Malah kita akan semakin bersemangat dalam berdakwah karena kita paham dan yakin se-yakin-yakinnya bahwa Allah akan memberikan kemudahan, memberikan petunjuk kepada kita untuk menyelesaikan semua masalah yang kita hadapi. Pertanyaannya kembali kepada kita, seberapa yakin kita bahwa Allah yang akan membantu setiap kesulitan dan ujian yang sedang kita hadapi? Seberapa yakin kita atas janji Allah yang termaktub dalam surat Muhammad ayat 7, yang artinya “…barang siapa yang menolong agama Allah, maka Allah menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu”.
Saat ini kita sedang sedang memperjuangkan akan tegaknya Khilafah, sesuatu yang didasarkan akan kewajiban untuk menegakkan hukum Allah dan hal itu tidak akan bisa diterapkan secara kaffah selama tidak ada institusi yang besar yang menaunginya yaitu Daulah. Terlepas dari kewajiban, hal yang harus membuat kita terus bersemangat dalam berdakwah ialah yakin akan janji Allah. Perjuangan penegakan khilafah adalah sesuatu yang telah dijanjikan oleh Allah dan itu pasti akan terwujud. Keyakinan ini didasarkan 3 perkara yaitu:
Pertama, jaminan dari Allah kepada orang-orang yang beriman dan beramal salih untuk memberikan kekuasaan di muka bumi, sebagaimana yang pernah diberikan kepada para pendahulu mereka.
Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal salih di antara kalian, bahwa Dia sesungguhnya akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa; akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah Dia ridhai untuk mereka; dan akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan, menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembahku-Ku tanpa mempersekutukan Aku dengan sesuatu. Siapa saja yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, mereka itulah orang-orang yang fasik. (QS an-Nur [24]: 55).
Kedua, kabar gembira dari Rasulullah saw. berupa akan kembalinya Khilafah Rasyidah ala Minhaji Nubuwwah (berdasarkan metode kenabian), setelah fase penguasa diktator pada zaman kita ini., Nabi saw. Bersabda, sebagaimana dituturkan Hudzaifah al-Yaman:
“Akan ada fase kenabian di tengah-tengah kalian. Dengan kehendak Allah, ia akan tetap ada, kemudian Dia mengakhirinya, jika Dia berkehendak untuk mengakhirinya. Kemudian akan ada fase khilafah berdasarkan metode kenabian. Dengan kehendak Allah, ia akan tetap ada, kemudian Dia akan mengakhirinya, jika Dia berkehendak untuk mengakhirinya. Kemudian akan ada fase penguasa yang zalim, ia akan tetap ada, kemudian Dia akan mengakhirinya, jika Dia berkehendak untuk mengakhirinya. Lalu akan ada fase penguasa diktator, ia akan tetap ada, kemudian Dia akan mengakhirinya, jika Dia berkehendak untuk mengakhirinya. Setelah itu, akan datang kembali khilafah ala Minhajin Nubuwah (berdasarkan metode kenabian).” Kemudian Baginda saw. diam. (HR Ahmad).
Ketiga, umat Islam yang hidup dan dinamis tentu akan menyambut perjuangan bagi tegaknya Khilafah dan siap mendukung perjuangan ini hingga Allah mewujudkan janji-Nya. Setelah itu, mereka akan bahu-membahu merapatkan barisan untuk menjaga Khilafah. Sesungguhnya umat ini diturunkan sebagai umat terbaik (khayra ummah), yang akan selalu bergerak untuk mewujudkan predikat itu. Allah SWT berfirman:
Kalian adalah umat terbaik, yang dihadirkan untuk seluruh umat manusia. Kalian harus menyerukan kemakrufan dan mencegah kemungkaran serta tetap mengimani Allah. (QS Ali ‘Imran [3]: 110).
Khilafah merupakan nasrul-Lâh (pertolongan Allah) kepada kaum Muslim. Sedangkan al-nashr (pertolongan) itu mutlak milik Allah SWT. Karena itu, tidak ada seorang pun yang mampu mendatangkan atau menolaknya; memajukan atau menundanya. Bahkan Rasul sekalipun, tidak bisa menentukan sendiri kapan dan di mana pertolongan itu akan datang. Di antara buktinya adalah ketika kaum Muslim ditimpa cobaan amat dahsyat, lalu mereka bertanya kepada Rasulullah SAW kapankah pertolongan akan datang, beliau hanya menjawab:
Ingatlah, sesungguhnya pertolongan itu amat dekat (QS al-Baqarah [2]: 214).
Allah SWT Yang Maha Adil telah menetapkan syarat bagi hamba-Nya yang ingin mendapat pertolongan-Nya. Syaratnya, hamba itu harus bersedia menolong agama-Nya. Allah SWT berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu (QS Muhammad [47]: 7).
Ungkapan ‘menolong Allah’ ini bukanlah bermakna hakiki. Sebab, Allah Swt tidak membutuhkan pertolongan hamba-Nya. Sebaliknya, Dialah yang berkuasa memberikan pertolongan. Bahkan tidak ada pertolongan kecuali berasal dari-Nya sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya:
Dan kemenanganmu itu hanyalah dari Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (QS Ali ‘Imran [3]: 126).
Karena itu, pengertian ‘menolong Allah’, bukanlah bermakna hakiki. Sebagaimana dijelaskan Abu Hayyan al-Andalusi dalam Tafsîr al-Bahr al-Muhîth, bahwa ungkapan tersebut bermakna menolong agama-Nya. Menurut mufassir lainnya, seperti Ibnu al-Jauzi, al-Zamakhsyari, al-Baidhawi, dan Syihabuddin al-Alusi rahimahumul-Lâh selain menolong agama-Nya, juga menolong rasul-Nya.
Secara lebih gamblang, Abdurrahman al-Sa’di menjelaskan bahwa amaliyyah praktis ‘menolong Allah’ adalah dengan melaksanakan agama-Nya, berdakwah kepada-Nya, dan berjihad melawan musuh-musuh-Nya, yang dilakukan dengan niat ikhlas karena-Nya. Ustadz Abdul Lathif ‘Uwaidhah dalam Haml al-Da’wah Wâjibât wa Shifât menuturkan bahwa ungkapan ‘menolong Allah’ itu meliputi: mengimani syariah yang dibawa Rasul, berpegang teguh dengan hukum-hukum yang dibawa, mentaati perintah, dan menjauhi larangan-Nya.
Dari semua penjelasan itu dapat disimpulkan, bahwa yang dimaksud dengan ‘menolong Allah’ itu adalah bertakwa kepada-Nya, yakni menjalankan semua perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya. Lalu disempurnakan lagi dengan meninggalkan sebagian perkara mubah. Rasulullah saw bersabda:
Seorang hamba tidak sampai menjadi muttaqin hingga meninggalkan apa yang sebenarnya boleh karena khawatir terjatuh pada apa yang tidak boleh (HR al-Tirmidzi).
Takwa inilah yang menjadi syarat diturunkannya pertolongan Allah kepada hamba-Nya. Maka siapa pun yang bertakwa, dia sesungguhnya berhak mendapatkan pertolongan-Nya.
Para sahabat Nabi radhiyal-Lâh ‘anhum adalah orang-orang yang telah mendapatkan pertolongan Allah SWT lantaran ketakwaan mereka. Bahwa takwa merupakan syarat diturunkannya pertolongan Allah telah menjadi pemahaman mereka. Umar bin al-Khaththab ra pernah berkata:
Jika kita tidak mengalahkan musuh kita dengan ketaatan kita (kepada Allah), nisacaya musuh akan mengalahkan kita dengan kekuatan mereka.
Salah satu panglima dalam Perang Mu’tah, Abdullah bin Rawahah juga pernah mengatakan:
Kita memerangi manusia bukan dengan jumlah, kekuatan, dan pasukan yang banyak. Namun kita memerangi mereka dengan agama ini, yang dengan agama inilah Allah memuliakan kita (HR Ibnu Ishaq).
Karena itu, syarat takwa ini harus benar-benar kita perhatikan. Pelanggaran sedikit saja terhadap perkara tersebut, bisa menjauhkan pertolongan Allah SWT. Kasus Perang Hunain bisa menjadi pelajaran berharga. Pada perang ini, pasukan Islam berjumlah 12.000 orang. Sebagian di antara mereka mengira akan mengalahkan musuh mereka dengan mudah. Jumlah pasukan yang besar dianggap merupakan sebab kemenangan. Namun apa yang terjadi? Pada perang tersebut, pasukan Islam justru sempat lari tunggang-langgang digempur musuh dan hampir menderita kekalahan. Ketika mereka menyadari, bahwa mereka berangkat untuk berjihad, ikhlas karena Allah SWT, mereka pun segera merapatkan kembali barisannya. Sesudah itu, Allah SWT menurunkan pertolongan-Nya. Allah SWT berfirman:
Sesungguhnya Allah telah menolong kamu (hai para mukminin) di medan peperangan yang banyak, dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu di waktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlahmu, maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikit pun, dan bumi yang luas itu telah terasa sempit olehmu, kemudian kamu lari ke belakang dengan bercerai-berai Kemudian Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya dan kepada orang-orang yang beriman, dan Allah menurunkan bala tentara yang kamu tiada melihatnya, dan Allah menimpakan bencana kepada orang-orang yang kafir, dan demikianlah pembalasan kepada orang-orang yang kafir. (QS al-Taubah [9]: 25-26).
Jelaslah, agar pertolongan Allah segera datang, dan Khilafah tegak kembali, kita harus meningkatkan ketakwaan kita. Kita harus bertakwa dengan sebenar-benarnya (haqqa tuqâtihi). Sebab, ketakwaan inilah yang diperintahkan dalam QS Ali ‘Imran [3]: 102. Takwa yang sebenar-benarnya ini hanya ada, ketika kita telah mengerahkan seluruh kemampuan yang kita miliki untuk merealisasikannya. Allah SWT berfirman:
Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah; dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu (QS al-Taghabun [64]: 16).
Kata mâ [i]statha’tum berarti sampai batas kemampuan yang kalian miliki. Ini artinya, dalam bertakwa kita harus mengerahkan seluruh kemampuan yang kita miliki. Bukan dengan setengah, sepertiga atau seperempat kemampuan kita.
Kita juga harus bertakwa dalam semua perkara yang disyariahkan. Tidak hanya menyangkut perkara ubudiyyah, makanan, dan akhlak saja. Namun juga bertakwa dalam perkara politik, pemerintahan, ekonomi, pendidikan, pergaulan, sanksi-sanksi hukum, dan seluruh bidang kehidupan lainnya. Allah SWT berfirman:
Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya (QS al-Hasyr [59] 7).
Selain ketakwaan berupa ketaatan kepada hukum syara’, masih ada satu lagi yang harus diperhatikan untuk mendapatkan pertolongan Allah. Kita juga harus melakukan berbagai persiapan dan cara yang benar sesuai dengan keperluannya.
Aspek kedua ini juga harus kita perhatikan. Peristiwa dalam Perang Uhud bisa menjadi pelajaran berharga dalam perkara ini. Karena sebagian di antara mereka —yakni pasukan pemanah yang bertugas di atas bukit– tidak disiplin terhadap uslub (ketentuan teknis) yang telah ditetapkan Rasulullah SAW, kemenangan yang sudah hampir di tangan terpaksa harus sirna.
Untuk memperoleh kemenangan dalam peperangan misalnya, kaum Muslim harus terikat dengan syariah. Selain itu, kita juga harus melakukan persiapan, menyiapkan persenjataan, dan merancang strategi militer yang dapat mengalahkan dan menggentarkan musuh sebagaimana diperintahkan Allah SWT dalam QS al-Anfal [8]: 60. Dengan terpenuhinya dua syarat itu, insya Allah akan meraih kemenangan.
Demikian juga dalam perjuangan menegakkan syariah dan Khilafah. ِSyariat Islam (QS Ali ‘Imran [3]: 104) mengharuskan adanya kelompok atau organisasi dakwah. Gerakan/organisasi dakwah ini harus tunduk pada kewajiban syar’i. Asasnya akidah Islam, tujuannya melangsungkan kembali kehidupan Islam dengan tegaknya Khilafah, serta mengadopsi pemikiran dan hukum Islam. Dalam mencapai tujuan, gerakan tersebut juga harus mengikuti tharîqah (metode) dakwah Rasulullah SWT. Baik fikrah dan thariqah-nya tidak boleh menyimpang sedikit pun dari Islam. Anggota-anggotanya harus Muslim, taat kepada syariah, dan ikhlas berjuang karena Allah. Kemudian semuanya diikat dengan fikrah dan thariqah yang sama. Selain itu, mereka juga harus mempunyai politik yang sempurna.
Untuk mendapatkan pertolongan Allah SWT, syarat yang harus kita realisasikan adalah:
A. Mengokohkan keterikatan pada syariah
Maksudnya ialah mendekatkan diri pada Allah dengan cara menjalankan segala yang diperintahkan dan menjauhi yang dilarang. Memperbanyak amalan-amalan sunah seperti berpuasa senen-kamis, rutin membaca Al-Qur’an setelah selesai Sholat fardu, Sholat fardu berjamaah, selalu menghidupkan malam-malam dengan Qiyamullai, selalu beristigfar, dan lain-lain yang hanya dilakukan dengan niat dan hati yang Ikhlas karena Allah. Selain itu berusaha semaksmal mungkin menghindari dari perbuatan maksiat karena sekecil apapun perbuatan maksiat yang kita lakukan akan berdampak pada perjuangan dakwah kita yang nantinya akan menghambat datangnya pertolongan Allah.
B. Menyiapkan berbagai cara (uslub) dan sarana yang mendukung tercapainya tujuan perjuangan tegaknya Khilafah
Hal yang telah kita siapkan tentunya sudah terprogram secara baik hanya tinggal dilaksanakan oleh setiap pengemban dakwah seperti binaan yang harus kita bentuk potensinya menjadi kader dakwah yang unggul, interaksi masyarakat dengan mengkontak tokoh, penyebaran berbagai nasrah (buletin Al-Islam, MU, Al-Wa’ie dan lain-lain), melakukan Masyiroh dan kegiatan-kegiatan (seminar, diskusi publik, training) dalam rangka penyebaran opini, kreatif dalam berdakwah dengan memanfaatkan media komunikasi seperti internet untuk menyebarkan pemikiran-pemikiran islam dan lain sebagainya.
Selain dua Syarat diatas, karakter hidup kita harus selalu dijaga karena kita berdakwah langsung berinteraksi kepada masyarakat dan performa kita harus sangat diperhatikan, baik dari segi penampilan, aktifitas sehari-hari menunjukkan kita adalah seorang pengemban dakwah, tutur kata yang sopan, ramah, cepat bergaul dan selalu bersemangat. Semua hal itu tentunya harus kita jalankan dengan Istiqomah yang harus kita jaga. Karena itu, jangan sekali-kali berputus asa, apalagi berbelok arah dan mengambil langkah pragmatis. Dengan terpenuhinya dua Syarat ini, insya Allah tegaknya khilafah hanya soal waktu
Kenapa ketika Allah mencintai hambanya Allah malah memberinya cobaan atau ujian? Mestinya diberi nikmat dan kesenangan-kesenangan yang bertambah?.. Mungkin ini yang terlintas dalam benak kita. Sejenak kita renungi dan kita pelajari perjalanan hidup kita mulai dari lahir sampai sekarang dan hingga detik ini. Banyak sekali yang membuktikan bahwa kita itu hidup memang dengan masalah, ujian dan cobaan. Ibarat anak Sekolah, untuk naik ke kelas 2 atau kelas 3 dan seterusnya kita harus dapat melewati ujian yang diselenggarakan sekolah, kalau kita tidak mampu melewati ujian tersebut tentu kita tidak akan naik kelas.
Begitu juga dengan hidup dan cobaan-cobaan yang kita hadapi, semuanya adalah “alat” yang dipakai oleh Allah untuk meninggikan derajat kita, meninggikan kualitas keimanan kita, meninggikan pengetahuan kita, meningkatkan tingkat kesabaran kita, keistiqamahan kita, keikhlasan kita, dan seterusnya hingga Allah semakin dekat dengan kita. Jika dalam ujian tersebut kita gagal, dan mengalihkan perhatian utama kita dengan mengganti poros hidup selain dakwah maka kita gagal. Ini memang tidak semudah yang kita bayangkan, ujian dari Allah tidak bisa kita prediksikan, tetapi dengan keimanan kita dan keyakinan kita bahwa Allah tidak akan menguji kita dengan ujian dan cobaan yang melampaui batas kemampuan kita, kita akan sanggup melewati berbagai ujian dan cobaan yang datang dalam kehidupan kita. Malah kita akan semakin bersemangat dalam berdakwah karena kita paham dan yakin se-yakin-yakinnya bahwa Allah akan memberikan kemudahan, memberikan petunjuk kepada kita untuk menyelesaikan semua masalah yang kita hadapi. Pertanyaannya kembali kepada kita, seberapa yakin kita bahwa Allah yang akan membantu setiap kesulitan dan ujian yang sedang kita hadapi? Seberapa yakin kita atas janji Allah yang termaktub dalam surat Muhammad ayat 7, yang artinya “…barang siapa yang menolong agama Allah, maka Allah menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu”.
Saat ini kita sedang sedang memperjuangkan akan tegaknya Khilafah, sesuatu yang didasarkan akan kewajiban untuk menegakkan hukum Allah dan hal itu tidak akan bisa diterapkan secara kaffah selama tidak ada institusi yang besar yang menaunginya yaitu Daulah. Terlepas dari kewajiban, hal yang harus membuat kita terus bersemangat dalam berdakwah ialah yakin akan janji Allah. Perjuangan penegakan khilafah adalah sesuatu yang telah dijanjikan oleh Allah dan itu pasti akan terwujud. Keyakinan ini didasarkan 3 perkara yaitu:
Pertama, jaminan dari Allah kepada orang-orang yang beriman dan beramal salih untuk memberikan kekuasaan di muka bumi, sebagaimana yang pernah diberikan kepada para pendahulu mereka.
Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal salih di antara kalian, bahwa Dia sesungguhnya akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa; akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah Dia ridhai untuk mereka; dan akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan, menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembahku-Ku tanpa mempersekutukan Aku dengan sesuatu. Siapa saja yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, mereka itulah orang-orang yang fasik. (QS an-Nur [24]: 55).
Kedua, kabar gembira dari Rasulullah saw. berupa akan kembalinya Khilafah Rasyidah ala Minhaji Nubuwwah (berdasarkan metode kenabian), setelah fase penguasa diktator pada zaman kita ini., Nabi saw. Bersabda, sebagaimana dituturkan Hudzaifah al-Yaman:
“Akan ada fase kenabian di tengah-tengah kalian. Dengan kehendak Allah, ia akan tetap ada, kemudian Dia mengakhirinya, jika Dia berkehendak untuk mengakhirinya. Kemudian akan ada fase khilafah berdasarkan metode kenabian. Dengan kehendak Allah, ia akan tetap ada, kemudian Dia akan mengakhirinya, jika Dia berkehendak untuk mengakhirinya. Kemudian akan ada fase penguasa yang zalim, ia akan tetap ada, kemudian Dia akan mengakhirinya, jika Dia berkehendak untuk mengakhirinya. Lalu akan ada fase penguasa diktator, ia akan tetap ada, kemudian Dia akan mengakhirinya, jika Dia berkehendak untuk mengakhirinya. Setelah itu, akan datang kembali khilafah ala Minhajin Nubuwah (berdasarkan metode kenabian).” Kemudian Baginda saw. diam. (HR Ahmad).
Ketiga, umat Islam yang hidup dan dinamis tentu akan menyambut perjuangan bagi tegaknya Khilafah dan siap mendukung perjuangan ini hingga Allah mewujudkan janji-Nya. Setelah itu, mereka akan bahu-membahu merapatkan barisan untuk menjaga Khilafah. Sesungguhnya umat ini diturunkan sebagai umat terbaik (khayra ummah), yang akan selalu bergerak untuk mewujudkan predikat itu. Allah SWT berfirman:
Kalian adalah umat terbaik, yang dihadirkan untuk seluruh umat manusia. Kalian harus menyerukan kemakrufan dan mencegah kemungkaran serta tetap mengimani Allah. (QS Ali ‘Imran [3]: 110).
Khilafah merupakan nasrul-Lâh (pertolongan Allah) kepada kaum Muslim. Sedangkan al-nashr (pertolongan) itu mutlak milik Allah SWT. Karena itu, tidak ada seorang pun yang mampu mendatangkan atau menolaknya; memajukan atau menundanya. Bahkan Rasul sekalipun, tidak bisa menentukan sendiri kapan dan di mana pertolongan itu akan datang. Di antara buktinya adalah ketika kaum Muslim ditimpa cobaan amat dahsyat, lalu mereka bertanya kepada Rasulullah SAW kapankah pertolongan akan datang, beliau hanya menjawab:
Ingatlah, sesungguhnya pertolongan itu amat dekat (QS al-Baqarah [2]: 214).
Allah SWT Yang Maha Adil telah menetapkan syarat bagi hamba-Nya yang ingin mendapat pertolongan-Nya. Syaratnya, hamba itu harus bersedia menolong agama-Nya. Allah SWT berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu (QS Muhammad [47]: 7).
Ungkapan ‘menolong Allah’ ini bukanlah bermakna hakiki. Sebab, Allah Swt tidak membutuhkan pertolongan hamba-Nya. Sebaliknya, Dialah yang berkuasa memberikan pertolongan. Bahkan tidak ada pertolongan kecuali berasal dari-Nya sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya:
Dan kemenanganmu itu hanyalah dari Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (QS Ali ‘Imran [3]: 126).
Karena itu, pengertian ‘menolong Allah’, bukanlah bermakna hakiki. Sebagaimana dijelaskan Abu Hayyan al-Andalusi dalam Tafsîr al-Bahr al-Muhîth, bahwa ungkapan tersebut bermakna menolong agama-Nya. Menurut mufassir lainnya, seperti Ibnu al-Jauzi, al-Zamakhsyari, al-Baidhawi, dan Syihabuddin al-Alusi rahimahumul-Lâh selain menolong agama-Nya, juga menolong rasul-Nya.
Secara lebih gamblang, Abdurrahman al-Sa’di menjelaskan bahwa amaliyyah praktis ‘menolong Allah’ adalah dengan melaksanakan agama-Nya, berdakwah kepada-Nya, dan berjihad melawan musuh-musuh-Nya, yang dilakukan dengan niat ikhlas karena-Nya. Ustadz Abdul Lathif ‘Uwaidhah dalam Haml al-Da’wah Wâjibât wa Shifât menuturkan bahwa ungkapan ‘menolong Allah’ itu meliputi: mengimani syariah yang dibawa Rasul, berpegang teguh dengan hukum-hukum yang dibawa, mentaati perintah, dan menjauhi larangan-Nya.
Dari semua penjelasan itu dapat disimpulkan, bahwa yang dimaksud dengan ‘menolong Allah’ itu adalah bertakwa kepada-Nya, yakni menjalankan semua perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya. Lalu disempurnakan lagi dengan meninggalkan sebagian perkara mubah. Rasulullah saw bersabda:
Seorang hamba tidak sampai menjadi muttaqin hingga meninggalkan apa yang sebenarnya boleh karena khawatir terjatuh pada apa yang tidak boleh (HR al-Tirmidzi).
Takwa inilah yang menjadi syarat diturunkannya pertolongan Allah kepada hamba-Nya. Maka siapa pun yang bertakwa, dia sesungguhnya berhak mendapatkan pertolongan-Nya.
Para sahabat Nabi radhiyal-Lâh ‘anhum adalah orang-orang yang telah mendapatkan pertolongan Allah SWT lantaran ketakwaan mereka. Bahwa takwa merupakan syarat diturunkannya pertolongan Allah telah menjadi pemahaman mereka. Umar bin al-Khaththab ra pernah berkata:
Jika kita tidak mengalahkan musuh kita dengan ketaatan kita (kepada Allah), nisacaya musuh akan mengalahkan kita dengan kekuatan mereka.
Salah satu panglima dalam Perang Mu’tah, Abdullah bin Rawahah juga pernah mengatakan:
Kita memerangi manusia bukan dengan jumlah, kekuatan, dan pasukan yang banyak. Namun kita memerangi mereka dengan agama ini, yang dengan agama inilah Allah memuliakan kita (HR Ibnu Ishaq).
Karena itu, syarat takwa ini harus benar-benar kita perhatikan. Pelanggaran sedikit saja terhadap perkara tersebut, bisa menjauhkan pertolongan Allah SWT. Kasus Perang Hunain bisa menjadi pelajaran berharga. Pada perang ini, pasukan Islam berjumlah 12.000 orang. Sebagian di antara mereka mengira akan mengalahkan musuh mereka dengan mudah. Jumlah pasukan yang besar dianggap merupakan sebab kemenangan. Namun apa yang terjadi? Pada perang tersebut, pasukan Islam justru sempat lari tunggang-langgang digempur musuh dan hampir menderita kekalahan. Ketika mereka menyadari, bahwa mereka berangkat untuk berjihad, ikhlas karena Allah SWT, mereka pun segera merapatkan kembali barisannya. Sesudah itu, Allah SWT menurunkan pertolongan-Nya. Allah SWT berfirman:
Sesungguhnya Allah telah menolong kamu (hai para mukminin) di medan peperangan yang banyak, dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu di waktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlahmu, maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikit pun, dan bumi yang luas itu telah terasa sempit olehmu, kemudian kamu lari ke belakang dengan bercerai-berai Kemudian Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya dan kepada orang-orang yang beriman, dan Allah menurunkan bala tentara yang kamu tiada melihatnya, dan Allah menimpakan bencana kepada orang-orang yang kafir, dan demikianlah pembalasan kepada orang-orang yang kafir. (QS al-Taubah [9]: 25-26).
Jelaslah, agar pertolongan Allah segera datang, dan Khilafah tegak kembali, kita harus meningkatkan ketakwaan kita. Kita harus bertakwa dengan sebenar-benarnya (haqqa tuqâtihi). Sebab, ketakwaan inilah yang diperintahkan dalam QS Ali ‘Imran [3]: 102. Takwa yang sebenar-benarnya ini hanya ada, ketika kita telah mengerahkan seluruh kemampuan yang kita miliki untuk merealisasikannya. Allah SWT berfirman:
Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah; dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu (QS al-Taghabun [64]: 16).
Kata mâ [i]statha’tum berarti sampai batas kemampuan yang kalian miliki. Ini artinya, dalam bertakwa kita harus mengerahkan seluruh kemampuan yang kita miliki. Bukan dengan setengah, sepertiga atau seperempat kemampuan kita.
Kita juga harus bertakwa dalam semua perkara yang disyariahkan. Tidak hanya menyangkut perkara ubudiyyah, makanan, dan akhlak saja. Namun juga bertakwa dalam perkara politik, pemerintahan, ekonomi, pendidikan, pergaulan, sanksi-sanksi hukum, dan seluruh bidang kehidupan lainnya. Allah SWT berfirman:
Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya (QS al-Hasyr [59] 7).
Selain ketakwaan berupa ketaatan kepada hukum syara’, masih ada satu lagi yang harus diperhatikan untuk mendapatkan pertolongan Allah. Kita juga harus melakukan berbagai persiapan dan cara yang benar sesuai dengan keperluannya.
Aspek kedua ini juga harus kita perhatikan. Peristiwa dalam Perang Uhud bisa menjadi pelajaran berharga dalam perkara ini. Karena sebagian di antara mereka —yakni pasukan pemanah yang bertugas di atas bukit– tidak disiplin terhadap uslub (ketentuan teknis) yang telah ditetapkan Rasulullah SAW, kemenangan yang sudah hampir di tangan terpaksa harus sirna.
Untuk memperoleh kemenangan dalam peperangan misalnya, kaum Muslim harus terikat dengan syariah. Selain itu, kita juga harus melakukan persiapan, menyiapkan persenjataan, dan merancang strategi militer yang dapat mengalahkan dan menggentarkan musuh sebagaimana diperintahkan Allah SWT dalam QS al-Anfal [8]: 60. Dengan terpenuhinya dua syarat itu, insya Allah akan meraih kemenangan.
Demikian juga dalam perjuangan menegakkan syariah dan Khilafah. ِSyariat Islam (QS Ali ‘Imran [3]: 104) mengharuskan adanya kelompok atau organisasi dakwah. Gerakan/organisasi dakwah ini harus tunduk pada kewajiban syar’i. Asasnya akidah Islam, tujuannya melangsungkan kembali kehidupan Islam dengan tegaknya Khilafah, serta mengadopsi pemikiran dan hukum Islam. Dalam mencapai tujuan, gerakan tersebut juga harus mengikuti tharîqah (metode) dakwah Rasulullah SWT. Baik fikrah dan thariqah-nya tidak boleh menyimpang sedikit pun dari Islam. Anggota-anggotanya harus Muslim, taat kepada syariah, dan ikhlas berjuang karena Allah. Kemudian semuanya diikat dengan fikrah dan thariqah yang sama. Selain itu, mereka juga harus mempunyai politik yang sempurna.
Untuk mendapatkan pertolongan Allah SWT, syarat yang harus kita realisasikan adalah:
A. Mengokohkan keterikatan pada syariah
Maksudnya ialah mendekatkan diri pada Allah dengan cara menjalankan segala yang diperintahkan dan menjauhi yang dilarang. Memperbanyak amalan-amalan sunah seperti berpuasa senen-kamis, rutin membaca Al-Qur’an setelah selesai Sholat fardu, Sholat fardu berjamaah, selalu menghidupkan malam-malam dengan Qiyamullai, selalu beristigfar, dan lain-lain yang hanya dilakukan dengan niat dan hati yang Ikhlas karena Allah. Selain itu berusaha semaksmal mungkin menghindari dari perbuatan maksiat karena sekecil apapun perbuatan maksiat yang kita lakukan akan berdampak pada perjuangan dakwah kita yang nantinya akan menghambat datangnya pertolongan Allah.
B. Menyiapkan berbagai cara (uslub) dan sarana yang mendukung tercapainya tujuan perjuangan tegaknya Khilafah
Hal yang telah kita siapkan tentunya sudah terprogram secara baik hanya tinggal dilaksanakan oleh setiap pengemban dakwah seperti binaan yang harus kita bentuk potensinya menjadi kader dakwah yang unggul, interaksi masyarakat dengan mengkontak tokoh, penyebaran berbagai nasrah (buletin Al-Islam, MU, Al-Wa’ie dan lain-lain), melakukan Masyiroh dan kegiatan-kegiatan (seminar, diskusi publik, training) dalam rangka penyebaran opini, kreatif dalam berdakwah dengan memanfaatkan media komunikasi seperti internet untuk menyebarkan pemikiran-pemikiran islam dan lain sebagainya.
Selain dua Syarat diatas, karakter hidup kita harus selalu dijaga karena kita berdakwah langsung berinteraksi kepada masyarakat dan performa kita harus sangat diperhatikan, baik dari segi penampilan, aktifitas sehari-hari menunjukkan kita adalah seorang pengemban dakwah, tutur kata yang sopan, ramah, cepat bergaul dan selalu bersemangat. Semua hal itu tentunya harus kita jalankan dengan Istiqomah yang harus kita jaga. Karena itu, jangan sekali-kali berputus asa, apalagi berbelok arah dan mengambil langkah pragmatis. Dengan terpenuhinya dua Syarat ini, insya Allah tegaknya khilafah hanya soal waktu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar