Selama tahun 2005 tingkat perceraian di Indonesia terjadio 105 pasangan suami istri. Pada tahun 2006 meningkat tajam lima kali, menjadi 502 kasus, ungkap Nasaruddin dalam acara seminar "Urgensi Pembangunan Bangsa Berbasis Keluarga dan Peluncuran Buku Fikih Keluarga" di PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama), Jakarta, Rabu (3/6).
Dari 502 pasangan suami istri yang bercerai sebagian besar didominasi oleh istri menceraikan suami. Sebelumnya suami menceraikan istri hanya tiga perempat persen, namun sekarang istri menceraikan suami mencapai lima persen.
Faktor utama istri menceraikan suami, menurut Nasaruddin, antara lain karena suami dipenjara, perselingkuhan, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan kurang bertanggung jawabnya sang suami.
Gejolak ini timbul antara lain akibat rendahnya tingkat ekonomi keluarga, minimnya pembinaan agama dalam rumah tangga dan dampak makin membengkaknya pertumbuhan penduduk dewasa ini.
Secara umum tingkat perceraian keluarga pada awal reformasi jumlahnya antara empat sampai lima ribu pasangan, sekarang naik menjadi 200 ribu pasangan per tahun. "Akibatnya timbul orang miskin baru, terutama pada pasangan usia muda, sementara tingkat kelahiran anak sekarang rata-rata sudah mencapai dua juta orang per tahun.
Nasaruddin mengingatkan, bila tingkat pertumbuhan penduduk terkendali, otomatis ekonomi keluarga akan stabil, karena dana anggaran negara tidak terlalu besar diserap oleh kebutuhan keluarga yang makin tinggi sekarang ini.
"Untuk itu pemerintah perlu memprioritaskan penanggulangan pertumbuhan penduduk yang semakin mencemaskan saat ini," kata Nasaruddin.
Bila masih ada pemahaman singkat masyarakat muslim terhadap pertumbuhan penduduk, yaitu dengan semboyan "Banyak anak menambah rezeki", itu sangat keliru dan perlu dihapuskan.(em/pel/ant)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar