Senin, 25 April 2011

Hak Asuh Anak Bukan soal Menang atau Kalah

Duh, sedihnya melihat layar televisi dan tabloid, yang akhir-akhir ini semakin marak dengan pemberitaan rebutan hak asuh anak di ka­langan selebriti. Rasa cinta yang sudah menguap membuat proses penentuan hak asuh anak berubah sebagai sebuah pertarungan seru. Sosok mungil yang seharusnya menjadi tempat curahan kasih sayang pun dijadikan sebagai ‘hadiah’ yang harus di­perebutkan dengan se­gala cara. Dan, saking kepinginnya menang, orang tua pun jadi lupa memikirkan apa yang terbaik bagi anaknya.
Sebenarnya, dalam urusan hak asuh anak, hal-hal apa saja, sih, yang diributkan?

ADAKAH YANG LEBIH BERHAK?

Saat sedang mengurus hak asuh setelah terjadi perceraian, salah satu pihak mungkin ada yang merasa lebih berhak untuk me­nga­suh anak-anaknya. Entah itu ibunya, karena merasa ia yang me­ngandung dan melahirkan. Atau ayahnya, karena merasa ia yang membiayai. Kita mungkin lantas bertanya, siapa, sih, yang sebe­narnya lebih berhak memperoleh hak pengasuhan itu?

Lelyana Santosa, konsultan hukum dari Lubis, Santosa & Maulana, mengatakan tidak ada pihak yang bisa merasa lebih berhak daripada pihak lain. Hak peng­asuhan anak sebenarnya dapat diberikan kepada pihak mana pun.
“UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 menye­butkan anak yang belum mencapai 18 tahun atau belum melangsungkan perkawinan, berada di ba­wah kekuasaan orang tuanya, selama mereka tidak dicabut dari ke­­kuasaannya. Artinya, kalau pengadilan memutuskan bahwa hak peng­asuhan ada pada ibu, maka ibunyalah yang akan mengasuh. Bi­la pengadilan memutuskan sebaliknya, berarti ayahnya yang akan meng­asuh.

Selanjutnya, bila anak itu telah berusia 18 tahun, barulah ia boleh memilih ingin ikut ayah atau ibunya, karena ia sudah di­anggap dewasa,” kata Lelyana. Ia mengimbuhkan pengadilan yang dimaksud di sini adalah pengadilan agama untuk yang beragama Is­lam dan pengadilan negeri untuk pemeluk agama lain.

Khusus untuk umat Muslim, pengaturan hak asuh anak, juga di­atur di dalam Surat Keputusan Menteri Agama RI No. 154 Tahun 1991. Dalam surat itu dinyatakan bahwa hak asuh anak yang ber­usia di bawah 12 tahun (atau yang disebut mumayyiz), sebaiknya di­berikan kepada ibunya. Jadi, di pengadilan agama, biasanya, hak asuh anak yang belum berusia 12 tahun diserahkan kepada ibunya. “Saya pikir, wajar jika seorang anak yang belum dewasa dipelihara oleh ibunya. Karena ibunya yang melahirkan, maka secara naluri ia-lah yang bisa merawatnya,” kata Lelyana, menjabarkan. Ketentuan ini toh sifatnya tidak mutlak. Pada kondisi tertentu, pe­ngasuhan anak yang berusia 3 tahun pun bisa diberikan kepada ayahnya.

Tamara Bleszynski (32), aktris dan bintang iklan, menge­muka­kan hal senada. “Sebelum berumur 12 tahun, kepribadian anak kan masih labil sehingga memerlukan bimbingan ibu. Lagipula, ke­­giatan anak seusia ini kan cukup banyak. Seperti sekolah dan kur­sus keterampilan. Bayangkan apa yang terjadi jika anak harus men­jalani hak asuh ber­sama. Berarti, dalam seminggu jadwalnya terbagi dua untuk tinggal di dua rumah berbeda. Dia pasti kebingungan,” katanya, berpendapat.

Jika satu pihak dianggap tak layak mengasuh, hak pengasuhan pun diberikan kepada pihak lain. “Yang dimaksud tak la­yak adalah, kondisi saat ayah atau ibu dipandang mungkin mene­lan­tarkan anak. Misalnya, ayahnya mungkin dianggap berbahaya ka­rena sewaktu-waktu bisa melakukan pembunuhan atau tindak ke­kerasan,” kata Lelyana. Masih ada contoh lain seperti salah satu pihak sakit berkepanjangan atau tidak memiliki pekerjaan yang je­las.

BOLEH DIALIHKAN

Bagaimana bila pihak yang telah mendapatkan hak pengasuhan ke­mudian menelantarkan anaknya? Pihak pengadilan ternyata bisa men­­cabut hak pengasuhannya. Pihak yang tidak mendapatkan hak pengasuhan bisa mengajukan gu­gatan dan menyertakan bukti bah­wa pihak yang mengasuh ti­dak bisa berperan sebagai ayah atau ibu yang baik. Caranya, ia ha­rus mengajukan saksi yang tepat, bersifat independen dan bisa memberikan keterangan obyektif. “Jika saksi me­miliki hubungan darah dengan penggugat atau orang yang di­gaji oleh penggugat, kesaksiannya kemungkinan dianggap bersifat memihak.”

Hak pengasuhan anak ternyata bisa langsung dialihkan, tanpa me­lalui proses hukum lagi, bila orang tua memutuskan untuk mem­buat kesepakatan baru. Misalnya, hak pengasuhan yang dite­tapkan pengadilan jatuh pada ibu, bisa saja dialihkan kepada ayah, bila ayah dan ibu berkompromi dan memutuskan anak itu lebih baik diasuh ayahnya. Peralihan hak asuh se­perti ini sama sekali tidak melanggar hukum. Pengadilan juga tidak akan menjatuhkan sanksi hukum.

Pertanyaan lain pun muncul. Bagaimana jika anak menolak untuk tinggal bersama pihak yang telah ditentukan oleh pengadilan? Pada da­sarnya tidak ada pihak yang bisa memaksakan kehendak ataupun mengaku melakukan kehendaknya demi kepentingan anak. “Ji­ka anak itu tidak suka, ia memang tak boleh dipaksa. Namun, penga­dilan akan melihat terlebih dahulu, kenapa anak itu menolak? Apa­kah anak itu benar menolak dengan alasan yang jelas atau apakah dia berada di bawah ancaman pihak lain? Keputusannya mutlak ada pada pengadilan,” kata Lelyana, menegaskan.

Mengomentari anggapan yang mengatakan seorang wanita yang pernah berselingkuh tak akan bisa mendapatkan hak pengasuhan, Lelyana menjelaskan perselingkuhan tidak bisa dijadikan tolok ukur. “Ibu yang berselingkuh bukan berarti tidak bisa berperan sebagai ibu yang baik. Toh, perselingkuhan itu belum tentu bisa dibuktikan. Seorang ibu rumah tangga yang tidak memiliki pekerjaan tetap pun tetap bi­sa mendapat hak pengasuhan, karena kewajiban untuk membiayai anak berada di pundak sang ayah,” kata Lelyana lebih lanjut.

BISA TERJADI ’PENCULIKAN’

Jika hukumnya sudah jelas dan putusan pengadilan adalah mutlak, lan­­tas mengapa masih saja sering terjadi perseteruan? Keributan yang terjadi ternyata bukan dikarenakan oleh perebutan hak asuh, melainkan tentang kompromi kunjungan terhadap anak. Misalnya ada yang tidak mem­perbolehkan mantan pasangannya bertemu anak­­nya, karena ala­san tertentu. “Satu pihak yang tidak diberi hak pe­ng­asuhan memang mungkin saja tidak diperbolehkan me­ngun­jungi anak. Salah satu alasan­nya mungkin pihak itu dianggap bisa membahayakan keselamatan jiwa anak. Tapi, hal itu harus di­putuskan oleh pengadilan,” kata Lelyana, men­jelas­kan.

Pihak yang di­larang bertemu mencoba menemui atau menjemput anaknya tanpa ijin. Dari sinilah muncul istilah orang tua menculik anak sendiri.

‘Penculikan’ itu pula yang sempat ditakutkan oleh Dewi Kartika Sari (35). Ia sempat menitipkan mereka pada tetangga. “Saya be­nar-benar takut mereka ‘diapa-apakan’ oleh mantan suami. Bukan hanya takut diambil, melainkan juga takut mereka akan di­doktrin negatif sehingga lebih memilih tinggal bersama mantan sua­mi,” katanya.

Ketakutan yang sama juga sempat menghantui pikiran Eka Vir­gianti (38). “Saya takut, di tengah proses hukum yang masih berjalan, mantan suami akan me­manfaatkan peluang untuk mengambil anak saya, Devianty (14). Untung saja, setelah keputusan ditetapkan, mantan suami dengan sendirinya menyadari, Devianty akan jauh lebih baik jika berada dekat ibunya,” tuturnya.

Lelyana memandang tindakan pengambilan anak, tanpa seijin pihak yang memiliki hak asuh, tidak dapat dikategorikan ke dalam penculikan. “Menurut hukum, tidak ada orang yang bisa menculik anak kandungnya sendiri. Jadi, karena kejadian itu tidak melanggar hukum. Sebaliknya pihak yang dituduh sebagai penculik pun tidak bisa di­kenakan sanksi hukum, kecuali, jika pengambilan anak itu di­la­kukan dengan kekerasan,” katanya menjelaskan.

Berlandaskan hal inilah, ayah yang menjemput tanpa ijin tidak bisa dikenakan proses hukum, walaupun dilaporkan telah melakukan penculikan. Terlebih bila ia bisa membuktikan bahwa ia memang tidak diperbolehkan menjenguk anaknya. Di lain pihak, ketika sang ayah tak diperbolehkan menemui anaknya, ia juga tidak bisa melapor ke po­lisi, karena hal itu juga tidak dianggap sebagai tindakan kriminal.

Hak asuh yang dimaksudkan dalam hukum adalah hak untuk mengasuh, bukan hak untuk menguasai. “Ketika hak asuh diberikan kepada salah satu pihak, bukan berarti pihak tersebut boleh menguasai anaknya dan tidak mem­perbolehkan pihak lain menemui anak itu. Dalam hal ini saya ingin menggarisbawahi bahwa siapa pun yang mendapatkan hak pengasuhan, pihak ayah tetap berkewajiban untuk membiayai anak tersebut. Pengadilan pun bisa memutuskan jumlah rupiah yang harus dibayarkan oleh pihak ayah,” kata Lelyana.

Dua orang ibu yang diwawancarai femina, sama-sama mengaku selalu membuka pintu lebar-lebar bagi mantan suami untuk mengunjungi anaknya. Tamara, misalnya, mengaku tidak pernah menghalangi mantan suaminya Teuku Rafly (33), menemui Rassya (7). “Bertemu, sih, boleh saja. Tapi, saya ingin, aturan ber­kunjungnya harus jelas. Kalau memang ingin bertemu, dia bisa datang ke rumah. Sampai sekarang, pintu rumah saya selalu terbuka lebar. Rassya juga sempat bertanya, ‘Kok, Ayah nggak datang-da­tang?’ Saya hanya bisa mencoba memberi pe­ngertian bahwa suatu hari nanti ayahnya pasti akan berkunjung.”

Begitu pula Dewi. Ia tidak menentukan jadwal khusus pertemuan antara anak-anak dan mantan suaminya. Ia selalu berusaha untuk mempertemukan mereka, kapan pun mantan suamiya ingin ber­kunjung. “Kini, saya sudah tak memiliki kekhawatiran apa-apa. Anak-anak bisa pergi atau menginap bersama ayahnya, tanpa ke­hadiran saya. Kalau dulu, sih, anak-anak pasti saya dampingi terus,” katanya, berbagi pengalaman.

KEPENTINGAN ANAK DI ATAS SEGALANYA

Dalam setiap perceraian, anak mungkin akan menjadi korban, bila tak disiapkan dengan seksama, anak bisa jadi akan tumbuh menjadi anak yang tidak bahagia. Padahal, ia perlu menunggu cukup lama hingga usia 18 tahun, sebelum bisa memutuskan ingin ikut siapa. Lelyana memandang, anak harus tetap merasa bahagia lahir dan batin meski ayah dan ibunya berpisah. “Idealnya, ayah dan ibu kan tinggal satu rumah. Tapi, kalau mereka terpaksa berpisah, harus dicarikan cara agar anak itu tidak kehilangan figur orang tuanya,” katanya menekankan.

Psikolog anak dari Universitas Indonesia, Su­ras­­tuti Nurdadi, yang akrab di sapa Nuki, juga mengemukakan pendapat senada. “Kepentingan anak harus tetap dipikirkan berdua. Secara psi­ko­logis seorang anak akan merasa kehilangan kasih sayang orang tua yang utuh pada saat melihat orang tuanya bercerai. Apalagi, jika salah satu orang tua tak ada lagi di sisinya.”

Kompromi tentang kunjungan terhadap anak pun menjadi sangat penting. Pengadilan memang tidak membuat jadwal kunjungan itu, karena ketentuan jadwal kunjungan murni menjadi tanggung jawab kedua orang tua. Di dalam UU pun disebutkan bahwa baik ayah maupun ibu tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak. “Masa depan, perasaan, dan kepentingan si anak harus di atas segala-ga­lanya. Perkawinan orang tua, sih, boleh putus. Tapi, hubungan da­rah tak akan bisa putus,” Lelyana menjabarkan.

Selain membicarakan tentang jadwal, Nuki berpendapat orang tua juga harus membuat kesepakatan tentang apa yang terbaik bagi anak. “Hal yang penting dibicarakan adalah kesepakatan tentang pola asuh. Tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh anak. Jangan sampai kegiatan yang dilarang oleh ibunya, ternyata diperbolehkan oleh sang ayah. Hal ini akan menimbulkan kebingungan bagi anak.”

Demi kepentingan anak pulalah, Eka melakukan kompromi dengan mantan suaminya tentang pengaturan kunjungan. “Tidak ada pengaturan jadwal njlimet. Setiap kali mantan suami ingin bertemu Devianty, ia hanya tinggal menelepon, lalu kami janjian di suatu tempat. Saya tidak mau memutus tali silaturahmi antara Devianty dan ayahnya. Bagaimana pun ada hubungan darah yang tak pernah putus. Lagi pula, saya tak mau menjadikan anak sebagai ‘senjata’,” tuturnya.

Kebahagiaan anak-anak juga menjadi pertimbangan Nia Paramita (28), ketika bercerai dari Gusti Randa (40). Nia memutuskan untuk menjalani hak asuh bersama karena tak ingin perkembangan jiwa anak-anaknya terganggu. “Buat saya yang terpenting adalah mengatur agar proses perceraian berdampak seminimal mungkin pada anak-anak. Karena itulah, kami berdua memutuskan untuk bersama-sama mengurus dan membesarkan anak,” katanya, bercerita.

Di penghujung wawancara, Nuki mengarisbawahi satu hal lagi. Anak harus tetap memiliki kepercayaan pada kedua orang tuanya. Orang tua dianjurkan untuk tidak saling menyalahkan atau saling menjelekkan satu sama lain. Anak yang mendengar ibu menjelekkan ayahnya mungkin akan merasa tidak percaya kepada ayahnya. “Ba­yangkan apa yang dirasakannya ketika ia dewasa dan mengetahui bah­wa ayahnya ternyata tidak seburuk yang dikatakan ibunya. Anak bisa-bisa tidak percaya lagi terhadap kata-kata ibunya. Anak bahkan bisa-bisa sulit mempercayai orang lain. Karena itulah, kedua orang tua harus tetap menjaga hubungan baik satu sama lain.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar