Senin, 11 April 2011

E-LIFE, Autis Bukan Penyakit


SELAMA ini begitu banyak stigma negatif tentang autis beredar di masyarakat. Ada yang bilang autis disebabkan santet, autis itu sama dengan gila, penyakit menular, dan prasangka-prasangka miring lainnya. Stigma tersebut muncul karena pemahaman masyarakat tentang autis ini masih sangat minim.

“Autis bukan penyakit, autis itu kondisi. Anak autis adalah anak yang mengalami gangguan dalam perkembangannya,” kata pendiri Masyarakat Peduli Autis Indonesia (MPATI) Gayatri Pamoedji SE MHc saat temu media di seminar Pola Asuh Tepat Bantu Anak Autis Hidup Mandiri, di Jakarta.

Untuk itu, disarankan oleh Gayatri, segera tangani anak autis dengan benar, pastikan bahwa mereka mendapatkan pengasuhan yang tepat. inti dari penanganan anak autis itu ialah diagnosa akurat, pendidikan tepat, dan dukungan kuat. “Membentuk  anak autis memang butuh kesabaran ekstra,” ujarnya.

Dalam hal diagnosa, dibutuhkan diagnosa yang tepat dan akurat oleh dokter ahli. Di mana yang bisa dijadikan patokan bahwa seorang anak mengalami autis, bisa dilihat dari tujuh ciri anak autis, dan jika anak mengalami dua atau lebih dari ciri tersebut, maka bisa dikatakan anak tersebut alami autis.

“Lakukan sedini mungkin karena gejala autisme biasanya terlihat sebelum anak mencapai usia tiga tahun,” tutur wanita yang juga pendiri Sekolah Pantara untuk pelatihan para guru dan membuat kurikulum sekolah untuk anak-anak dengan AD/HD.

Selain itu, pendidikan tepat juga harus diberikan untuk membentuk anak autis menjadi mandiri. Gayatri menuturkan, jika anak autis diberikan pendidikan yang tepat, maka mereka mampu mandiri, dapat mengerti dan mengikuti perintah, mampu untuk duduk mendengarkan, serta patuh menunggu giliran.“Dan itu semua merupakan kemampuan dasar yang sebaiknya dikuasai anak autis sebelum masuk sekolah,” ujarnya

Gayatri menyarankan, apabila ingin memasukkan anak ke sekolah, maka lakukan penanganan dini jauh sebelum anak ini pergi sekolah dan sebelum masuk pada usia sekolah. Ajarkan hal-hal kecil terlebih dahulu, seperti buang air sendiri, makan dan minum sendiri, hingga mampu memasang kancing baju sendiri.

“Ini sangat membantu gurunya kelak sehingga guru pun tidak kewalahan pada saat mereka masuk sekolah, di usia yang seharusnya mereka ada di sekolah,” papar wanita lulusan Master of Health Conseling, Curtin University of Technology, Perth, Australia Barat ini.

Gayatri juga menjelaskan bahwa orangtua tidak perlu buru-buru menjalan terapi autisme yang mahal-mahal, karena kunci utama untuk terapi autisme adalah membuat anak mampu berkomunikasi.

“Boleh ikut terapi lumba-lumba, tapi setelah tiga terapi dasar autisme sudah bisa dijalani. Terapi seperti lumba-lumba itu adalah terapi tambahan dan berfungsi untuk membuat anak relaksasi bukan menjadi mandiri,” jelas Gayatri.

Tiga terapi dasar autisme yang dimaksudkan adalah Terapi perilaku (Applied Behavioral Analysis), mengajarkan anak agar patuh, Terapi okupasi, untuk melatih kemampuan motorik halus atau kemampuan untuk melakukan sesuatu dengan otot-otot kecil yang ada di dalam tangan, misalnya menulis, mengancing baju, memegang sendok, dan sebagainya serta Terapi wicara

Selain itu anak autis juga butuh dukungan yang kuat. Tidak hanya dari orangtua atau keluarga, melainkan dari lingkungan sekitarnya termasuk dukungan media. Gayatri menuturkan bahwa dalam merawat anak autis, orangtua sebaiknya saling berbagi tugas. Pembagian tugas ini bisa dijalankan sesuai dengan kelebihan dari masing-masing karakter ibu atau ayah serta waktu yang mereka miliki. Semisal jika ayah pandai matematika, maka tugas mendampingi anak membuat pekerjaan rumah matematika dilakukan sang ayah.

Sama halnya dengan ibu, jika ibu lebih mahir dalam hal berkomunikasi, ibulah yang menjadi manajer dan juru bicara (jubir) anak untuk urusan sekolah. Idealnya, dilakukan komunikasi yang jujur dan terbuka. Atau ibu juga bisa membantu agar ayah lebih percaya diri dan mau lebih dekat dengan anak, misal dengan melakukan tugas menyenangkan, seperti bermain video game bersama.

Di saat ayah bermain dengan anak, ibu bisa menggunakan waktu senggang untuk beristirahat. Buatlah daftar dari pekerjaan atau tugas yang diperlukan untuk mendidik anak. “Dengan penanganan terpadu, anak penyandang autis punya masa depan. Harapan selalu ada, pasti ada kemajuan jika orangtua mau terlibat,” pesannya.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar