Rabu, 06 Juli 2011

Mengembalikan Khittah PSSI di Solo

Kota Bengawan. Itulah sebutan Kota Solo. Kota yang diidentikkan dengan sentra budaya Jawa selain Daerah Istimewa (DI) Yogyakarta. Tanggal 9 Juli 2011 nanti, Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) menghelat Kongres Luar Biasa (KLB) di kota batik ini.

Kota Solo mencatatkan sejarah panjang sepakbola nasional. Untuk pertama kalinya PSSI menyelenggarakan kejuaraan nasional sepakbola di Solo pada tahun 1931, 1937, 1938, dan 1940. Penyelenggaraan ini berlangsung setelah PSSI dibentuk. Pertandingan telah berlangung 4 kali di Solo.

Sejarah penting bakal dicatatkan kembali PSSI di Kota Solo. KLB PSSI tahun 2011 untuk memilih ketua umum, wakil ketua umum, dan komite eksekutif (Exco) digelar di kota ini. Sebelumnya, PSSI gagal total menggelar KLB di Pekanbaru Riau dan Jakarta. Iklim dan dinamika kompetisi KLB di kedua kota itu melebihi 'gawe' kongres, munas atau muktamar parpol.

KLB PSSI di Kota Solo di bawah todongan 'senjata' FIFA yang sangat jelas: jika KLB PSSI di Solo gagal total dan berakhir deadlock, otomatis sanksi FIFA kepada PSSI langsung dijatuhkan. Tak ada lagi ruang dialog dan lobi untuk meringankan apalagi membebaskan ancaman sanksi FIFA tersebut. Kelihatannya, badan sepakbola dunia itu sudah tak sabar lagi melihat carut-marut di organisasi sepakbola Indonesia.

Kota Solo bakal kembali menorehkan tonggak revolusi sepakbola nasional. Dari sepakbola pragmatis yang cenderung menghalalkan segala cara untuk meraih kemenangan dan mengorbankan fairplay serta sportifitas, berhijrah ke sepakbola yang punya roh ideologis sportifitas. Sepakbola yang menjunjung tinggi fairplay dan sportifitas. Sepakbola yang mengandalkan permainan teknis pemain di lapangan, kejelian dan kejituan sang arsitek (pelatih) meramu taktik dan strategi permainan, serta aspek keberuntungan 'Dewi Fortuna'.

Revolusi sepakbola dari Kota Solo harusnya melahirkan komitmen dan kerja praksis di masa depan untuk menghapus sepakbola nonteknis. Sepakbola setengah kamar: yang mana sang pemenang dan sang pecundang (baca: yang kalah) telah ditentukan lebih dulu sebelum pertandingan dimulai dan dihelat. Sepakbola yang kadangkala sang juaranya jauh-jauh hari telah ditentukan dan dipastikan dan hasil pertandingan tak jarang dapat diatur sedemikian rupa.

Mungkin, otoritas Komite Normalisasi (KN) PSSI memilih Solo sebagai shohibul bait KLB PSSI kali ketiga karena fakta historisnya di masa lalu. Di Solo, PON kali pertama digelar. Masih membekas, dulu di Solo digelar pertandingan internasional Indonesia melawan Uni Soviet di Stadion Sriwedari. Di Solo juga tempat lahirnya dua orang pengusung sepakbola Indonesia: Muladi dan Suratin. Di Solo sekarang diletakkan harapan masyarakat pecinta bola di Indonesia. Menciptakan sejarah baru tonggak revolusi PSSI.

Tentu kita masih ingat ketika reformasi PSSI mencapai puncaknya pada awal tahun 2011. Liga Primer Indonesia (LPI) yang digagas Arifin Panigoro (AP) menjadi antitesis dari Liga Super Indonesia (LSI) yang digagas kepemimpinan PSSI di bawah Nurdin Halid. Ketika sejumlah kota masih menimbang-nimbang sebagai shohibul bait pembukaan kompetisi LPI, Kota Solo langsung mengajukan diri. Pembukaan dan laga perdana LPI dihelat di Stadion Manahan Solo menandai gerakan reformasi sepakbola nasional mendekati titik puncaknya.

Kini, 9 Juli 2011 nanti, Kota Solo bakal mencatatkan kembali sejarah dunia sepakbola nasional. KLB PSSI harus melahirkan sosok ketua umum, wakil ketua umum, dan anggota Exco PSSI. Kepemimpinan baru PSSI dari KLB di Solo diharapkan bisa mengembalikan PSSI ke khittahnya: sebagai organisasi olahraga sepakbola yang bertujuan menorehkan prestasi di level internasional. PSSI bukan tangga lompatan untuk mencari popularitas, meraih gengsi, jabatan politis dan publik. Selamat berkongres. Semoga Sukses. Bravo Sepakbola Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar