Jakarta - Sudah sekitar setengah tahun sejak kali terakhir terjadi gairah massal yang begitu tinggi di kalangan masyarakat Indonesia pada tim nasionalnya. Hari ini momen itu datang lagi di awal sebuah rezim baru PSSI.
Tak pernah terjadi sebelumnya ketika kiprah timnas Indonesia begitu diekspos dan dinanti-nantikan pendukungnya, seperti yang terjadi di Piala AFF 2010. Semua orang terkena demam timnas dengan segala atributnya.
Pemandangan orang memakai jersey "Merah Putih" menjadi sangat mudah dijumpai. Banyak pesepakbola telah dijadikan selebritas oleh masyarakat dan media massa, seperti Cristian Gonzalez, Irfan Bachdim, Bambang Pamungkas, Firman Utina, sampai Markus Harison, yang juga beristrikan seorang artis.
Kala itu, tak henti-hentinya gerak-gerak timnas diikuti, mulai dari latihan, pertandingan, studio televisi, sampai hotel, termasuk semua kontroversi yang mengikutinya seperti eksploitasi PSSI pada mereka yang menggiring skuad ke acara doa bersama, sowan ke rumah seorang tokoh partai politik, dan tentu saja buruknya manajemen ticketing dari PSSI era Nurdin Halid.
Hingar bingar itu agak mereda setelah Indonesia kalah dari Malaysia di final. Bagusnya, suporter kita tidak mengamuk dan tetap memberi apresiasi tinggi pada tim dan staf pelatih. Pengecualian untuk Nurdin dan jajaran pengurusnya. Sepakbola berlanjut pada agenda "Revolusi PSSI", yang memakan waktu berbulan-bulan nan melelahkan (dan menyebalkan).
Pada akhirnya, perubahan itu terjadi. "Misi bersama" menyudahi Nurdin cs telah tercapai pada kongres di Solo pada 9 Juli lalu. Djohar Arifin Husin, yang didukung habis-habisan oleh kelompok Arifin Panigoro, naik ke tampuk dan menjadi orang nomor satu dalam struktur organisasi PSSI. Era telah berganti.
Masyarakat tetap terkaget-kaget ketika Djohar memutuskan tidak lagi memakai tenaga Alfred Riedl sebagai pelatih timnas. Bagi sebagian besar orang, laki-laki Austria itu dinilai tidak terlalu gagal karena tidak membawa Indonesia menjuarai Piala AFF. Ia tetap diterima karena bagaimanapun telah menanamkan sebuah fondasi yang baru untuk tim nasional. Singkat kata, timnas di bawah kendali Riedl menjanjikan.
Tapi PSSI tampak ingin betul-betul melenyapkan semua "peninggalan" Nurdin. Ketika menemukan ketidakjelasan kontrak Riedl -- konon, kontrak itu tidak resmi dengan organisasi, karena tertuang di atas kertas yang tidak ber-kop PSSI -- Djohar pun membukakan pintu keluar pada dia.
Apapun, era Riedl pun sudah berakhir. Kata orang, life goes on. Hidup harus jalan terus, biarpun tanpa Riedl -- dalam konteks kehidupan tim nasional. Pasukan "Garuda" kini ditangani orang Belanda bernama Wim Rijsbergen, yang sebelumnya melatih PSM Makassar yang di musim ini bermain di Liga Primer Indonesia.
Setelah melalui kontroversi suksesi pelatih dan minimnya persiapan teknis, Indonesia menuai hasil cukup positif di kandang Turkmenistan, di laga pertama babak kualifikasi Piala Dunia 2014 zona Asia putaran kedua. Bermain di lapangan yang "mengerikan", permainan Ahmad Bustomi dkk cukup baik, walaupun kebobolan lebih dulu. Namun kemudian mereka mampu membuat gol penyama. Sedikit yang disayangkan adalah ketidakmampuan memaksimalkan kesempatan ketika seorang pemain lawan dikartu merah di babak kedua.
Skor 1-1 dibawa pulang ke tanah air, diiringi dengan ekspektasi suporter yang langsung menggeliat. Sejak awal minggu ini gairah itu muncul lagi. Senayan harus digelorakan lagi Kamis (28/7) malam ini. Baju merah harus dikenakan lagi, dan lain-lain, dan lain-lain.
Harapan baru telah ditanam lagi, dan kadarnya selalu tinggi. Suporter sangat berharap perjalanan Indonesia di kualifikasi Piala Dunia tidak berusia pendek. Paling tidak, kita harus masuk babak grup utama di zona ini.
Harapan itu bahkan sudah berubah wujud menjadi keyakinan bahwa timnas akan bisa mengalahkan Turkmenistan di Jakarta. Tak hanya di kalangan suporter, optimisme itu pun sudah menjangkiti para pemain. Buktinya, staf pelatih sampai membuat "peringatan" supaya anak-anak tidak over confidence.
Apapun, kita sudah mendapatkan spirit itu, spirit untuk memulai lagi menuju sesuatu yang lebih baik. Faktanya, kecintaan orang Indonesia pada timnasnya teramat jauh di atas kesetiaan mereka untuk menunggu perubahan di tubuh PSSI.
Terkadang, yang ingin mereka lihat cuma satu: timnas berprestasi di lapangan, siapapun yang menjalankan organisasi itu. Pengurus yang tidak becus apalagi korup, itu adalah petaka. Pengurus yang profesional, bagus, dan cerdas, itu sudah semestinya. Timnas yang berprestasi, itu adalah mimpi panjang yang belum berkesudahan.
Semoga kita memang benar-benar sudah berada di halaman pertama sebuah bab baru dalam buku persepakbolaan Indonesia.
Tak pernah terjadi sebelumnya ketika kiprah timnas Indonesia begitu diekspos dan dinanti-nantikan pendukungnya, seperti yang terjadi di Piala AFF 2010. Semua orang terkena demam timnas dengan segala atributnya.
Pemandangan orang memakai jersey "Merah Putih" menjadi sangat mudah dijumpai. Banyak pesepakbola telah dijadikan selebritas oleh masyarakat dan media massa, seperti Cristian Gonzalez, Irfan Bachdim, Bambang Pamungkas, Firman Utina, sampai Markus Harison, yang juga beristrikan seorang artis.
Kala itu, tak henti-hentinya gerak-gerak timnas diikuti, mulai dari latihan, pertandingan, studio televisi, sampai hotel, termasuk semua kontroversi yang mengikutinya seperti eksploitasi PSSI pada mereka yang menggiring skuad ke acara doa bersama, sowan ke rumah seorang tokoh partai politik, dan tentu saja buruknya manajemen ticketing dari PSSI era Nurdin Halid.
Hingar bingar itu agak mereda setelah Indonesia kalah dari Malaysia di final. Bagusnya, suporter kita tidak mengamuk dan tetap memberi apresiasi tinggi pada tim dan staf pelatih. Pengecualian untuk Nurdin dan jajaran pengurusnya. Sepakbola berlanjut pada agenda "Revolusi PSSI", yang memakan waktu berbulan-bulan nan melelahkan (dan menyebalkan).
Pada akhirnya, perubahan itu terjadi. "Misi bersama" menyudahi Nurdin cs telah tercapai pada kongres di Solo pada 9 Juli lalu. Djohar Arifin Husin, yang didukung habis-habisan oleh kelompok Arifin Panigoro, naik ke tampuk dan menjadi orang nomor satu dalam struktur organisasi PSSI. Era telah berganti.
Masyarakat tetap terkaget-kaget ketika Djohar memutuskan tidak lagi memakai tenaga Alfred Riedl sebagai pelatih timnas. Bagi sebagian besar orang, laki-laki Austria itu dinilai tidak terlalu gagal karena tidak membawa Indonesia menjuarai Piala AFF. Ia tetap diterima karena bagaimanapun telah menanamkan sebuah fondasi yang baru untuk tim nasional. Singkat kata, timnas di bawah kendali Riedl menjanjikan.
Tapi PSSI tampak ingin betul-betul melenyapkan semua "peninggalan" Nurdin. Ketika menemukan ketidakjelasan kontrak Riedl -- konon, kontrak itu tidak resmi dengan organisasi, karena tertuang di atas kertas yang tidak ber-kop PSSI -- Djohar pun membukakan pintu keluar pada dia.
Apapun, era Riedl pun sudah berakhir. Kata orang, life goes on. Hidup harus jalan terus, biarpun tanpa Riedl -- dalam konteks kehidupan tim nasional. Pasukan "Garuda" kini ditangani orang Belanda bernama Wim Rijsbergen, yang sebelumnya melatih PSM Makassar yang di musim ini bermain di Liga Primer Indonesia.
Setelah melalui kontroversi suksesi pelatih dan minimnya persiapan teknis, Indonesia menuai hasil cukup positif di kandang Turkmenistan, di laga pertama babak kualifikasi Piala Dunia 2014 zona Asia putaran kedua. Bermain di lapangan yang "mengerikan", permainan Ahmad Bustomi dkk cukup baik, walaupun kebobolan lebih dulu. Namun kemudian mereka mampu membuat gol penyama. Sedikit yang disayangkan adalah ketidakmampuan memaksimalkan kesempatan ketika seorang pemain lawan dikartu merah di babak kedua.
Skor 1-1 dibawa pulang ke tanah air, diiringi dengan ekspektasi suporter yang langsung menggeliat. Sejak awal minggu ini gairah itu muncul lagi. Senayan harus digelorakan lagi Kamis (28/7) malam ini. Baju merah harus dikenakan lagi, dan lain-lain, dan lain-lain.
Harapan baru telah ditanam lagi, dan kadarnya selalu tinggi. Suporter sangat berharap perjalanan Indonesia di kualifikasi Piala Dunia tidak berusia pendek. Paling tidak, kita harus masuk babak grup utama di zona ini.
Harapan itu bahkan sudah berubah wujud menjadi keyakinan bahwa timnas akan bisa mengalahkan Turkmenistan di Jakarta. Tak hanya di kalangan suporter, optimisme itu pun sudah menjangkiti para pemain. Buktinya, staf pelatih sampai membuat "peringatan" supaya anak-anak tidak over confidence.
Apapun, kita sudah mendapatkan spirit itu, spirit untuk memulai lagi menuju sesuatu yang lebih baik. Faktanya, kecintaan orang Indonesia pada timnasnya teramat jauh di atas kesetiaan mereka untuk menunggu perubahan di tubuh PSSI.
Terkadang, yang ingin mereka lihat cuma satu: timnas berprestasi di lapangan, siapapun yang menjalankan organisasi itu. Pengurus yang tidak becus apalagi korup, itu adalah petaka. Pengurus yang profesional, bagus, dan cerdas, itu sudah semestinya. Timnas yang berprestasi, itu adalah mimpi panjang yang belum berkesudahan.
Semoga kita memang benar-benar sudah berada di halaman pertama sebuah bab baru dalam buku persepakbolaan Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar