I. Konsep Pergaulan
Gaul, campur,
kenal: kata “gaul” verba intransitifnya adalah bergaul bererti hidup berteman
dalam masyarakat; berkawan akrab. Saya sudah dua tahun bergaul dengan orang
itu. Perkataan campur iaitu, bercampur bererti berkumpulnya
orang-orang menjadi satu seperti: Tua muda, besar kecil, laki-laki wanita
bercampur menjadi satu dalam pesta itu. Kenal berarti mengerti dan pernah
mengetahui seseorang. Sudah berapa lama kamu mengenal dia?.
Sebenarnya dalam
Islam tidak ada istilah "pergaulan bebas", sebab secara fitrah manusia memiliki keharusan
untuk bergaul dalam interaksi sosial yang merupakan sunah sosial dan kehidupan
itu sendiri. Namun setelah masuknya budaya asing -ke dalam
pergaulan masyarakat muslim- yang dibentuk oleh kecenderungan material
semata-mata dan falsafah hidup yang lahir dari bumi dan hawa nafsu, maka Islam
menamakannya sebagai pergaulan bebas, bebas dari tuntunan wahyu, moral dan
fitrah.
Jika kita
berbicara masalah pergaulan pada era globalisasi saat ini memang sangat rumit.
Dalam erti yang lain, kita hidup dengan manusia yang mempunyai prinsip dan
pandangan hidup yang berbeza, bahkan masyarakat di kota-kota besar dapat
dikatakan memiliki kecenderungan hidup bebas. Terkadang dengan kondisi seperti
itu, kita menghadapi sebuah dilema bagaimana menempatkan diri dalam dunia
pergaulan agar kita sebagai muslim dapat diterima oleh lingkungan, tetapi
keyakinan atau syariat Islam pun tetap terjaga.
Sebetulnya, kaedah
yang paling tepat dalam pergaulan, khususnya dengan lawan jenis (berbeza
jantina) adalah pandai-pandai menempatkan diri dan menjaga hati (bergantung kepada
penilaian iman dalam situasi berkenaan). Usahakanlah untuk
mengerti situasi bila kita harus serius dan bila harus santai, "think
before you act" sangatlah penting.
Meskipun demikian,
menjaga etika pergaulan seperti menundukkan pandangan adalah sangat dianjurkan
(wajib hukumnya, dalam erti kata, tidak meihat dengan syahwat). Namun inti dari
ajaran ini adalah bagaimana kita menjaga kebersihan dan kesucian hati.
Istilahnya, untuk apa kita menundukkan pandangan atau menghindar dari pertemuan
dengan lawan jenis jika hati tidak kita tundukkan?
Allah Swt
berfirman:
يَعْلَمُ خَائِنَةَ الْأَعْيُنِ
وَمَا تُخْفِي الصُّدُورُ (غافر :19)
“Dia (Allah) Mengetahui (pandangan)
mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati”. QS. 40:19
Semua tergantung pada
niat kita. Contohnya, dalam suasana kerja atau organisasi di mana kita dituntut
untuk berinteraksi dengan orang banyak, baik laki-laki atau wanita, kita tentu
saja diperbolehkan mengadakan kontak dengan lawan jenis (berbeza jantina,
lelaki dengan perempuan). Pada prinsipnya, jika maksud kita untuk kebaikan
dan batasan-batasan syariat tetap dijaga, semuanya dibolehkan dalam Islam.
Islam tidaklah pernah bertujuan untuk mempersulitkan sesuatu, tapi justru
mempermudahkan hidup kita. Segala yang disyariatkan sudah barang tentu demi
kebaikan umat manusia.
Demikian halnya
dengan seruan ditetapkannya legalitas (undang-undang kenegaraan
misalnya) tidak menutup muka wanita serta penyertaan mereka dalam
kehidupan sosial bersama laki-laki (seperti dalam bidang pendidikan, pekerjaan
dan sebagainya yang sesuai denga tanggungjawab sosial sebagai wanita) dengan
menjaga batasan-batasan syariat adalah seruan kepada hidayah, dan hidayah Allah
Swt itu membawa kemudahan bagi manusia. Bukan seperti dua kelompok yang
kesulitan memahami seruan hidayah ini:
Pertama, kelompok yang mengharamkan terbukanya
wajah wanita dan segala bentuk penyertaan wanita dalam pelbagai
kondisi, walau ia sangat memerlukan dan
diperlukan serta telah menjaga batasan syariat. Barangkali mereka lupa terhadap
satu peringatan Nabi saw.:
“Bahwa mengharamkan yang halal sama
seperti menghalalkan yang haram”, HR. Athabarani, keduanya dianggap melampaui batas syariat.
Sedang Rasulullah
saw. ketika mensunahkan (membenarkan akan syariat) terbukanya wajah wanita
dan penyertaan mereka dalam kehidupan sosial (sesuai dengan
tanggungjawab sosial mereka), Baginda saw menginginkan kebaikan bagi
kaum muslimin, karena hal itu akan mempermudahkan pergaulan mereka dalam
kehidupan yang positif dan serius, serta membuka pintu aktiviti soleh untuk
wanita, mulai dari menuntut dan mengajarkan ilmu, membantu kerja suami yang
lemah, hingga andil dalam kegiatan sosial atau politik yang dapat mendukung
perkara positif, konsruktif sekaligus melawan kerosakan, penyimpangan dan
lain-lain.
Kedua, kelompok yang menentang syariat. Dalam
pergaulan mereka senantiasa senang berbuat urakan, bercampur bebas tanpa batas
dan aturan kesopanan, berpakaian mini dan setengah telanjang, ketat dan jarang.
Maka, pergaulan dan perjumpaan seperti ini sering membuat mereka menderita,
kerana di samping terkena murka Allah Swt, mereka terjerumus ke dalam berbagai
penyakit sosial seperti yang dideritai oleh masyarakat Barat.
Kedua kelompok
tersebut sama-sama bingung dalam menempatkan diri mereka di dalam dunia
material yang serba maju ini. Oleh karena itu, sebagai muslim yang merasa
dirinya beriman, harus memahami etika pergaulan, penyertaan dan perjumpaan
laki-laki dan wanita yang telah ditetapkan Islam dalam kehidupan sosial.
Etika sempurna;
etika yang dapat melindungi moral serta tidak merusak kehidupan yang baik. Etika yang dapat menumbuh kembangkan
kebaikan dan kebajikan, menjauhi kemunkaran dan menjinakkan potensi untuk
berbuat buruk, adalah etika luhur yang dapat memperkaya kesihatan psikologi
laki-laki dan wanita secara sempurna. Kerana di satu sisi tidak terjadi
perlecehan, pelanggaran dan rangsangan seksual terhadap lawan jenis, dan di
sisi lain bukanlah sebuah pelarian, tindakan berlebihan, perasaan malu yang
bukan pada tempatnya dan alergi terhadap lawan jenis.
Jika dalam etika
Islam ini ada perhatian yang lebih kepada muslimah -ketimbang muslim-, baik
dalam berpakaian, bicara atau gerak-gerik dan lain-lain, hal itu karena wanita
lebih banyak menanggung beban dalam merealisasikan kemaslahatan dan kepentingan
hidup dalam pergaulan serta bermasyarakat. Sebab jika banyak kemaslahatan dan
kepentingan, pertemuan pun menjadi banyak. Sebaliknya jika kepentingan itu
sedikit, pertemuan pun menjadi sedikit.
(Nukilan dan dari
buku Cinta di Ambang Perkahwinan karangan guru kami, Sheikhuna Sidi Abu
Muhammad Rohimuddin bin Nawawi Al-Banteni, Khalifah Tarikat Sheikhuna Sidi
Yusuf Al-Hasani (tarikat As-Syazuliyah Ad-Darqowiyah, merangkap salah seorang
tenaga pengajar di Ma'ahad Az-Zein di Bogor (ma'ahad Sheikh Nuruddin
Al-Banjari). Semoga Allah s.w.t. memanfaatkan kita dengan ilmu beliau dunia dan
akhirat-amin...)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar