Selasa, 07 Februari 2012

Tetap Bertahan Dalam Pernikahan yang ‘Sakit’

Kita tidak akan pernah tahu pernikahan yang dijalani dalam kurun waktu 10 tahun atau 15 tahun mendatang. Akankah pasangan kita mampu mempertahankan kesetiaannya selama perjalanan itu? Kesetiaan adalah harapan setiap insan yang mendamba keutuhan rumah tangganya akan langgeng hingga maut memisahkan. Namun semua kembali pada rahasia Tuhan. Tentu kita percaya pada takdir. Hidup, mati dan jodoh kita, hanya Tuhanlah yang Maha Tahu.
Tulisan ini terinspirasi dari curhat seorang sahabat. Fitri (bukan nama sebenarnya) telah menjalani pernikahannya selama hampir 15 tahun. Siapa menyangka dalam perjalanan rumah tangganya itu, ternyata Mario, suaminya menikah lagi tanpa sepengetahuan Fitri.
Awalnya Fitri mencurigai penampilan Mario yang akhir-akhir ini begitu berbeda. Mario selalu tampil rapi, harum dan berseri-seri. Beberapa kali Fitri menemukan kemeja baru Mario. Fitri bertanya, baju darimana? Mario mengatakan kemeja itu pemberian temannya. Namun Mario lupa bahwa feeling seorang istri begitu kuat. Fitri meminta agar Mario jujur kepadanya.
Mario akhirnya berterus terang bahwa ia telah menikah lagi dengan seorang single parent yang usianya tak beda jauh dengan Fitri. Mario mohon pengertian Fitri agar mau memaafkannya. Bagai tersengat aliran listrik, betapa hancurnya hati Fitri saat itu. Fitri menangis sejadi-jadinya. Ia bahkan menampar Mario hingga terpuaskan amarahnya. Mario hanya bisa terdiam dan membiarkan dirinya mendapat perlakuan itu.
Pasca pengakuan Mario, Fitri mulai bersikap ‘dingin’. Tak ada lagi kemesraan di antara mereka. Hanya kepura-puraan yang mereka tunjukan di hadapan 2 orang anak mereka, Anisa dan Dani. Mereka akhirnya tahu bahwa ayah mereka telah memiliki istri muda. Awalnya Anisa shock mendengar pengakuan ayahnya. Dani, yang masih duduk di bangku SMP tanpa ekspresi seolah tak mengerti apa yang terjadi dalam rumah tangga orangtuanya.
Fitri kemudian mencurahkan segenap kesedihannya kepada saya. Ia bingung harus berbuat apa. Ia tak ingin bercerai dengan Mario demi menjaga hati kedua buah hatinya yang sudah mulai mengerti. Selain itu, ibunda Fitri saat ini juga tengah mengalami masa pemulihan pasca serangan terkena stroke akibat hipertensi.
Sejak pengakuan Mario, cinta di hati Fitri musnah. Hanya kebencian yang menyelimuti hatinya. Jujur Fitri mengakui bahwa semua yang ia lakukan tak lebih hanya bersandiwara. Tak ada senyum dan kebahagiaan lagi di wajah Fitri. Hari-harinya penuh dengan gejolak. Betapa inginnya ia mengakhiri pernikahannya yang ‘sakit’ itu.
Mario bertanya kepada Fitri, apapun keputusan Fitri akan ia penuhi. Bila Fitri meminta cerai kepadanya, itupun akan ia kabulkan. Namun Fitri masih bertahan. Fitri tak meminta Mario untuk memilih. Mario makin merasa bersalah dengan sikap istrinya itu. Fitri yang tegar, berusaha untuk tidak menampilkan kebencian di hadapan buah hatinya. Mario meminta pengertian Fitri untuk membagi waktu. Lima hari di rumah Fitri dan dua hari di tempat istri mudanya.
Setiap kali bercerita kepada saya, Fitri selalu menangis. Ia sungguh tak kuat menjalani pernikahannya yang tak lagi sehat. Ia minta dukungan dan pendapat saya, apakah yang harus ia perbuat. Begitu banyak pertimbangan yang harus ia pikirkan, perkembangan psikologis anak-anaknya, kesehatan ibunya dan status sosial yang akan ia tanggung jika bercerai. Belum lagi kondisi Fitri yang hanya seorang ibu rumah tangga. Untuk hidup sehari-hari, ia hanya mengandalkan gaji pemberian Mario. Bagaimana mungkin ia bisa menghidupi 2 anaknya bila seorang diri.
Saya hanya bisa mendukung apapun keputusan Fitri. Karena ia yang menjalani semua. Keputusan Fitri untuk bertahan menjalani pernikahannya yang ‘sakit’ sungguh suatu hal yang luar biasa. Karena tidak semua perempuan sanggup melakukan itu. Hidup dengan kepura-puraan. Pernikahan yang minus cinta. Cinta Mario yang terbagi mengikis cinta di hati Fitri.
Saya katakan bahwa keputusan Fitri untuk bertahan sudah tepat. Mengingat Fitri tidak bekerja, ia harus memikirkan masa depan anak-anak mereka yang masih membutuhkan banyak biaya untuk sekolah. Bila Fitri memutuskan bercerai, apakah Mario masih akan tetap menafkahi mereka? Itu belum tentu terjadi. Yang pasti seiring bergulirnya waktu, Mario akan menikmati pernikahan dengan istri mudanya. Belum lagi bila hadir bayi mungil yang akan menghangatkan rumah mereka. Itu semua akan membuat Mario lupa dengan kehidupan Fitri dan anak-anak mereka.
Memang tak mudah menjalani hidup yang dilakoni Fitri. Mungkin tak hanya Fitri seorang yang mengalami hal ini. Ketika perasaan cinta menghilang bukan berarti pernikahan harus berakhir. Faktanya, meski cinta telah raib, banyak pasangan yang memilih untuk tetap bertahan walau harus dijalani secara terpaksa dan penuh kepurapuraan.
Ada beberapa alasan yang membuat seorang perempuan tetap bertahan menjalani pernikahan meski mahligai itu telah retak. Alasan tersebut antara lain adalah:
1. Pertimbangan soal anak.
Fitri tahu persis apa yang akan dialami anak-anaknya bila ia memutuskan berpisah dari Mario. Ia tak mungkin mengobati luka hati kedua buah hatinya dengan cara apapun. Faktor psikologis anak-anaknya lah yang menjadi alasan utama ia harus bertahan demi kedua buah hatinya. Sungguh seorang ibu yang tegar karena mampu berbuat demikian, tak lagi hanya memikirkan cinta semata. Baginya melihat buah hatinya bahagia adalah kebahagiaannya yang tak ternilai.
2. Faktor status sosial atau pencitraan.
Tentu kita paham sekali mengenai status sosial masyarakat kita yang begitu naïf menilai status sosial seorang janda. Terkadang sanksi sosial di masyarakat kita begitu kejam. Tak ada satu pun perempuan yang mau menyandang predikat ‘janda’. Belum lagi bila harus berada dalam lingkungan keluarga besar mereka. Demi menjaga nama baik orang tua, perempuan seperti Fitri nampaknya harus berupaya untuk menjalani pernikahan hanya sebatas status semata.
3. Demi menjaga hati orang tua.
Alasan menjaga perasaan orang tua juga memberatkan seseorang untuk mengakhiri pernikahannya. Apalagi kondisi orang tua yang memiliki riwayat sakit yang cukup berat. Bagaimana shock dan kagetnya orang tua mendengar pernikahan anaknya harus berakhir karena kehadiran orang ketiga.
4. Faktor ekonomi
Ini salah satu faktor yang juga sangat memberatkan. Mengingat kondisi yang tidak memiliki pekerjaan, membuat seorang perempuan harus rela dan pasrah menerima keadaan suaminya berpoligami. Sekali lagi, tak mudah memang menjalani dilema hidup seperti ini.
Ini adalah faktanya, bila memikirkan cinta semata, cinta itu telah hilang. Jangan lagi pikirkan cinta, namun pikirkanlah masa depan anak-anak. Karena tidak mudah menghidupi 2 orang anak seorang diri tanpa memiliki pekerjaan. Tidak mungkin harus menumpang hidup dan memberati orang tua. Bahkan seorang perempuan yang bekerja pun harus berpikir 2x bila harus menghidupi 2 orang anak sendirian. Peran single parents sungguh luar biasa beratnya. Semua pengeluaran sekecil apapun harus ia tanggung sendiri.
Faktor-faktor seperti tersebut yang memang menjadi pertimbangan seorang istri menggugat cerai suaminya. Ia harus realistis menjalani hidup. Toh bila ia bercerai dengan suaminya, bukannya masalah akan selesai begitu saja, justru persoalan baru akan bermunculan. Persoalan biaya sekolah anak dan persoalan biaya hidup sehari-hari. Belum lagi jika anak-anak sakit. Tak mungkin menuntut mantan suami untuk membiayai semua itu bukan?
Semoga perempuan-perempuan yang bernasib seperti Fitri bisa tetap tegar menjalani hidup mereka meskipun merasakan sakit yang luar biasa. Yakinlah bahwa Tuhan tidak pernah tidur. Ia Maha Mengetahui batas kemampuan hamba-hambaNYA yang tengah diuji kesabaran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar