Kita tidak akan pernah tahu pernikahan
yang dijalani dalam kurun waktu 10 tahun atau 15 tahun mendatang.
Akankah pasangan kita mampu mempertahankan kesetiaannya selama
perjalanan itu? Kesetiaan adalah harapan setiap insan yang mendamba
keutuhan rumah tangganya akan langgeng hingga maut memisahkan. Namun
semua kembali pada rahasia Tuhan. Tentu kita percaya pada takdir. Hidup,
mati dan jodoh kita, hanya Tuhanlah yang Maha Tahu.
Tulisan ini terinspirasi dari curhat
seorang sahabat. Fitri (bukan nama sebenarnya) telah menjalani
pernikahannya selama hampir 15 tahun. Siapa menyangka dalam perjalanan
rumah tangganya itu, ternyata Mario, suaminya menikah lagi tanpa
sepengetahuan Fitri.
Awalnya Fitri mencurigai penampilan
Mario yang akhir-akhir ini begitu berbeda. Mario selalu tampil rapi,
harum dan berseri-seri. Beberapa kali Fitri menemukan kemeja baru Mario.
Fitri bertanya, baju darimana? Mario mengatakan kemeja itu pemberian
temannya. Namun Mario lupa bahwa feeling seorang istri begitu kuat.
Fitri meminta agar Mario jujur kepadanya.
Mario akhirnya berterus terang bahwa ia
telah menikah lagi dengan seorang single parent yang usianya tak beda
jauh dengan Fitri. Mario mohon pengertian Fitri agar mau memaafkannya.
Bagai tersengat aliran listrik, betapa hancurnya hati Fitri saat itu.
Fitri menangis sejadi-jadinya. Ia bahkan menampar Mario hingga
terpuaskan amarahnya. Mario hanya bisa terdiam dan membiarkan dirinya
mendapat perlakuan itu.
Pasca pengakuan Mario, Fitri mulai
bersikap ‘dingin’. Tak ada lagi kemesraan di antara mereka. Hanya
kepura-puraan yang mereka tunjukan di hadapan 2 orang anak mereka, Anisa
dan Dani. Mereka akhirnya tahu bahwa ayah mereka telah memiliki istri
muda. Awalnya Anisa shock mendengar pengakuan ayahnya. Dani, yang masih
duduk di bangku SMP tanpa ekspresi seolah tak mengerti apa yang terjadi
dalam rumah tangga orangtuanya.
Fitri kemudian mencurahkan segenap
kesedihannya kepada saya. Ia bingung harus berbuat apa. Ia tak ingin
bercerai dengan Mario demi menjaga hati kedua buah hatinya yang sudah
mulai mengerti. Selain itu, ibunda Fitri saat ini juga tengah mengalami
masa pemulihan pasca serangan terkena stroke akibat hipertensi.
Sejak pengakuan Mario, cinta di hati
Fitri musnah. Hanya kebencian yang menyelimuti hatinya. Jujur Fitri
mengakui bahwa semua yang ia lakukan tak lebih hanya bersandiwara. Tak
ada senyum dan kebahagiaan lagi di wajah Fitri. Hari-harinya penuh
dengan gejolak. Betapa inginnya ia mengakhiri pernikahannya yang ‘sakit’
itu.
Mario bertanya kepada Fitri, apapun
keputusan Fitri akan ia penuhi. Bila Fitri meminta cerai kepadanya,
itupun akan ia kabulkan. Namun Fitri masih bertahan. Fitri tak meminta
Mario untuk memilih. Mario makin merasa bersalah dengan sikap istrinya
itu. Fitri yang tegar, berusaha untuk tidak menampilkan kebencian di
hadapan buah hatinya. Mario meminta pengertian Fitri untuk membagi
waktu. Lima hari di rumah Fitri dan dua hari di tempat istri mudanya.
Setiap kali bercerita kepada saya, Fitri
selalu menangis. Ia sungguh tak kuat menjalani pernikahannya yang tak
lagi sehat. Ia minta dukungan dan pendapat saya, apakah yang harus ia
perbuat. Begitu banyak pertimbangan yang harus ia pikirkan, perkembangan
psikologis anak-anaknya, kesehatan ibunya dan status sosial yang akan
ia tanggung jika bercerai. Belum lagi kondisi Fitri yang hanya seorang
ibu rumah tangga. Untuk hidup sehari-hari, ia hanya mengandalkan gaji
pemberian Mario. Bagaimana mungkin ia bisa menghidupi 2 anaknya bila
seorang diri.
Saya hanya bisa mendukung apapun
keputusan Fitri. Karena ia yang menjalani semua. Keputusan Fitri untuk
bertahan menjalani pernikahannya yang ‘sakit’ sungguh suatu hal yang
luar biasa. Karena tidak semua perempuan sanggup melakukan itu. Hidup
dengan kepura-puraan. Pernikahan yang minus cinta. Cinta Mario yang
terbagi mengikis cinta di hati Fitri.
Saya katakan bahwa keputusan Fitri untuk
bertahan sudah tepat. Mengingat Fitri tidak bekerja, ia harus
memikirkan masa depan anak-anak mereka yang masih membutuhkan banyak
biaya untuk sekolah. Bila Fitri memutuskan bercerai, apakah Mario masih
akan tetap menafkahi mereka? Itu belum tentu terjadi. Yang pasti seiring
bergulirnya waktu, Mario akan menikmati pernikahan dengan istri
mudanya. Belum lagi bila hadir bayi mungil yang akan menghangatkan rumah
mereka. Itu semua akan membuat Mario lupa dengan kehidupan Fitri dan
anak-anak mereka.
Memang tak mudah menjalani hidup yang
dilakoni Fitri. Mungkin tak hanya Fitri seorang yang mengalami hal ini.
Ketika perasaan cinta menghilang bukan berarti pernikahan harus
berakhir. Faktanya, meski cinta telah raib, banyak pasangan yang memilih
untuk tetap bertahan walau harus dijalani secara terpaksa dan penuh
kepurapuraan.
Ada beberapa alasan yang membuat seorang
perempuan tetap bertahan menjalani pernikahan meski mahligai itu telah
retak. Alasan tersebut antara lain adalah:
1. Pertimbangan soal anak.
Fitri tahu persis apa yang akan dialami anak-anaknya bila ia memutuskan berpisah dari Mario. Ia tak mungkin mengobati luka hati kedua buah hatinya dengan cara apapun. Faktor psikologis anak-anaknya lah yang menjadi alasan utama ia harus bertahan demi kedua buah hatinya. Sungguh seorang ibu yang tegar karena mampu berbuat demikian, tak lagi hanya memikirkan cinta semata. Baginya melihat buah hatinya bahagia adalah kebahagiaannya yang tak ternilai.
Fitri tahu persis apa yang akan dialami anak-anaknya bila ia memutuskan berpisah dari Mario. Ia tak mungkin mengobati luka hati kedua buah hatinya dengan cara apapun. Faktor psikologis anak-anaknya lah yang menjadi alasan utama ia harus bertahan demi kedua buah hatinya. Sungguh seorang ibu yang tegar karena mampu berbuat demikian, tak lagi hanya memikirkan cinta semata. Baginya melihat buah hatinya bahagia adalah kebahagiaannya yang tak ternilai.
2. Faktor status sosial atau pencitraan.
Tentu kita paham sekali mengenai status sosial masyarakat kita yang begitu naïf menilai status sosial seorang janda. Terkadang sanksi sosial di masyarakat kita begitu kejam. Tak ada satu pun perempuan yang mau menyandang predikat ‘janda’. Belum lagi bila harus berada dalam lingkungan keluarga besar mereka. Demi menjaga nama baik orang tua, perempuan seperti Fitri nampaknya harus berupaya untuk menjalani pernikahan hanya sebatas status semata.
Tentu kita paham sekali mengenai status sosial masyarakat kita yang begitu naïf menilai status sosial seorang janda. Terkadang sanksi sosial di masyarakat kita begitu kejam. Tak ada satu pun perempuan yang mau menyandang predikat ‘janda’. Belum lagi bila harus berada dalam lingkungan keluarga besar mereka. Demi menjaga nama baik orang tua, perempuan seperti Fitri nampaknya harus berupaya untuk menjalani pernikahan hanya sebatas status semata.
3. Demi menjaga hati orang tua.
Alasan menjaga perasaan orang tua juga memberatkan seseorang untuk mengakhiri pernikahannya. Apalagi kondisi orang tua yang memiliki riwayat sakit yang cukup berat. Bagaimana shock dan kagetnya orang tua mendengar pernikahan anaknya harus berakhir karena kehadiran orang ketiga.
Alasan menjaga perasaan orang tua juga memberatkan seseorang untuk mengakhiri pernikahannya. Apalagi kondisi orang tua yang memiliki riwayat sakit yang cukup berat. Bagaimana shock dan kagetnya orang tua mendengar pernikahan anaknya harus berakhir karena kehadiran orang ketiga.
4. Faktor ekonomi
Ini salah satu faktor yang juga sangat memberatkan. Mengingat kondisi yang tidak memiliki pekerjaan, membuat seorang perempuan harus rela dan pasrah menerima keadaan suaminya berpoligami. Sekali lagi, tak mudah memang menjalani dilema hidup seperti ini.
Ini salah satu faktor yang juga sangat memberatkan. Mengingat kondisi yang tidak memiliki pekerjaan, membuat seorang perempuan harus rela dan pasrah menerima keadaan suaminya berpoligami. Sekali lagi, tak mudah memang menjalani dilema hidup seperti ini.
Ini adalah faktanya, bila memikirkan
cinta semata, cinta itu telah hilang. Jangan lagi pikirkan cinta, namun
pikirkanlah masa depan anak-anak. Karena tidak mudah menghidupi 2 orang
anak seorang diri tanpa memiliki pekerjaan. Tidak mungkin harus
menumpang hidup dan memberati orang tua. Bahkan seorang perempuan yang
bekerja pun harus berpikir 2x bila harus menghidupi 2 orang anak
sendirian. Peran single parents sungguh luar biasa beratnya. Semua
pengeluaran sekecil apapun harus ia tanggung sendiri.
Faktor-faktor seperti tersebut yang
memang menjadi pertimbangan seorang istri menggugat cerai suaminya. Ia
harus realistis menjalani hidup. Toh bila ia bercerai dengan suaminya,
bukannya masalah akan selesai begitu saja, justru persoalan baru akan
bermunculan. Persoalan biaya sekolah anak dan persoalan biaya hidup
sehari-hari. Belum lagi jika anak-anak sakit. Tak mungkin menuntut
mantan suami untuk membiayai semua itu bukan?
Semoga perempuan-perempuan yang bernasib
seperti Fitri bisa tetap tegar menjalani hidup mereka meskipun
merasakan sakit yang luar biasa. Yakinlah bahwa Tuhan tidak pernah
tidur. Ia Maha Mengetahui batas kemampuan hamba-hambaNYA yang tengah
diuji kesabaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar