Rabu malam kemarin, Indonesia ditundukkan Bahrain dengan skor telak 10-0. Kekalahan ini menjadi kekalahan terbesar timnas Garuda sepanjang
sejarah. Namun, kepala harus tegak. Tidak ada yang harus menyesal
berlarut-larut. Semua negara, bahkan Jerman sekalipun, pernah mencicipi
tragedi terburuk dalam sejarah sepakbola mereka.
Tahun 1996, semua penduduk Jerman bersuka cita. Negara mereka menobatkan diri sebagai juara Euro. Tim Panser sukses menggulingkan Republik Ceska 2-1 dalam perhelatan Piala Eropa yang bertempat di Inggris. Lebih spesial lagi karena Jerman mampu membekap tuan rumah di semifinal. Ya, bukan rahasia lagi kalau Jerman dan Inggris adalah musuh bebuyutan sejak lama. Mendapat gelar juara di tanah musuh adalah kebanggaan yang tak bisa dikalahkan oleh apa pun.
Hanya selang dua tahun, Jerman masuk ke dalam periode tergelap. Regenerasi mereka macet total—seperti yang dialami Indonesia tahun-tahun belakangan— . Piala Dunia 1998 diakhiri dengan kekalahan memalukan dari tim anak bawang Kroasia 0-3. Belum juga Jerman berbenah, pasukan tua kembali diandalkan di Euro 2000. Lebih menyedihkan lagi, tim panser ada di posisi juru kunci grup setelah dihancurkan Portugal 0-3 dan yang paling telak adalah saat ditundukkan Inggris 0-1.
Rombak total seluruh pemain timnas! Itulah yang didengungkan di seantero Jerman. Bagaimana mungkin tim panser akan berprestasi jika skuadnya diisi oleh pemain berusia 29 hingga 32 tahun ke atas? Bagaimana mungkin anak-anak muda akan melanjutkan tradisi juara jika timnas hanya diisi pemain berpengalaman semata demi meraih kemenangan; tanpa memperhatikan peremajaan?
Perombakan besar-besaran terjadi. Michael Ballack, Sebastian Deisler, dan Miroslav Klose adalah beberapa pemain yang dicoba oleh pelatih anyar, Rudi Voeller. Sempat membaik, skuad muda Jerman akhirnya menerima kekalahan paling menyakitkan. Di kandang sendiri, dalam lanjutan kualifikasi Piala Dunia 2002, mereka dihempaskan Inggris 1-5! Untuk tim sekelas Jerman, hancur oleh musuh bebuyutan seperti itu, ibarat kekalahan besar yang diterima Indonesia kemarin.
Patah arangkah reformasi di timnas Jerman? Tidak. Mereka tetap mengandalkan pemain-pemain muda. Langsung berhasilkah mereka? Tidak! Piala Dunia 2002 mungkin dijadikan tolak ukur kebangkitan Jerman. Namun, sebenarnya kala itu tim panser dibantu oleh komputer yang membuat mereka menghadapi lawan-lawan ringan ke final. Bahkan, di Euro 2004, Jerman kembali hancur karena gagal lolos dari babak penyisihan setelah ditahan imbang 0-0 oleh Latvia, tim yang seumur-umur baru sekali berpartisipasi di putaran final Euro.
Kebangkitan Jerman baru benar-benar terasa 10 tahun setelah mereka meraih gelar juara; 6 tahun setelah mereka mengandalkan pemain-pemain muda untuk memperkuat timnas. Plus, hingga kini mereka belum lagi meraih gelar juara dengan anak-anak muda, meski selalu tampil mengesankan.
Ya, sejak Piala Dunia 2006, Jerman selalu mencatat prestasi bagus: juara ketiga Piala Dunia (2006 dan 2010) plus runner-up Euro (2008).
Kekalahan Indonesia kemarin, dengan mencoba pemain muda, memang menyakitkan. Namun, reformasi tidak boleh dihentikan. Tanpa mengurangi rasa hormat kepada para pemain timnas sebelumnya, sampai kapan kita mengandalkan Markus Horison (31 tahun), Bambang Pamungkas (hendak 32), Cristian Gonzales (35 tahun), dan Firman Utina (hendak 31)? Kalau target Indonesia berprestasi di kualifikasi Piala Dunia 2018, risiko memang harus ditempuh. Memainkan generasi muda adalah solusi; banyak membawa mereka bermain di kancah internasional adalah pilihan utama.
Jerman yang negara besar dunia, membutuhkan waktu enam tahun untuk perubahan. Maka, kekalahan ini, anggaplah titik tolak untuk terus memainkan pemain-pemain muda demi target masa depan yang lebih penting.
Kita tidak akan mendapatkan hasilnya dalam satu-dua tahun mendatang; kita mungkin saja terhempas dalam beberapa pertandingan pertama. Namun, inilah saatnya regenerasi, saatnya perubahan, dan saatnya semua orang berbaris memberi semangat kepada timnas Garuda, siapa pun pemain yang dipilih. Kalau bukan kita yang mencintai timnas negara sendiri, siapa lagi yang akan memberikan mental baja kepada para pemain?
Tahun 1996, semua penduduk Jerman bersuka cita. Negara mereka menobatkan diri sebagai juara Euro. Tim Panser sukses menggulingkan Republik Ceska 2-1 dalam perhelatan Piala Eropa yang bertempat di Inggris. Lebih spesial lagi karena Jerman mampu membekap tuan rumah di semifinal. Ya, bukan rahasia lagi kalau Jerman dan Inggris adalah musuh bebuyutan sejak lama. Mendapat gelar juara di tanah musuh adalah kebanggaan yang tak bisa dikalahkan oleh apa pun.
Hanya selang dua tahun, Jerman masuk ke dalam periode tergelap. Regenerasi mereka macet total—seperti yang dialami Indonesia tahun-tahun belakangan— . Piala Dunia 1998 diakhiri dengan kekalahan memalukan dari tim anak bawang Kroasia 0-3. Belum juga Jerman berbenah, pasukan tua kembali diandalkan di Euro 2000. Lebih menyedihkan lagi, tim panser ada di posisi juru kunci grup setelah dihancurkan Portugal 0-3 dan yang paling telak adalah saat ditundukkan Inggris 0-1.
Rombak total seluruh pemain timnas! Itulah yang didengungkan di seantero Jerman. Bagaimana mungkin tim panser akan berprestasi jika skuadnya diisi oleh pemain berusia 29 hingga 32 tahun ke atas? Bagaimana mungkin anak-anak muda akan melanjutkan tradisi juara jika timnas hanya diisi pemain berpengalaman semata demi meraih kemenangan; tanpa memperhatikan peremajaan?
Perombakan besar-besaran terjadi. Michael Ballack, Sebastian Deisler, dan Miroslav Klose adalah beberapa pemain yang dicoba oleh pelatih anyar, Rudi Voeller. Sempat membaik, skuad muda Jerman akhirnya menerima kekalahan paling menyakitkan. Di kandang sendiri, dalam lanjutan kualifikasi Piala Dunia 2002, mereka dihempaskan Inggris 1-5! Untuk tim sekelas Jerman, hancur oleh musuh bebuyutan seperti itu, ibarat kekalahan besar yang diterima Indonesia kemarin.
Patah arangkah reformasi di timnas Jerman? Tidak. Mereka tetap mengandalkan pemain-pemain muda. Langsung berhasilkah mereka? Tidak! Piala Dunia 2002 mungkin dijadikan tolak ukur kebangkitan Jerman. Namun, sebenarnya kala itu tim panser dibantu oleh komputer yang membuat mereka menghadapi lawan-lawan ringan ke final. Bahkan, di Euro 2004, Jerman kembali hancur karena gagal lolos dari babak penyisihan setelah ditahan imbang 0-0 oleh Latvia, tim yang seumur-umur baru sekali berpartisipasi di putaran final Euro.
Kebangkitan Jerman baru benar-benar terasa 10 tahun setelah mereka meraih gelar juara; 6 tahun setelah mereka mengandalkan pemain-pemain muda untuk memperkuat timnas. Plus, hingga kini mereka belum lagi meraih gelar juara dengan anak-anak muda, meski selalu tampil mengesankan.
Ya, sejak Piala Dunia 2006, Jerman selalu mencatat prestasi bagus: juara ketiga Piala Dunia (2006 dan 2010) plus runner-up Euro (2008).
Kekalahan Indonesia kemarin, dengan mencoba pemain muda, memang menyakitkan. Namun, reformasi tidak boleh dihentikan. Tanpa mengurangi rasa hormat kepada para pemain timnas sebelumnya, sampai kapan kita mengandalkan Markus Horison (31 tahun), Bambang Pamungkas (hendak 32), Cristian Gonzales (35 tahun), dan Firman Utina (hendak 31)? Kalau target Indonesia berprestasi di kualifikasi Piala Dunia 2018, risiko memang harus ditempuh. Memainkan generasi muda adalah solusi; banyak membawa mereka bermain di kancah internasional adalah pilihan utama.
Jerman yang negara besar dunia, membutuhkan waktu enam tahun untuk perubahan. Maka, kekalahan ini, anggaplah titik tolak untuk terus memainkan pemain-pemain muda demi target masa depan yang lebih penting.
Kita tidak akan mendapatkan hasilnya dalam satu-dua tahun mendatang; kita mungkin saja terhempas dalam beberapa pertandingan pertama. Namun, inilah saatnya regenerasi, saatnya perubahan, dan saatnya semua orang berbaris memberi semangat kepada timnas Garuda, siapa pun pemain yang dipilih. Kalau bukan kita yang mencintai timnas negara sendiri, siapa lagi yang akan memberikan mental baja kepada para pemain?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar