Sabtu, 19 Juni 2010

Anak : anugrah, hiasan, ujian, atau musuh?

Anak,, anugrah, hiasan, ujian, atau musuh? Menempati posisi manakah anak-anak dalam kehidupan orangtuanya. Apakah hanya menjadi anugrah sekaligus ujian, atau hanya sebatas ujian saja. Mendatangkan berkah atau malah mendatangkan kesedihan dan kebodohan. Mereka memiliki potensi dalam kehidupan oragtuanya, baik itu potensi yang membawa kebaikan, atau malah keburukan. Mereka dapat :

Berpotensi sebagai hiasan dunia

“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” [QS. Al-Kahfi : 46]

Berpotensi sebagai Ujian atau Musuh

”Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar.” [At-Taghaabun : 15]

”Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.” [Al-Anfaal : 8]

Berpotensi sebagai Penyejuk Hati

”Dan orang orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” [Al-Furqaan : 74]

Seorang anak bahkan bisa menjadikan orangtuanya bakhil dan bodoh.

”Anak itu berpotensi untuk mendatangkan kesedihan, ketakutan, kebodohan, dan kebakhilan.” [HR. At-Thabrani, Al-Kabir, XXIV/241/Shahihul Jami’ ; 1990]

Kebodohan

Orangtua, khususnya kader dakwah, ada beberapa yang terkadang menjadikan alasan mengurus/mengasuh anak sebagai alasan untuk tidak menghadiri majelis ilmu. Terutama ummahat. Biasanya setelah punya anak, sedikit demi sedikit menghilang dari ‘peradaban’, alias tidak produktif lagi.

Padahal ada banyak ummahat juga yang sama-sama memiliki anak, sama-sama memiliki suami, tapi tetap kontributif dan produktif, sama seperti saat mereka kuliah dulu [termasuk MR ku].

Disinilah anak dapat menjadikan orangtuanya bodoh. Karena menjadikan orangtuanya merekayasa alasan untuk tidak menuntut ilmu.

Kesedihan dan Ketakutan

Menjadi kesedihan. Ketakutan. Kesedihan ketika si anak terlibat narkoba, kesedihan si anak karena tidak naik kelas, dan lain-lain. Juga menjadi ketakutan. Ketakutan kehilangan si anak.

Kebakhilan

Menjadikan orangtuanya bakhil. Membiayai keperluan anak dijadikan sebagai alasan untuk mengurangi/tidak bershadaqah. Padahal Allah telah menjamin tiap-tiap rezeki makhluk-Nya. Alasan rezeki juga kadang menjadikan orangtua untuk membatasi jumlah anak. Dikarenakan takut tidak bisa memberikan makan pada anaknya. Lebih parahnya lagi kadang yg berbicara ini orang yang terbilang mampu sebenarnya.

Mengambil sedikit catatan dari “dugem” yang lalu. Pengalaman dari seseorang yang saya panggil Umi. Memiliki 8 anak. Suaminya bekerja di ‘markas’ daerah karimun. Saya panggil Abu. Abu dan Umi contoh kader-kader yang produktif dan kontributif terhadap kemajuan dakwah Karimun ditengah kesibukan dan kekurangan mereka. Kehidupan mereka sederhana. Lebih tidak, kurang juga ga terlalu. Anak nya yang pertama seumuran saya, baru lulus S1 Meterologi ITB, dua lagi masih kuliah, 2 lagi SMA, dan yang lain sekolah dasar. Subhanallah. Masih banyak contoh lain. Ini menjadi semacam perbandingan bagi saya, dan juga pelajaran untuk saya kalo-kalo ngeles dari amanah (hehhe..). Mereka bisa, kenapa yang lain, yang menjadikan alasan rezeki untuk membatasi anak itu, yang menjadikan alasan anak untuk tidak bershadaqah, justru tidak bisa. Padahal belum tentu mereka juga memiliki tanggung jawab dakwah yang lebih berat dari Umi dan Abu. Jadi ini bukan masalah punya anak banyak ataupun sedikit, tapi pada kemauan dan keyakinan orangtuanya. Allahu a’lam bish showab.[re-post by rabytah]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Tidak ada satu pun anak yang dilahirkan kecuali dilahirkan di atas fitrah. Orang tuanya-lah yang menjadikannya sebagai orang Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Seperti seekor hewan yang dilahirkan dalam keadaan selamat (sama persis dengan induknya), apakah Engkau merasakan adanya cacat padanya?“ (HR. Bukhari no. 1385 dan Muslim no. 6926)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar