Nusyuz berarti pembangkangan atau ketidaktundukan. Dalam relasi suami isteri, kebanyakan masyarakat memahami nusyuz sebagai ketidaktundukan isteri pada suami. Hal ini dipertegas dengan aturan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menjadikan nusyuz hanya dilekatkan kepada isteri yang melakukan pembangkangan terhadap suami. Dampak dari pengertian ini, apabila isteri nusyuz maka gugurlah kewajiban suami, baik lahir maupun batin (pasal 80 ayat (7) dan pasal 84 KHI). Padahal Al-Quran menyatakan bahwa nusyuz bisa dilakukan oleh suami maupun isteri. (QS an-Nisa, 4: 34 dan 128). Inilah yang oleh Ibu Musdah Mulia dinyatakan bahwa beberapa aturan dalam KHI, terutama tentang nusyuz dapat dikatakan bertentangan dengan ajaran Islam yang suci. Ketua Umum ICRP sejak tahun 2007 ini mengungkapkan persoalan krusial mengenai relasi suami isteri dalam perkawinan, prinsip perkawinan dan bagaimana mewujudkan keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah. Berikut hasil wawancara Tim Tantri di sela-sela aktivitas beliau yang—saat itu sedang melakukan bimbingan thesis mahasiswa dari Perancis.
Bagaimana konsep nusyuz dalam Islam?
Secara harfiyah nusyuz adalah membangkang atau tidak tunduk pada Tuhan. Dalam Islam, tidak ada ketundukan selain hanya pada Tuhan. Tapi sayangnya pemahaman di masyarakat sudah salah. Nusyuz selalu dipahami sebagai pembangkangan isteri terhadap suami. Lebih fatal lagi, istilah nusyuz sering dikaitkan dengan urusan seksual. Itu kan sudah keliru banget. Semestinya nusyuz yang berasal dari akar kata al-nasyaz secara lughawi adalah membangkang terhadap perintah Tuhan, jadi bukan terhadap suami. Di antara perintah Tuhan adalah keharusan untuk tidak menyakiti hati sesama manusia, apalagi menyakiti hati pasangan yang pada prinsipnya merupakan belahan jiwa kita. Karena itu menyakiti hati isteri atau suami, baik melalui ucapan maupun perbuatan, adalah nusyuz.
Pemahaman yang berkembang, nusyuz sering diartikan sebagai perempuan yang lari atau keluar dari rumah, tanpa izin suami. Atau dalam budaya Jawa dikenal dengan istilah isteri ‘purik’. Dengan kata lain isteri yang ‘purik’ disebut sebagai nusyuz. Bagaimana pendapat Ibu?
Banyak istilah di masyarakat harus dicermati ulang. Sebab, istilah tersebut seringkali merupakan ungkapan stereotipe dan mengandung bias gender. Istilah purik dalam budaya Jawa, misalnya. Apakah isteri yang purik itu dapat disebut nusyuz atau tidak, sangat tergantung pada motifnya, mengapa isteri itu lari. Kalau dia lari tanpa sebab sedangkan suaminya pun memperlakukan dia dengan penuh tanggung jawab, hak-haknya sebagai isteri telah dipenuhi dengan baik, maka dia boleh disebut nusyuz.Akan tetapi, jika dia lari karena dianiaya suami atau anggota keluarga lain di rumah, berarti dia mengalami KDRT. Dalam konteks ini, justru suami yang menelantarkannya itu yang disebut nusyuz. Karena itu, semua pelabelan negatif terhadap isteri atau suami yang selama ini sudah dianggap benar perlu dikritisi ulang sehingga terbangun ajaran Islam yang akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan, yakni ajaran yang ramah terhadap perempuan.
Mengenai nusyuz sendiri, al-Quran telah menjelaskannya, yaitu dalam QS. An-Nisa ayat 34 dan 128, komentar ibu?
Justru dalam surat an-Nisa ayat 128 itu disebutkan nusyuz suami. Pemahaman yang berkembang di masyarakat sudah mengalami distorsi dan menyalahi apa yang ada di ayat tersebut. Dalam pengertian Islam, nusyuz itu adalah ketidaktaatan pada perintah Tuhan. Tapi dalam masyarakat kita, nusyuz dipahami sebagai ketidaktaatan isteri pada suami. Dari pembangkangan terhadap Tuhan menjadi pembangkangan terhadap suami, itu kan beda sekali.
Kalau kita kembali pada an-Nisa 128, nusyuz dalam ayat itu justru dikenakan pada laki-laki. Bahwa laki-laki harus takut pada Tuhan. Demikian juga isteri harus takut pada Tuhan, bukan takut pada suami. Refleksi dari rasa takut kepada Tuhan itu adalah berbuat baik terhadap pasangan. Suami berbuat baik terhadap isterinya, sebaliknya isteri pun demikian. Keduanya, suami-isteri berusaha seoptimal mungkin untuk selalu mengedepankan sikap terbaik kepada pasangannya dengan keyakinan bahwa itulah perintah Allah kepada manusia dalam kehidupan perkawinan. Perintah Allah itu terumuskan dalam kalimat yang singkat tapi padat, yaitu mu’asyarah bil ma’ruf.
Persoalannya, penyelesaian nusyuz menimbulkan dampak yang merugikan perempuan.
Itulah distorsinya. Karena pemahaman masyarakat itu dibangun dengan paradigma yang subordinatif dan memarjinalkan perempuan, maka efeknya hanya diterapkan pada perempuan. Bahkan dalam UU Perkawinan kita, nusyuz hanya untuk perempuan. Silakan baca undang-undang perkawinan dalam KHI, bahwa nusyuz hanya melekat pada perempuan. Jadi tidak salah jika dikatakan bahwa pasal tentang nusyuz dalam KHI itu bertentangan dengan al-Quran.
Kembali ke al-Quran, ada proses penyelesaian yang berbeda dalam hal nusyuz. Kalau perempuan yang nusyuz; pertama, dinasehati, pisah ranjang, sampai kemudian boleh dipukul. Sedangkan kalau pihak suami yang nusyuz, maka cukup dengan berdamai saja. Bagaimana menurut Ibu?
Apa yang dimunculkan dalam al-Quran adalah hasil rekaman yang bersifat khabariyah dan bukan perintah. Itu merupakan rekaman sosiologis masyarakat Arab pada saat itu. Pertanyaannya adalah apakah ayat-ayat yang sifatnya khabariyah seperti ini harus diterapkan? Menurut saya tidak. Banyak ayat lain yang sifatnya khabariyah itu yang tidak perlu diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Jadi menurut saya, ayat tersebut adalah ayat khabariyah yang berarti bukan ayat perintah. Kedua, memang betul ada kalimat perintah dalam ayat 34 an-Nisa: wadhribûhunna dari kata dharaba. Persoalannya, mengapa kata itu diartikan “pukullah”, sementara dalam analisa semantik kata dharaba tidak selamanya bermakna memukul. Kata itu memiliki banyak arti, antara lain: “memberi contoh”, “mendidik”, bahkan juga dapat berarti “bersetubuh”. Pertanyaannya, mengapa dipilih makna memukul, bukan makna yang lain? Artinya, terjemahan ayat itu saja sudah mengandung bias kepentingan. Kepentingan siapa yang dibela di sana? Itu yang harus kita pahami.
Penerepannya bagaimana? Dalam konteks fikih, masyarakat masih berpegang pada konsep seperti itu?
Apa yang muncul dalam kitab-kitab fikih itu adalah upaya ijtihad secara optimal dari para ulama di masa lampau dalam rangka merespon persoalan sosial yang mereka hadapi. Tentu saja respon mereka dalam bentuk ijtihad itu sangat dipengaruhi oleh kondisi sosio-historis dan sosio-politis pada masanya. Sekaligus juga merekam tatanan budaya pada masa itu. Tentu saja kita sebagai generasi yang datang kemudian harus tetap respek pada hasil ijtihad ulama terdahulu dalam bentuk pemikiran fikih tersebut. Namun, respek tidak berarti kita harus menerima sepenuhnya, tanpa kritis sedikit pun. Buat saya, sejumlah pandangan fikih, khususnya soal nusyuz dan relasi suami-isteri tidak relevan lagi untuk diterapkan pada saat ini. Kita perlu ijtihad.
Satu hal yang ingin saya katakan ketika berbicara mengenai nusyuz, bahwa kita tidak bisa memahami nusyuz dengan baik tanpa memahami terlebih dahulu hakikat perkawinan dalam Islam. Kita harus memahami dengan baik hakikat perkawinan dalam Islam. Baru setelah itu, kita masuk pada persoalan assesoris, seperti nusyuz ini.
Harusnya seperti apa?
Mulai dari memahami hakikat perkawinan dalam Islam. Bahwa perkawinan harus dibangun di atas lima prinsip dasar: Pertama, prinsip mîtsâqan ghalîzhan (komitmen yang amat serius). Perkawinan adalah komitmen antara dua orang yang memiliki kesederajatan yang berjanji untuk membentuk keluarga sakinah dengan penuh ridha Allah. Kedua, prinsip mawaddah wa rahmah (cinta kasih yang tak mengenal batas). Ketiga, prinsip mu’âsyarah bil ma’rûf (berbuat santun dan terpuji, serta jauh dari segala bentuk kekerasan). Keempat, prinsip al-musâwah (kesederajatan); dan kelima, prinsip monogami. Dalam konteks seperti ini, siapa yang menyimpang dari prinsip-prinsip tersebut dapat dikategorikan sebagai nusyuz. Siapa yang melakukan penyimpangan terhadap prinsip-prinsip ijab kabul itu, maka itulah nusyuz. Penyimpangan terhadap komitmen bersama ini berarti penyimpangan terhadap perintah Tuhan.
Mengapa menjadi penyimpangan terhadap perintah Tuhan?
Sebab, prinsip-prinsip yang disebutkan tadi pada hakikatnya merupakan perintah Tuhan. Melanggar prinsip tersebut berarti penyimpangan terhadap perintah Tuhan.
Bagaimana menjadikan kon-sep nusyuz agar sesuai dengan maksud Islam dan tidak bias jender?
Ada tiga hal yang perlu dilakukan, pertama melakukan upaya-upaya re-konstruksi budaya. Mengubah budaya yang sudah melekat di masyarakat kita, ya seperti tadi bahwa nusyuz itu adalah ketidaktaatan kepada suami. Pemahaman seperti ini harus diubah. Mengubahnya harus melalui pendidikan, mulai dari pendidikan dalam keluarga, orang tua memberi contoh pada anak-anak; selanjutnya pendidikan formal di sekolah, mulai dari tingkat dasar sampai ke perguruan tinggi. Buku pelajaran agama berkaitan dengan isu ini harus direvisi sehingga anak-anak didik lebih memahami aspek humanisme Islam. Kedua, merevisi undang-undang perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam. Ketiga, adalah re-interpretasi ajaran agama, yaitu mere-interpretasi pengertian nusyuz dengan mengembalikan maknanya seperti yang dimaksudkan Islam. Tiga hal itu yang harus dilakukan secara bersama-sama untuk membangun makna nusyuz yang sesuai dengan ajaran Islam yang sungguh-sungguh menghargai manusia dan kemanusiaan.
Apakah nusyuz juga diterap-kan di negera muslim yang lain?
Dalam undang-undang keluarga di beberapa negara Islam tidak menyebutkan soal nusyuz. Namun di negara, seperti Maroko dan Tunisia nusyuz diberlakukan bagi suami dan isteri. Undang-undang perkawinan di negara Islam umumnya menyebutkan proteksi yang kuat terhadap hak isteri dan anak-anak.
Bagaimana penyelesaian nusyuz suami di negara seperti Maroko dan Tunisia tersebut?
Penyelesaiannya kalau nusyuz dilakukan suami maka sang isteri bisa melakukan khulu’ (gugat cerai). Tetapi di Indonesia, perempuan bisa menggugat cerai karena sebab-sebab tertentu, misalnya KDRT tapi sang suami tidak dikatakan nusyuz.
Terakhir, apa pesan Ibu untuk menciptakan keluarga sakinah mawadddah wa rahmah?
Buat saya begini, setiap muslim harus memahami ajaran Islam dengan baik. Setiap muslim harus memahami terlebih dahulu tujuan beragama itu apa? Bahwa agama datang untuk memanusiakan manusia. Artinya, dengan menaati ajaran agama, menjadikan manusia lebih jinak—dalam makna beradab—, tidak liar dan biadab. Yang tadinya mata kita liar, pikiran kita liar, syahwat kita liar, lalu dengan taat beragama kita menjadi lebih beradab. Indikasinya, mata, pikiran dan syahwat kita lebih terkendali. Itulah inti dari hadis Nabi yang berbunyi: al-Muslimu man salima almuslimîna min lisânihi wa yadihi. Artinya: Muslim sejati adalah seseorang yang dapat melindungi orang lain dari kejahatan ucapan dan perilakunya. Sungguh indah ajaran Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar