Nusyûz adalah pelanggaran istri terhadap perintah
dan larangan suami secara mutlak. Jika seorang istri tidak
melakukan kewajiban semisal shalat, atau melakukan
keharaman seperti tabarruj (berpenampilan yang menarik
perhatian lelaki lain), maka seorang suami wajib
memerintahkan istrinya untuk melaksanakan kewajiban dan
meninggalkan keharaman tersebut. Jika tidak mau, berarti
dia telah melakukan tindakan nusyûz. Dalam kondisi seperti
ini, seorang suami berhak untuk menjatuhkan sanksi kepada
istrinya. Dia juga tidak wajib memberikan nafkah kepada
istrinya. Jika istrinya telah kembali, atau tidak nusyûz
lagi, maka sang suami tidak berhak lagi untuk menjatuhkan
sanksi kepada istrinya, dan pada saat yang sama dia pun
wajib memberikan nafkah istrinya.
Ketika syariat telah menetapkan hak seorang suami secara
umum untuk memerintahkan istrinya melakukan sesuatu, atau
melarangnya, syariat juga telah men-takhshîsh beberapa hal
dari keumuman tersebut. Misalnya, syariat membolehkan
seorang wanita untuk melakukan transaksi bisnis, mengajar,
melakukan silaturahmi, pergi ke masjid, menghadiri
ceramah, seminar, ataupun kajian. Dengan adanya takhshîsh
ini, konteks nusyûz tersebut bisa lebih dideskripsikan
sebagai bentuk pelanggaran seorang istri terhadap perintah
dan larangan suami, yang berkaitan dengan kehidupan khusus
(al-hayâh al-khâshah), dan kehidupan suami-istri (al-hayâh
az-zawjiyyah).
Karena itu, di luar semua itu tidak dianggap nusyûz.
Artinya, hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan umum
(al-hayâh al-‘ammâh), seperti jual-beli di pasar,
atau belajar di masjid, dan hal-hal yang tidak ada
kaitannya dengan kehidupan suami istri tidak termasuk
dalam kategori nusyûz. Jika suami memerintahkan istrinya
menyiapkan makanan untuknya, menutup aurat di depan
laki-laki lain, memerintahkannya shalat, puasa, mengenakan
pakaian tertentu, atau tidak membuka salah satu jendela,
tidak menjawab orang yang mengetuk pintu, tidak duduk di
beranda rumah, mencuci pakaian suaminya, keluar rumah dan
lain-lain yang berkaitan dengan kehidupan khusus, atau
kehidupan suami-istri, maka syariat telah memerintahkan
seorang istri untuk menaati suaminya dalam perkara-perkara
tersebut. Jika dia melanggar dan tidak menaatinya, maka
dia layak disebut melakukan nusyûz, dan kepadanya berlaku
hukum nusyûz.
Dalam hal-hal yang tidak terkait dengan kehidupan khusus
(al-hayâh al-khâshah) dan kehidupan suami-istri (al-hayâh
az-zawjiyyah), maka suami hanya berkewajiban untuk
memerintahkan istrinya, atau melarangnya; jika istrinya
tidak mau menaatinya, maka tidak bisa dianggap nusyûz.
Jika seorang suami, misalnya, memerintahkan istrinya
menunaikan ibadah haji, membayar zakat, berjihad,
bergabung dengan salah satu partai (organisasi), atau
melarang istrinya mengunjungi kedua orangtuanya,
bersilaturahmi dengan kerabatnya, membuka kios untuk
berdagang, datang ke masjid untuk shalat berjamaah,
menghadiri seminar, tablig akbar, masîrah dan sebagainya,
yang berkaitan dengan kehidupan umum (al-hayâh
al-‘ammâh), dan tidak berkaitan dengan kehidupan
khusus atau kehidupan suami-istri, maka seorang istri
tidak wajib menaati suaminya dalam perkara-perkara
tersebut; sekalipun tetap wajib meminta izin kepada
suaminya. Hanya saja, adanya izin tersebut tidak mengikat.
Nah, ketika seorang istri tidak menaati suaminya dalam hal
seperti ini, maka dia pun tidak bisa dianggap nusyûz.
Sebab, nusyûz merupakan pelanggaran istri terhadap
perintah dan larangan suami, yang berkaitan dengan
kehidupan khusus dan kehidupan suami-istri. Dalam konteks
inilah, Pembuat syariat telah memberikan hak kepada
seorang suami untuk memerintahkan istrinya, atau
melarangnya, sementara seorang istri berkewajiban untuk
menaatinya. Selain itu, seorang suami juga diberi hak
untuk menjatuhkan sanksi terhadap istrinya. Adapun lebih
dari itu, suami tidak berhak memerintahkan istrinya,
ataupun melarangnya, termasuk menjatuhkan sanksi
terhadapnya, ketika seorang istri melanggar perintah atau
larangannya. Sebab, sanksi tersebut hanya berlaku dalam
konteks nusyûz, sementara praktik nusyûz terjadi saat
istri tidak menaati perintah atau larangan suami terhadap
sesuatu yang menjadi haknya atas seorang istri, yaitu
dalam perkara yang berkaitan dengan kehidupan khusus dan
kehidupan suami-istri.
Mengenakan jilbâb (sejenis jubah/abaya) sebagai bentuk
pakaian Muslimah di luar rumah merupakan bagian dari
kehidupan umum, bukan kehidupan khusus; seperti halnya
silaturahim, haji, zakat, atau bergabung dengan partai.
Semuanya itu hukumnya wajib bagi wanita. Dalam hal ini,
suami tidak berkewajiban untuk memaksa istrinya agar
melaksanakan kewajiban tersebut, sepanjang semuanya itu
merupakan kehidupan umum dan tidak berkaitan dengan
kehidupan suami-istri. Suami memang tidak berkewajiban
untuk memerintahkan istrinya, atau melarangnya untuk
melaksanakan atau meninggalkannya. Jika suaminya
memerintahkan atau melarangnya, sementara istrinya tetap
tidak mau untuk menaatinya, maka istrinya tidak boleh
dianggap nusyûz, dan suaminya pun tidak berhak untuk
menjatuhkan sanksi atas pelanggaran istrinya dalam kasus
seperti ini.
Akan tetapi, kalau berkaitan dengan kehidupan khusus,
misalnya seorang istri keluar (di ruang tamu) menemui tamu
dengan pakaian kerja, dengan rambut terurai, dengan kedua
lengan dan bahu terbuka, yang berarti telah melakukan
tabarruj, atau berpakaian yang dianggap kurang pantas oleh
masyarakat, maka suaminya wajib memerintahkan istrinya
atau melarangnya dari hal-hal tersebut. Sebab, semua itu
berkaitan dengan kehidupan khusus. Di dalam kehidupan
khusus seperti itu dia hanya diperbolehkan untuk berpakain
kerja atau membuka auratnya di hadapan mahram-nya. Selain
itu, dia tidak boleh melakukannya.
Karena itu, bisa saja terjadi, seorang istri keluar rumah
dengan menutup seluruh auratnya, tetapi tidak dalam bentuk
jilbâb, sekalipun suaminya telah memerintahkannya agar
berpakaian dalam bentuk jilbâb. Pelanggaran tersebut tidak
termasuk dalam kategori nusyûz. Bisa jadi pula seorang
istri tetap keluar rumah untuk menghadiri kajian di
masjid, atau seminar di kampus, sekalipun suaminya telah
melarangnya untuk melakukan kegiatan tersebut. Pelanggaran
tersebut juga tidak dianggap nusyûz. Meski demikian, jika
di rumah ada kewajiban lain, misalnya mengurus anak,
menyiapkan pakaian, makan dan minum suami, maka tidak
seharusnya kewajiban tersebut diabaikan, sehingga dia
melakukan taqshîr (kelalaian). Dalam konteks seperti ini
istri tersebut memang tidak dianggap nusyûz, namun tetap
dinyatakan melakukan taqshîr.
Adapun hal lain yang termasuk dalam kategori kehidupan
khusus adalah ketika seorang wanita kerja lembur dengan
lelaki lain dalam suatu tempat yang bercampur-baur; wanita
bepergian dengan suami atau mahram mereka bersama-sama
dengan laki-laki lain, baik mereka bersama istri-istrinya
atau tidak; wanita belajar dengan laki-laki lain dalam
suatu majelis di dalam rumah, sementara untuk masuk ke
rumah tersebut diperlukan izin; wanita belajar di sekolah
menengah atas, atau yang lain, dan mereka belajar
bersama-sama dengan laki-laki lain; wanita bekerja di
sekolah atau tempat seperti ini. Semuanya itu masuk dalam
kategori kehidupan khusus. Jika suaminya melarang kerja
lembur, pergi rekreasi yang bercampur-baur, meninggalkan
studi, meninggalkan tugas mengajar atau bekerja
—yang semuanya di tempat yang bercampur-baur—
maka ketika istrinya tidak menaati perintah dan larangan
suaminya, dia bisa dinyatakan nusyûz. Dalam hal ini,
suaminya berhak untuk menjatuhkan sanksi tertentu kepada
istrinya itu. Pada saat yang sama, suami juga tidak wajib
memberikan nafkah kepadanya.
Namun, menghadiri kajian di masjid, ceramah umum, seminar,
konferensi, atau Pemilu, semuanya itu merupakan bagian
dari kehidupan umum, dan bukan kehidupan khusus. Jika
suaminya melarang hadir, lalu istrinya tidak menaati
larangannya, maka dia tetap tidak bisa dianggap nusyûz.
Karena semuanya itu merupakan bagian dari kehidupan umum,
bukan kehidupan khusus, dan tidak berkaitan dengan
kehidupan khusus.
Sanksi Nusyûz
Sanksi nusyûz tersebut telah dijelaskan oleh Pembuat
syariat. Allah SWT berfirman:
Wanita-wanita yang kalian khawatirkan nusyûz-nya, maka
nasihatilah mereka, tinggalkanlah mereka di tempat
tidurnya, dan pukullah mereka (dengan pukulan yang tidak
membekas). Jika mereka menaati kalian maka janganlah
kalian mencari-cari alasan untuk menghukum mereka. (Qs.
an-Nisâ’ [4]: 34).
Jadi, bentuk sanksi tersebut adalah:
(1) menasihatinya dan memberikan peringatan kepadanya;
(2) meninggalkannya di tempat tidur;
(3) memukulnya dengan pukulan yang tidak membekas.
Semua sanksi tersebut ditetapkan sebagai solusi agar
seorang istri menaati suaminya. Jika suami ingin
menyelesaikannya, penyelesaiannya harus dengan
penyelesaian yang telah dinyatakan oleh syariat di atas.
Jika dia menyelesaikannya dengan penyelesaian yang lain,
misalnya karena faktor kesalahan nusyûz tadi, kemudian dia
menceraikan istrinya, maka penyelesaian seperti ini bukan
merupakan penyelesaian yang dinyatakan oleh syariat;
sekalipun hukumnya mubah.
Di samping itu, ada hal-hal yang seharusnya tetap menjadi
perhatian, bahwa kehidupan suami-istri harus memperhatikan
terbentuknya kehidupan keluarga yang harmonis, dengan
penuh kasih sayang dan cinta kasih. Rasulullah Saw
bersabda:
Sebaik-baik kalian adalah kalian yang paling baik terhadap
keluarganya, dan akulah orang yang terbaik di antara
kalian terhadap keluargaku. [HR. Muslim].
Karena itu, fungsi kepemimpinan (qawâmah) suami terhadap
istri adalah fungsi kontrol yang bersifat ri’âyah
(mengurus), bukan kontrol pemerintahan, kekuasaan atau
sultan. Dalam konteks seperti ini, kita wajib meneladani
Baginda Rasulullah Saw. Kita harus melihat, bagaimana
beliau memperlakukan para istrinya, dan itulah yang
seharusnya kita teladani. Kita hanya terikat dengan
syariat, bukan dengan akal atau tradisi kita.
Karena itu pula, bagi istri-istri yang melakukan
pelanggaran terhadap perintah atau larangan suami di luar
konteks nusyûz, jika pelanggaran tersebut termasuk dalam
kategori maksiat kepada Allah, semisal tidak mengenakan
pakaian dalam bentuk jilbâb di tempat umum, padahal
berpakaian seperti ini hukumnya wajib, maka dalam konteks
ini negaralah satu-satunya yang berhak menjatuhkan sanksi
kepadanya, bukan suaminya. Sebab, sanksi suami hanya
berhak dijatuhkan dalam konteks nusyûz, bukan untuk yang
lain.
Jadi, sanksi tersebut hanya berlaku dalam konteks nusyûz.
Di luar konteks nusyûz, sang suami secara mutlak tidak
mempunyai hak untuk menjatuhkan sanksi tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar