Ditinjau dari segi etimologi, ikhlas berarti memurnikan sesuatu dan membebaskannya dari selainnya. Sesuatu disebut ikhlas apabila terbebas dari kotoran, aib dan tidak bercampur dengan sesuatu apapun. Sehingga ikhlas berarti perbuatan yang terbebas dari kotoran atau campuran. Pengertian yang pertama sebagaimana firman Allah ta’ala:
{وَإِنَّ لَكُمْ فِي الأَنْعَامِ لَعِبْرَةً نُسْقِيكُمْ مِمَّا فِي بُطُونِهِ مِنْ بَيْنِ فَرْثٍ وَدَمٍ لَبَناً خَالِصاً سَائِغاً لِلشَّارِبِينَ}
“Dan sesungguhnya pada binatang ternak itu benar-benar terdapat pelajaran bagi kamu. Kami memberimu minum dari pada apa yang berada dalam perutnya (berupa) susu yang bersih antara kotoran dan darah, yang mudah ditelan bagi orang-orang yang meminumnya.” (QS. An-Nahl: 66).
Susu yang kholis (murni) adalah susu yang terbebas dari darah dan kotoran serta segala sesuatu yang dapat mengotori dan mengurangi kemurniannya. Semakna dengan pengertian ini adalah firman Allah ta’ala:
{قُلْ إِنَّ صَلاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ, لا شَرِيكَ لَهُ}
“Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. Al-An�am: 162)
Adapun secara terminologi, ikhlas berarti memurnikan dan membebaskan seluruh amalan peribadatan dari segala bentuk kotoran yang dapat merusak kemurniannya dan menodai keikhlasan kepada Allah ta’ala, sehingga amalan tersebut hanya ditujukan untuk mengharap pahala Allah ta’ala semata.
Kedudukan Ikhlas
Ikhlas adalah tonggak keberhasilan dan kesuksesan di dunia dan akhirat. Kedudukan ikhlas bagi suatu amalan layaknya fondasi sebuah bangunan, laksana ruh bagi jasad. Suatu bangunan tidak akan mampu berdiri kokoh dan berfungsi kecuali dengan memperkuat fondasi dan menghilangkan segala cacat yang menempel pada bangunan tersebut, maka demikian pulalah suatu amalan yang tidak disertai keikhlasan laksana bangunan yang goyah. Kelangsungan hidup suatu jasad sangat bergantung kepada ruh, demikian pula dengan kelangsungan hidup suatu amalan -yang dilakukan demi memperoleh balasan-Nya-, sangat bergantung pada keikhlasan dalam amalan tersebut. Hal ini telah dijelaskan oleh Allah ta’ala dalam kitab-Nya yang mulia:
{أَفَمَنْ أَسَّسَ بُنْيَانَهُ عَلَى تَقْوَى مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٍ خَيْرٌ أَمْ مَنْ أَسَّسَ بُنْيَانَهُ عَلَى شَفَا جُرُفٍ هَارٍ فَانْهَارَ بِهِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ, وَاللَّهُ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ}
“Maka Apakah orang-orang yang mendirikan mesjidnya di atas dasar takwa kepada Allah dan keridhaan-(Nya) itu yang baik, ataukah orang-orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh, lalu bangunannya itu jatuh bersama-sama dengan Dia ke dalam neraka Jahannam. dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang- orang yang zalim.” (QS. At-Taubah: 109)
Allah ta’ala telah menjadikan seluruh amalan orang-orang kafir sia-sia dan tidak bernilai sama sekali, karena amalan tersebut kosong dari unsur tauhid dan ikhlas kepada-Nya. Allah ta’ala berfirman:
{وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُوراً}
“Dan Kami hadapkan segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan.” (QS. Al-Furqaan: 23)
Ikhlas merupakan salah satu fondasi tegaknya agama Islam di samping fondasi lainnya, yaitu menjadikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai satu-satunya suri tauladan. Oleh karenanya, Fudhail ibn ‘Iyadh ketika menafsirkan maksud dari firman Allah أَحْسَنُ عَمَلاً yang terdapat dalam surat Al-Mulk ayat 2, beliau berkata, أخلصه وأصوبه, maksudnya adalah yang paling ikhlas dan yang paling benar. Kemudian para sahabatnya bertanya pada beliau, “Wahai Abu ‘Ali apakah yang dimaksud dengan paling ikhlas dan paling benar?”. Maka beliau berkata, “Sesungguhnya suatu amalan walaupun dikerjakan dengan ikhlas namun tidak benar maka tidak akan diterima oleh Allah. Begitu pula sebaliknya, apabila amalan tersebut dikerjakan dengan benar namun tidak ikhlas, maka tidak akan diterima pula. Maksud ikhlas adalah, hendaknya amalan itu ditujukan hanya kepada Allah semata dan yang dimaksud dengan benar adalah amalan itu sesuai dengan tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Pensyarah kitab Aqidah Thahawiyah berkata: “Ada dua jenis tauhid, yang dengan melaksanakan keduanya seseorang mampu selamat dari adzab Allah, yaitu mentauhidkan Allah subhanahu wa ta’ala dan memurnikan ittiba’ kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hendaknya dijadikan sebagai satu-satunya panutan dalam berhukum, ketaatan dan ketundukan, sebagaimana Allah harus diesakan dalam segala bentuk peribadatan, ketundukan, penghinaan diri, tawakkal dan inabah (taubat)”.
Tempat Bernaungnya Keikhlasan
Ikhlas bernaung di dalam hati, karena hati adalah bentengnya dan keikhlasan bersemayam di dalamnya. Jika kondisi hati baik, shalih, dan hanya ditempati keikhlasan maka amalan anggota badan menjadi baik pula. Demikian pula sebaliknya, apabila hati ini rusak karena dihinggapi oleh riya’, keinginan untuk mendapatkan sanjungan dan pujian manusia, serta ingin memperoleh keuntungan dari sisi mereka, maka seluruh amalan badaniahnya akan dikerahkan untuk memperoleh segala tujuan hina tersebut. Kondisi ini sangat jelas digambarkan dan diterangkan dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut:
“ألا وإن في الجسد مضغة إذا صلحت صلح الجسد كله, وإذا فسدت فسد الجسد كله, ألا وهي القلب”
“Ketahuilah, sesungguhnya di dalam jasad ada segumpal daging. Apabila dia baik, maka seluruh jasad akan menjadi baik pula, dan jika dia rusak, maka seluruh jasad akan rusak pula. Ketahuilah, segumpal daging itu adalah hati.” (HR. Bukhari 1/90, Muslim 8/290).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah menjelaskan bahwa amalan anggota badan akan mengikuti apa yang ada di dalam hati:
“إنما الأعمال بالنيات, وإنما لكل امرىء ما نوى, فمن كانت هجرته إلى الله ورسوله فهجرته إلى الله ورسوله, ومن كانت هجرته لدنيا يصيبها أو امرأة ينكحها فهجرته إلى ما هاجر إليه”.
“Sesungguhnya seluruh amalan itu bergantung pada niatnya dan setiap orang akan mendapatkan ganjaran sesuai dengan apa yang diniatkannya. Barang siapa yang berhijrah karena Allah dan rasul-Nya, maka hijrahnya menuju keridhaan Allah dan rasul-Nya. Barangsiapa yang berhijrah karena mencari dunia atau karena ingin menikahi seorang wanita, maka hijrahnya tersebut kepada apa yang dia tuju.” (HR. Bukhari 1/3 dan Muslim 10/14).
Ikhlas Dituntut dalam Seluruh Aktivitas
Ikhlas sangat dituntut dalam shalat, zakat, puasa, jihad, amar ma’ruf, nahi munkar, dan seluruh perkara yang disyari’atkan oleh Allah, oleh karena itu dalam menunaikan segala kewajiban syari’at, seseorang wajib untuk melaksanakan perintah Allah dengan disertai rasa takut terhadap siksa-Nya dan disertai rasa tamak untuk memperoleh pahala-Nya.
Ikhlas juga dituntut dalam segala aktivitas yang dikerjakan oleh manusia, baik dia seorang buruh, penasihat, orang yang diberi amanat, pegawai, guru atau seorang pelajar. Terkait dengan menuntut ilmu, rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan pahala yang akan diperoleh seorang penuntut ilmu yang ikhlas dan juga apa yang akan diperolehnya jika dia melakukan aktivitasnya tanpa disertai keikhlasan. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
من سلك طريقا يلتمس فيه علما سهل الله له به طريقا إلى الجنة” رواه مسلم عن أبي هريرة رضي الله عنه,
“Barang siapa yang menempuh suatu jalan dalam rangka menuntut ilmu syar’i, maka Allah memudahkan baginya untuk menempuh jalan ke surga.” (HR. Muslim 13/212 dari Abu Hurairah).
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:
إن أول الناس يقضى يوم القيامة عليه رجل استشهد فأتي به فعرّفه نعمه فعرفها, فقال: “ما عملت فيها؟” قال: “قاتلت فيك حتى استشهدت”, قال: “كذبت؛ ولكنك قاتلت ليقال: جريء, فقد قيل”, ثم أمر به فسحب على وجهه حتى ألقي في النار, ورجل تعلم العلم وعلمه وقرأ القرآن فأتي به فعرّفه نعمه فعرفها فقال: “ما علمت؟” قال تعلمت العلم وعلمته وقرأت القرآن فيك” قال: “كذبت؛ ولكنك تعلمت ليقال: عالم وقرأت ليقال: قارىء, فقد قيل, ثم أمر به فسحب وجهه حتى ألقي على النار” الحديث.
“Manusia yang pertama kali dihisab pada hari kiamat kelak adalah seorang yang mati syahid, dia didatangkan ke hadapan Allah dan disebutkan berbagai nikmat yang diberikan padanya dan dia pun mengakuinya. Lalu Allah berkata, “Engkau gunakan untuk apa nikmat tersebut?”, ia menjawab, “Aku gunakan untuk berperang di jalan-Mu hingga aku mati syahid”. Allah berkata, “Engkau dusta, sebenarnya engkau berperang agar disebut seorang pemberani, dan sungguh engkau telah mendapatkan julukan tersebut”. Kemudian diperintahkan agar dia diseret dengan wajah tersungkur lalu dilemparkan ke neraka. Kedua, adalah seorang yang menuntut ilmu syar’i, mengajarkannya dan membaca Al-Qur’an. Dia dibawa ke hadapan Allah, kemudian disebutkan segala nikmat yang diberikan padanya dan dia pun mengakuinya. Lalu Allah bertanya padanya, “Untuk apakah engkau gunakan segala nikmat tersebut?”. Dia pun menjawab, “Aku mempelajari ilmu syar’i, mengajarkannya dan membaca Al-Qur’an ikhlas demi Engkau semata”. Allah berkata, “Engkau dusta, engkau melakukannya hanya agar disebut seorang yang alim, dan engkau membaca Al-Qur�an agar disebut sebagai seorang qari’ dan sungguh engkau telah dijuluki demikian di dunia”. Kemudian diperintahkan agar dia diseret dengan wajah tersungkur lalu dilemparkan ke dalam neraka.” (HR. Muslim 10/9).
Diriwayatkan tatkala hadits ini disampaikan kepada Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu, beliau menangis hingga membuatnya pingsan. Ketika beliau telah siuman, beliau berkata, “Sungguh benar Allah dan rasul-Nya, karena Allah ta’ala berfirman:
{مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لا يُبْخَسُونَ}
“Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan.” (QS. Huud:15).
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata:
“لا تعلّموا العلم لثلاث؛ لتماروا به السفهاء, ولتجادلوا به الفقهاء, أو لتصرفوا وجهة الناس إليكم, وابتغوا بقولكم وفعلكم ما عند الله فإنه يبقى ويذهب ما سواه”
“Jangan sampai tujuan kalian dalam menuntut ilmu adalah untuk membanggakan diri di depan orang awam, atau untuk mendebat para ulama, atau agar manusia tertarik padamu. Carilah balasan yang ada di sisi Allah dengan perkataan dan perbuatan kalian, karena segala sesuatu selainnya tidaklah kekal.” (Sunan Ad Darimi, 1/288).
Dorongan untuk Berbuat Ikhlas dan Keutamaannya
Karena kedudukannya yang begitu besar dalam agama ini, maka syari’at mendorong dan memotivasi untuk senantiasa berbuat ikhlas serta menjelaskan keutamaannya di dalam banyak ayat dan hadits.
Di antaranya adalah firman Allah ta’ala:
إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصاً لَهُ الدِّينَ
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu Al-Kitab dengan membawa kebenaran maka sembahlah Allah dengan ikhlas menjalankan agama untuk mengharap keridhaan-Nya.” (QS. Az Zumar: 2)
Dan juga firman-Nya:
{وَمَا أُمِرُوا إِلاَّ لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ},
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus.” (QS. Al-Bayyinah: 5)
{إِلَّا الَّذِينَ تَابُوا وَأَصْلَحُوا وَاعْتَصَمُوا بِاللَّهِ وَأَخْلَصُوا دِينَهُمْ لِلَّه}
“Kecuali orang-orang yang taubat dan mengadakan perbaikan dan berpegang teguh pada (agama) Allah dan tulus ikhlas (mengerjakan) agama mereka karena Allah.” (QS. An-Nisaa’: 146)
{قُلْ إِنَّ صَلاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ, لا شَرِيكَ لَه}
“Katakanlah: sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya.” (QS. Al-An’aam: 162-163)
{فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحاً وَلا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدا}
“Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadat kepada Tuhannya.” (QS. Al-Kahfi: 110)
{قُلِ اللَّهَ أَعْبُدُ مُخْلِصاً لَهُ دِينِي} (الزمر:14).
“Katakanlah: “Hanya Allah saja yang aku sembah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agamaku.” (QS. Az-Zumar: 14)
Di antara hadits yang menjelaskan keutamaan ikhlas adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para sahabatnya dalam perang Tabuk: “Sesungguhnya di Madinah ada suatu kaum, tidaklah engkau melakukan perjalanan dan melewati suatu lembah melainkan mereka merasakan penderitaan yang kalian alami”, dalam suatu riwayat, “melainkan mereka mendapatkan pahala sebagaimana kalian.” (Muttafaqun ‘alaihi dan lafadz ini adalah lafadz Muslim).
Selain itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda kepada Sa’d ibn Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu:
“إنك لن تنفق نفقة تبتغي بها وجه الله إلاّ أجرت عليها حتى ما تجعل في في امرأتك”
“Sesungguhnya tidaklah engkau memberikan nafkah dengan tulus karena mengharap wajah Allah ta’ala melainkan Allah akan memberi pahala kepadamu, bahkan sesuap makanan yang engkau berikan kepada istrimu.” (HR. Bukhari 1/96, Muslim 8/395, Ahmad 3/474, Al Baihaqi dalam Sunanul Kubra 6/269, An Nasaa’i 5/383, Ibnu Hibban 17/488, Ath Thayalisi 1/201, Ath Thahawi dalam Musykilul Atsar 11/366 ).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
“إن الله لا ينظر إلى أجسامكم ولا إلى صوركم ولكن ينظر إلى قلوبكم”
“Sesungguhnya Allah tidak menilai hamba-Nya dengan tolok ukur jasad dan rupa kalian yang rupawan, namun Dia menilai para hamba-Nya dengan iman yang terdapat di hati-hati kalian.” (HR. Muslim 12/426, 427).
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
من قاتل لتكون كلمة الله هي العليا فهو في سبيل الله
“Barang siapa yang berjihad dengan tujuan untuk meninggikan kalimat Allah, maka itulah jihad fii sabilillah.” (HR. Bukhari 1/209, 9/383, 10/371, 22/470; Muslim 10/5-7).
Beliau mengucapkannya sebagai jawaban kepada seseorang yang bertanya, bagaimanakah karakteristik jihad fi sabilillah, apakah seseorang yang berperang untuk mendapatkan julukan sebagai pemberani, atau seseorang yang berperang karena tujuan tertentu dan riya’, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab dengan hadits di atas.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memberitahukan buah keikhlasan yang akan diperoleh seseorang di dunia selain ganjaran yang disediakan Allah ta’ala di akhirat baginya, ketika menceritakan kisah 3 orang yang berlindung di sebuah gua untuk bermalam, tiba-tiba jatuhlah sebuah batu besar yang menutup pintu gua, namun Allah menyelamatkan mereka dengan sebab keikhlasan yang terdapat dalam amalan mereka.
Riya’ dan Terapinya
Telah kita ketahui bersama, bahwa ikhlas berarti memurnikan sesuatu dari kotoran yang dapat mencemarinya. Apabila pemurnian tersebut tidak dilakukan, maka musnahlah keikhlasan. Seseorang yang melaksanakan suatu amalan dan didorong untuk mencari wajah Allah, maka amalannya adalah amalan yang ikhlas. Sebaliknya, apabila keikhlasan dalam amalnya lenyap atau tercemari kotoran seperti riya’ dan di dalam hatinya bercokol keinginan mencari sanjungan makhluk dan rakus terhadap harta yang mereka miliki, maka amalannya bukanlah amalan yang ikhlas. Oleh karena itu syari’at mencela riya’ dan membenci pelakunya. Allah ta’ala berfirman:
{فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ, الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلاتِهِمْ سَاهُونَ, الَّذِينَ هُمْ يُرَاؤُونَ, وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ}
“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat,(yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya, dan enggan (menolong dengan) barang berguna.” (QS. Al-Maa’uun: 4-7)
Allah juga memberitakan bahwa riya’ merupakan sifat orang munafik:
وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلاةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلا قَلِيلا
“�.. dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.” (QS. An-Nisaa’: 142)
Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أنا أغنى الشركاء عن الشرك من عمل عملا أشرك فيه معي غيري تركته وشركه
“Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Akulah Rabb yang tidak membutuhkan sekutu. Barangsiapa mengerjakan amalan, kemudian dia menyekutukan Aku dengan yang lain dalam amalan itu, maka Aku tinggalkan dia dan amalan syiriknya tersebut.” (HR. Muslim nomor 2985).
Barang siapa diuji dengan penyakit yang membahayakan ini, maka dia harus berusaha keras untuk mengobatinya dan diantara terapi penyakit ini adalah:
Pertama, zuhud terhadap sanjungan dan pujian dari manusia
Kedua, membiasakan diri untuk menyembunyikan amal
Ibnul Qayyim telah menjelaskan terapi yang pertama dalam kitabnya Al Fawaaid hal. 148, beliau berkata: “Ikhlas dan keinginan untuk mendapatkan sanjungan dan pujian manusia tidak akan bisa terkumpul dalam hati sebagaimana api dan air yang mustahil untuk bersatu. Apabila jiwamu membisikkan kepadamu untuk berlaku ikhlas, maka hendaknya yang pertama kali engkau lakukan adalah menyembelih ketamakan terhadap segala apa yang dimiliki manusia, kemudian hadapkanlah dirimu kepada sanjungan dan pujian, dan zuhudlah engkau dari keduanya. Apabila engkau telah melakukannya dengan benar, maka akan mudah bagimu untuk berlaku ikhlas. Jika engkau mengatakan, “Apakah yang dapat memudahkanku agar mampu menyembelih ketamakan terhadap kekayaan yang dimiliki manusia serta zuhud terhadap sanjungan dan pujian mereka?”. Maka aku jawab, “Menyembelih ketamakan akan mudah engkau lakukan jika engkau mengetahui secara yakin bahwa hanya di tangan-Nya-lah perbendaharaan langit dan bumi, tidak ada seorang pun yang menguasai dan mengaturnya selain Dia, serta tidak seorang pun selain-Nya yang mampu memberikan hal tersebut kepada para hamba-Nya.
Sedangkan zuhud terhadap sanjungan dan pujian manusia akan mudah dilakukan, jika engkau mengetahui bahwa tidak ada seorang pun yang pujiannya paling baik dan celaannya sangat ditakuti dan dijauhi melainkan Allah semata, sebagaimana yang dikatakan oleh seorang Arab Badui, “Sesungguhnya pujiankulah yang paling baik dan manusia takut akan celaanku “, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Sesungguhnya yang lebih layak untuk hal itu adalah Allah ‘Azza wa Jalla” (Tafsir al Qurthubi 11/381; ad Durrul Mantsur 7/553). Zuhudlah engkau dari seseorang yang celaan dan pujiannya tidaklah bermanfaat dan membahayakan dirimu, dan carilah pujian dari Dzat yang seluruh kebaikan akan terkumpul dalam pujian-Nya dan seluruh kejelekan akan terkumpul pada orang yang dicela-Nya.
Yang patut engkau perhatikan pula hendaknya engkau melakukan semua hal di atas dengan penuh kesabaran dan keyakinan, karena engkau tidak akan mampu menempuhnya tanpa diiringi kedua hal tersebut. Jika engkau tidak melakukannya, maka engkau laksana seorang yang hendak mengarungi lautan tanpa menaiki kapal. Allah ta’ala berfirman:
{فَاصْبِرْ إِنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ وَلا يَسْتَخِفَّنَّكَ الَّذِينَ لا يُوقِنُونَ}
“Dan bersabarlah kamu, Sesungguhnya janji Allah adalah benar dan sekali-kali janganlah orang-orang yang tidak meyakini (kebenaran ayat-ayat Allah) itu menggelisahkan kamu.” (QS. Ar-Ruum: 60)
Allah ‘azza wa jalla juga berfirman:
{وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآياتِنَا يُوقِنُونَ}
“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka bersabar. Dan mereka meyakini ayat-ayat Kami.” (QS. As-Sajdah: 24).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah mengisyaratkan untuk menyembunyikan ibadah agar bisa membentengi dari sifat riya’, sebagaimana hadits yang menceritakan 7 golongan yang akan dinaungi Allah di hari kiamat kelak, dalam hadits tersebut disebutkan tentang seseorang yang bersedekah dengan sembunyi-sembunyi hingga seorang pun tidak ada yang mengetahuinya dan juga seseorang yang mengingat Allah dalam keadaan yang sunyi kemudian mengucurlah air matanya (Muttafaqun ‘alaihi).
Ringkas kata, amal ibadah itu tercela jika ditujukan untuk memperoleh pujian manusia dan tamak terhadap harta mereka. Namun, jika seseorang melakukan amal ibadah dengan niat ikhlas kepada Allah, kemudian manusia memujinya dan dia merasa senang dengan hal tersebut, maka hal ini tidaklah mengapa dan tidak mengurangi pahalanya, karena ketika ditanya mengenai seseorang yang beramal dengan ikhlas dan karena cinta kepada Allah ta’ala kemudian manusia menyanjungnya, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Hal itu adalah kabar gembira yang disegerakan bagi seorang mukmin.” (HR. Muslim dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar