Diam adalah cerminan dari rasa aman. Diam pada waktu yang tepat adalah termasuk sifat para tokoh. Begitupun bicara pada tempatnya, merupakan karakter yang mulia; "papan empan", "likulli maqalin maqamun." Bersikap diam juga suatu kebijaksannaan dan keadilan, ilmu, dan pengetahuan, bahkan ada yang menyebutnya merupakan media pendidikan yang sangat bagus dan telah teruji. Namun sedikit saja di antara manusia yang sanggup bersikap diam, "Ashshumtu hikmatun wa qalilun faa'iluhu," untuk itu Rasulullah Saw menasehati sahabat Abu Dzar RA., beliau bersabda :
عليك بطول الصمت فإنه مطردة للشياطين وعون لك علي أمردينك (رواه أحمد)
"Hendaknya engkau lebih baik diam, sebab diam itu menyingkirkan syaitan dan penolong bagimu dalam urusan agamamu." (HR. Ahmad)
Berbicara yang baik atau diam, adalah sebagian dari tanda-tanda iman yang kuat kepada Allah SWT dan hari kiamat. Rasulullah Saw bersabda:
ومن كان يؤمن با لله واليوم الآخر فلبقل خيرا أو ليصمت (متفق عليه)
"Dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari kiamat hendaklah berkata yang baik atau diam." (Mutafaqqun 'alaihi)
Dalam hadits tersebut Rasulullah memprioritaskan dua hal dan dijadikannya pertanda iman kepada Allah SWT dan hari kiamat. Dua hal tersebut yakni: pertama, berkata yang baik atau yang benar, yaitu perkataan yang membawa keuntungan dan pahala. Dan Kedua, diam, yang berarti menahan diri untuk tidak berbicara yang jelek, keji, kotor, porno dan semisalnya, yang hanya membawa kepada dosa dan maksiat.
Kalau diam tidak berbicara lantaran kerusakan organ-organ tertentu sebagai sarana berbicara, disebutlah "al-kharsu," atau "al-bukmu", yakni bisu. Dan diam tidak mau berbicara atau terhenti dari bicaranya dikarenakan kurang cerdas atau kelelahan fisik, disebut "al-ayyu" atau "al-'ayyak", kedua terakhir itu tidak dikehendaki dalam hadits tersebut.
Ditinjau dari segai bahasa, hadits Rasulullah terdiri dari dua komponen kalimat, yaitu syartu dan masyrut, atau syartun dan jawabuhu. Yang keduanya berkaitan erat, dan mempunyai makna yang tidak dapat dipisahkan.
من كان يؤمن بالله واليوم الآخر
Artinya: "Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari Kiamat." Dengan iman yang sempurna, iman yang bisa menyelematkan, dari siksa Allah di hari Kiamat, dan membawa kepada ridhaNya, hendaknya dia selalu berkata yang baik (fal yaqul khairan), berkata yang benar, sebagai misalnya ialah mengucapkan kalimat-kalimat tayyibah, amar ma'ruf nahyi munkar, taushiyah, dan sebagainya. Dan kalau tidak mampu, lebih baik diam, karena orang yang benar-benar iman kepada Allah dengan haqqul yaqin, maka orang itu akan merasa sangat takut akan ancaman Allah sehingga ia akan selalu mengharapakan tsawabNya atau pahalaNya dengan bersungguh-sungguh menunaikan perintahNya dan meninggalkan laranganNya.
Yang lebih penting lagi ia mampu menahan semua anggota badannya dari perbuatan munkar dan menjaganya, serta sadar dan sanggup untuk menanggung akibat apa saja yang diperbuat oleh anggota badannya. Sesuai dengan firman Allah Swt:
إنّ السمع والبصر والفؤاد كل أولئك كان عنه مسئولا (الاسراء :36)
"Sesungguhnya pendengaran, pengelihatan dan hati semua itu akan diminta pertanggungjawabanNya." (QS. Al-Isra: 36)
Firman Allah Swt yang lain:
مايلفظ من قول إلاّ لديه رقيب عتيد (ق :18)
"Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya Malaikat pengawas yang selalu hadir." (QS. Qaf: 18)
Bersikap diam dapat menolong seseorang dalam menyelesaikan urusan agamanya. Ketika ingin memusatkan untuk sebuah pekerjaan yang membutuhkan kecermatan, ia selalu dalam sikap diam. Dan ketika ingin menjernihkan dan pikirannya, ia menghindar dari keramaian, lebih suka menyendiri di tempat sepi dan tenang. Oleh sebab itu, Islam mengajarkan, lebih baik bersikap diam jika tidak perlu berbicara. Rasulullah menasehati Abu Dzar Ra., "hendaklah engkau lebih baik diam." 'Aisyah RA pernah ditanya tentang keberadaan ibadah Muhammad Saw, sebelum diangkat menjadi Nabi dan Rasulullah, 'Aisyah menjawab: "Adalah Rasulullah SAW bertahanuts di Gua Hira." Apa maksud bertahanuts?" Para sahabat bertanya. "Yakni beberapa malam dan bisa dihitung dengan jari tangan. Yaitu beribadah dengan cara berdiam diri, 'uzlah, menyepi, 'itikaf, menjauhkan diri dari keramaian untuk merenung, bertafakkur, bertadabbur, tentang keesaan Allah Maha Kuasanya, Maha Agungnya, dan sifat-sifat Allah lainnya sehingga mendapatkan kejernihan hati dan petunjuknya dan mendekatkan diri kepadaNya."
Berbicara dan diam laksana dua sisi dari sekeping mata uang, yang tidak mungkin dipisahkan. Keduanya adalah nikmat Allah yang amat besar yang diberikan kepada manusia. Dengan bicara, manusia menjadi makhluk yang termulia di antara makhluk-makhluk Allah yang lainnya. Allah berfirman: "(Tuhan) Yang Maha Pemurah, yang telah mengajarkan al-Qur`an, dia menciptakan manusia, mengajarkannnya pandai berbicara." (QS. ar-Rahman: 1- 4)
Islam menjelaskan bagaimana seharusnya memanfaatkan kedua nikmat yang amat besar itu, agar manusia benar-benar bisa menggunakannnya untuk berbicara sehari-hari, yang benar "wa quuluu qaulan sadidan," sehingga menjadi jalan kebaikan. Dan kalau tidak mampu, maka lebih baik diam. Dan bagi yang mampu lantas dia diam, menolak untuk mengucapkan kebenaran, ia adalah "syetan" yang bisu. Untuk mencapai kebaikan Islam, seseorang tidak cukup dengan diamnya lisan, dan anggota tubuh yang lain dari hal-hal yang dilarang oleh Allah Swt. Namun ia harus juga diam dan meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat baginya. Dan juga bagi agamanya Islam. Rasulullah Saw bersabda:
من حسن إسلام المرء تركه مالايعنيه
"Diantara kebaikan Islam seseorang itu yaitu meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat baginya." (HR. Tirmidzi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar