KISRUH, bumi gonjang-ganjing sepak bola Indonesia 2011 adalah kurun terkelam dalam sejarah sepak bola Indonesia. Entah apa yang akan dikatakan cucu-cicit kita kelak?
CaTaTaN: Slamet Oerip Prihadi
Rakyat Indonesia – 100 juta jiwa lebih yang tergolong penggila bola – sejatinya tak ingin dipusingkan soal statuta PSSI dan/atau statuta FIFA. Toh rakyat negara-negara lain yang gila bola juga bersikap “emang gue pikirin” soal statuta? Ranking FIFA sepak bola negara masing-masing pun nggak penting bagi miliaran kaum akar rumput di planet bumi ini.
Yang mereka dambakan hanyalah peningkatan kualitas manajemen, kerja keras, kerja keras, kerja keras – meminjam adagium Menteri BUMN Dahlan Iskan, dan gerak naik prestasi per periode (per empat tahun, jika dikaitkan dengan masa bakti pengurus PSSI).
Rakyat juga ingin menjadi saksi sejarah, bagaimana proses pencapaian prestasi berjalan dengan fair, sportif, makin ilmiah, makin dewasa dan canggih. Makin terukur dan bergerak naik.
Itulah yang sangat mereka dambakan! Bukan kekisruhan, gonjang-ganjing, perpecahan, dan hampir pasti kemunduran. Kalau toh terjadi KLB (Kongres Luar Biasa) PSSI lagi, rakyat menuntut jaminan 100 persen bahwa reformasi yang terjadi adalah reformasi sejati? Reformasi yang telah lama diidamkan ratusan juta rakyat Indonesia.
Sementara ini tercatat 452 anggota PSSI yang menuntut tergelarnya KLB PSSI. Lebih dari 2/3 suara yang diperlukan untuk sah tergelarnya KLB.
Namun, yang kita cemaskan: siapakah yang bisa menjamin bahwa 452 anggota tersebut tetap utuh ketika KLB yang diinginkan tergelar 30 Maret 2012? Semoga kecemasan ini tidak benar adanya.
Pengurus PSSI yang sekarang pun hasil KLB PSSI. Mereka juga menamakan diri sebagai kekuatan reformis. Namun apa yang terjadi? Ketum Djohar Arifin Husin dan kabinetnya tidak mampu menciptakan “persatuan sepak bola seluruh Indonesia.”
Ancam mengancam, depak mendepak, kecam mengecam. Keasyikan rakyat terhadap sepak bola Indonesia terusik. Rakyat membuncahkan harapan, tapi juga disergap kegamangan.
Sekarang tiba saatnya RAKYAT MENGGUGAT. Benarkah KLB PSSI yang akan terjadi nanti 100 persen menyelesaikan semua permasalahan? Menciptakan persatuan sepak bola seluruh Indonesia?
Jawabannya bukan dengan kata-kata, tapi bukti nyata berupa stabilitas dan progresivitas minimum dalam kurun 4 tahun ke depan. Kalau itu bisa dilakukan, sejarah kelam pun berakhir.
EKSPANSI LUAR BIASA
Perkembangan sepak bola kini menjalar di ratusan kota Indonesia, mulai dari kota yang punya klub Divisi Tiga, Divisi Dua, Divisi Satu, Divisi Utama, sampai yang Super atau Premier. Ekspansi yang luar biasa bila dibandingkan dekade 1980-an (30 tahun silam) – yang waktu itu hanya memiliki 10 klub Divisi Utama Perserikatan
10 KLUB DIVISI UTAMA 1980-AN
1.Persebaya Surabaya
2.Persema Malang
3.PSIS Semarang
4.Persija Jakarta
5.Persib Bandung
6.PSP Padang (PS Bengkulu sempat mengorbit)
7.PSMS Medan
8.PSM Makassar.
9.Persipura Jayapura
10.Perseman Manokwari.
Catatan: Persiba Balikpapan mulai mengorbit di bawah asuhan pelatih almarhum Ronny Pattinasarany.
KLUB-KLUB GALATAMA (LIGA SEPAK BOLA UTAMA)
Jumlahnya fluktuatif sepanjang 1979-1980 sampai 1993-1994. Naik-turun. Di bawah ini catatan nama klub Galatama yang pernah ada.
1.NIAC Mitra
2.Arseto Solo
3.Indonesia Muda
4.Warna Agung
5.UMS 80
6.Mercu Buana
7.Makassar Utama
8.PKT Bontang
9.BPD Jateng
10.Arema Malang
11.Bandung Raya
12.Krama Yudha Tiga Berlian (Palembang)
13.Yanita Utama (titisan Krama Yudha Tiga Berlian = KTB).
14. Pelita Jaya (Jakarta)
15.Pardede Tex
16.Palu Putra
17.Lampung Putra
18.Perkesa 78 berubah jadi Perkesa Mataram
19.Bentoel FC
20.Medan Jaya
21.Gajah Mungkur.
22.Mitra Surabaya (titisan NIAC Mitra)
(Mohon maaf yang sebesar-besarnya bila ada yang terlupa).
Bandingkan dengan sekarang.
BOOMING! Di mana-mana ada klub sepak bola, bahkan di berbagai kelompok usia. Dulu hanya kota-kota besar, sekarang kota-kota kecil (bahkan kota kurang dikenal) pun punya klub, punya petinggi, punya suporter.
Sayang, ledakan yang luar biasa ini tak diiringi dengan peningkatan kualitas manajemen dan kepemimpinan pusat yang luar biasa pula.
Pergesekan mudah terjadi, penyalahgunaan mudah terjadi, perbuatan unfair merajalela, ribuan raja dan pangeran sepak bola kecil memenuhi panggung sepak bola Nusantara.
Raja-raja kecil dan pangeran-pangeran kecil yang memiliki hak suara di Kongres PSSI. Sejak tahun lalu saja suara klub dibatasi (ISL 18 suara, Divisi Utama 16 suara, Divisi Satu 14 suara, Divisi Dua 12 suara, Divisi Tiga 10 suara). Sebelumnya, semuanya punya suara. Pengcab yang tak bisa menggelar kompetisi pun punya hak suara. Suara klub-klub gurem bisa membabat habis suara klub Divisi Utama dan ISL!
Masa emas kucuran dana APBD berakhir. Gempa-gempa kecil (tremor) mulai menggoyang pada 2010, dan kini gempa 7 skala Richter meretakkan bumi sepak bola Indonesia.
“Lempengan bumi” sepak bola Indonesia bergesek keras: Lempengan Bumi Nirwan Dermawan Bakrie bergesekan keras dengan Lempengan Bumi Arifin Panigoro.
Begitu pemerintah melarang APBD buat klub professional, pergesekan kedua “lempeng bumi” itu pun semakin keras, dan semakin keras lagi di penghujung 2011!
Yang sangat kita prihatinkan adalah: dua Padrone (Big Boss) itu sangat sulit berkolaborasi. Padahal, ketergantungan klub sepak bola professional kepada kedua Padrone tersebut sangat tinggi. Rasanya, pergesekan sepak bola Indonesia sulit berakhir. Kedua Padrone tersebut punya uang yang diistilahkan nggak ada serinya (saking banyaknya).
Sementara itu, diduga, tak semua pemimpin klub dan Pengcab konsisten, loyal, dan idealis. Ada yang kakinya berdiri di dua lempengan besar bumi sepak bola Indonesia itu. Kanan oke, kiri oke. Semakin kisruh, semakin di atas angin pula posisi mereka. Dugaan inilah yang mencemaskan rakyat Indonesia.
Kadang kita bertanya-tanya: siapakah sebenarnya yang menjadi konseptor LPI dan kini menjadi Indonesian Premier League? Apakah dua orang konseptornya, tiga orang, atau justru hanya seorang? Kita tidak tahu.
* * * *
Kini tiba saatnya RAKYAT MENGGUGAT PEMERINTAH RI.
Kalau pengharaman dana APBD untuk klub professional menghasilkan kekisruhan sepak bola nasional seperti ini, pemerintah RI harus turun tangan dan bertanggung jawab! Perlu dicatat, tanggung jawab bukan berarti intervensi (yang rawan sanksi FIFA).
ENAM GUGATAN RAKYAT
1.Buka kembali kran dana APBD untuk klub-klub professional. Mungkin cukup tiga musim kompetisi lagi untuk memotong “ketergantungan” pada dana konsorsium AP dan dana yang diduga dari Grup Bakrie. Lebih baik dana mereka diperuntukkan membangun tim nasional yang hebat di semua kelompok usia.Diperuntukkan peningkatan lisensi pelatih, lisensi wasit, mendirikan Akademi Sepak Bola modern di kota-kota sepak bola utama Indonesia, menyekolahkan para instruktur dan pelatih di Akademi Barcelona, Liverpool, dan Ajax Amsterdam misalnya.
2.Klub-klub harus mempertanggungjawabkan tiap rupiah kucuran dana APBD per tiga bulan!
3.Penghematan dana total APBD Rp 500 miliar untuk klub-klub Divisi Utama dan Super di seluruh Indonesia tidak ada artinya apa-apa bila dibandingkan kesedihan rakyat Indonesia akibat gonjang-ganjing dan konflik elite sepak bola nasional yang berkepanjangan.
INILAH TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH yang patut dilaksanakan saat ini. Bukan intervensi. Jangan terlambat melakukan gerakan penyelamatan sebelum situasinya semakin parah.
4.Petinggi klub diwajibkan sekolah atau kursus agar mampu membuat laporan keuangan yang benar secara hukum, efisien, dan tepat. Tenaga-tenaga ahli dari BPKP dan atau BPK bisa dikerahkan untuk mengajari mereka.
5.PSSI harus mencontoh Jepang yang mengalami kemajuan luar biasa dalam pembinaan dan pencapaian prestasi sepak bolanya. J-League hanya punya 16 klub!
6.Kalau jumlah klub terpuncak makin sedikit, PSSI harus mengurangi kuota pemain asing per klub. Bila perlu hanya tiga, tapi yang nilai kontraknya Rp 2 miliar bahkan Rp 3 miliar per pemain. Yang benar-benar bintang, yang bisa menyedot penonton, yang bisa memikat sponsor! Dengan pembatasan kuota pemain asing, semakin besar pula pemain lokal mendapatkan jam terbang. Ini sangat penting untuk tim nasional masa depan.
TITIK.*
CaTaTaN: Slamet Oerip Prihadi
Rakyat Indonesia – 100 juta jiwa lebih yang tergolong penggila bola – sejatinya tak ingin dipusingkan soal statuta PSSI dan/atau statuta FIFA. Toh rakyat negara-negara lain yang gila bola juga bersikap “emang gue pikirin” soal statuta? Ranking FIFA sepak bola negara masing-masing pun nggak penting bagi miliaran kaum akar rumput di planet bumi ini.
Yang mereka dambakan hanyalah peningkatan kualitas manajemen, kerja keras, kerja keras, kerja keras – meminjam adagium Menteri BUMN Dahlan Iskan, dan gerak naik prestasi per periode (per empat tahun, jika dikaitkan dengan masa bakti pengurus PSSI).
Rakyat juga ingin menjadi saksi sejarah, bagaimana proses pencapaian prestasi berjalan dengan fair, sportif, makin ilmiah, makin dewasa dan canggih. Makin terukur dan bergerak naik.
Itulah yang sangat mereka dambakan! Bukan kekisruhan, gonjang-ganjing, perpecahan, dan hampir pasti kemunduran. Kalau toh terjadi KLB (Kongres Luar Biasa) PSSI lagi, rakyat menuntut jaminan 100 persen bahwa reformasi yang terjadi adalah reformasi sejati? Reformasi yang telah lama diidamkan ratusan juta rakyat Indonesia.
Sementara ini tercatat 452 anggota PSSI yang menuntut tergelarnya KLB PSSI. Lebih dari 2/3 suara yang diperlukan untuk sah tergelarnya KLB.
Namun, yang kita cemaskan: siapakah yang bisa menjamin bahwa 452 anggota tersebut tetap utuh ketika KLB yang diinginkan tergelar 30 Maret 2012? Semoga kecemasan ini tidak benar adanya.
Pengurus PSSI yang sekarang pun hasil KLB PSSI. Mereka juga menamakan diri sebagai kekuatan reformis. Namun apa yang terjadi? Ketum Djohar Arifin Husin dan kabinetnya tidak mampu menciptakan “persatuan sepak bola seluruh Indonesia.”
Ancam mengancam, depak mendepak, kecam mengecam. Keasyikan rakyat terhadap sepak bola Indonesia terusik. Rakyat membuncahkan harapan, tapi juga disergap kegamangan.
Sekarang tiba saatnya RAKYAT MENGGUGAT. Benarkah KLB PSSI yang akan terjadi nanti 100 persen menyelesaikan semua permasalahan? Menciptakan persatuan sepak bola seluruh Indonesia?
Jawabannya bukan dengan kata-kata, tapi bukti nyata berupa stabilitas dan progresivitas minimum dalam kurun 4 tahun ke depan. Kalau itu bisa dilakukan, sejarah kelam pun berakhir.
EKSPANSI LUAR BIASA
Perkembangan sepak bola kini menjalar di ratusan kota Indonesia, mulai dari kota yang punya klub Divisi Tiga, Divisi Dua, Divisi Satu, Divisi Utama, sampai yang Super atau Premier. Ekspansi yang luar biasa bila dibandingkan dekade 1980-an (30 tahun silam) – yang waktu itu hanya memiliki 10 klub Divisi Utama Perserikatan
10 KLUB DIVISI UTAMA 1980-AN
1.Persebaya Surabaya
2.Persema Malang
3.PSIS Semarang
4.Persija Jakarta
5.Persib Bandung
6.PSP Padang (PS Bengkulu sempat mengorbit)
7.PSMS Medan
8.PSM Makassar.
9.Persipura Jayapura
10.Perseman Manokwari.
Catatan: Persiba Balikpapan mulai mengorbit di bawah asuhan pelatih almarhum Ronny Pattinasarany.
KLUB-KLUB GALATAMA (LIGA SEPAK BOLA UTAMA)
Jumlahnya fluktuatif sepanjang 1979-1980 sampai 1993-1994. Naik-turun. Di bawah ini catatan nama klub Galatama yang pernah ada.
1.NIAC Mitra
2.Arseto Solo
3.Indonesia Muda
4.Warna Agung
5.UMS 80
6.Mercu Buana
7.Makassar Utama
8.PKT Bontang
9.BPD Jateng
10.Arema Malang
11.Bandung Raya
12.Krama Yudha Tiga Berlian (Palembang)
13.Yanita Utama (titisan Krama Yudha Tiga Berlian = KTB).
14. Pelita Jaya (Jakarta)
15.Pardede Tex
16.Palu Putra
17.Lampung Putra
18.Perkesa 78 berubah jadi Perkesa Mataram
19.Bentoel FC
20.Medan Jaya
21.Gajah Mungkur.
22.Mitra Surabaya (titisan NIAC Mitra)
(Mohon maaf yang sebesar-besarnya bila ada yang terlupa).
Bandingkan dengan sekarang.
BOOMING! Di mana-mana ada klub sepak bola, bahkan di berbagai kelompok usia. Dulu hanya kota-kota besar, sekarang kota-kota kecil (bahkan kota kurang dikenal) pun punya klub, punya petinggi, punya suporter.
Sayang, ledakan yang luar biasa ini tak diiringi dengan peningkatan kualitas manajemen dan kepemimpinan pusat yang luar biasa pula.
Pergesekan mudah terjadi, penyalahgunaan mudah terjadi, perbuatan unfair merajalela, ribuan raja dan pangeran sepak bola kecil memenuhi panggung sepak bola Nusantara.
Raja-raja kecil dan pangeran-pangeran kecil yang memiliki hak suara di Kongres PSSI. Sejak tahun lalu saja suara klub dibatasi (ISL 18 suara, Divisi Utama 16 suara, Divisi Satu 14 suara, Divisi Dua 12 suara, Divisi Tiga 10 suara). Sebelumnya, semuanya punya suara. Pengcab yang tak bisa menggelar kompetisi pun punya hak suara. Suara klub-klub gurem bisa membabat habis suara klub Divisi Utama dan ISL!
Masa emas kucuran dana APBD berakhir. Gempa-gempa kecil (tremor) mulai menggoyang pada 2010, dan kini gempa 7 skala Richter meretakkan bumi sepak bola Indonesia.
“Lempengan bumi” sepak bola Indonesia bergesek keras: Lempengan Bumi Nirwan Dermawan Bakrie bergesekan keras dengan Lempengan Bumi Arifin Panigoro.
Begitu pemerintah melarang APBD buat klub professional, pergesekan kedua “lempeng bumi” itu pun semakin keras, dan semakin keras lagi di penghujung 2011!
Yang sangat kita prihatinkan adalah: dua Padrone (Big Boss) itu sangat sulit berkolaborasi. Padahal, ketergantungan klub sepak bola professional kepada kedua Padrone tersebut sangat tinggi. Rasanya, pergesekan sepak bola Indonesia sulit berakhir. Kedua Padrone tersebut punya uang yang diistilahkan nggak ada serinya (saking banyaknya).
Sementara itu, diduga, tak semua pemimpin klub dan Pengcab konsisten, loyal, dan idealis. Ada yang kakinya berdiri di dua lempengan besar bumi sepak bola Indonesia itu. Kanan oke, kiri oke. Semakin kisruh, semakin di atas angin pula posisi mereka. Dugaan inilah yang mencemaskan rakyat Indonesia.
Kadang kita bertanya-tanya: siapakah sebenarnya yang menjadi konseptor LPI dan kini menjadi Indonesian Premier League? Apakah dua orang konseptornya, tiga orang, atau justru hanya seorang? Kita tidak tahu.
* * * *
Kini tiba saatnya RAKYAT MENGGUGAT PEMERINTAH RI.
Kalau pengharaman dana APBD untuk klub professional menghasilkan kekisruhan sepak bola nasional seperti ini, pemerintah RI harus turun tangan dan bertanggung jawab! Perlu dicatat, tanggung jawab bukan berarti intervensi (yang rawan sanksi FIFA).
ENAM GUGATAN RAKYAT
1.Buka kembali kran dana APBD untuk klub-klub professional. Mungkin cukup tiga musim kompetisi lagi untuk memotong “ketergantungan” pada dana konsorsium AP dan dana yang diduga dari Grup Bakrie. Lebih baik dana mereka diperuntukkan membangun tim nasional yang hebat di semua kelompok usia.Diperuntukkan peningkatan lisensi pelatih, lisensi wasit, mendirikan Akademi Sepak Bola modern di kota-kota sepak bola utama Indonesia, menyekolahkan para instruktur dan pelatih di Akademi Barcelona, Liverpool, dan Ajax Amsterdam misalnya.
2.Klub-klub harus mempertanggungjawabkan tiap rupiah kucuran dana APBD per tiga bulan!
3.Penghematan dana total APBD Rp 500 miliar untuk klub-klub Divisi Utama dan Super di seluruh Indonesia tidak ada artinya apa-apa bila dibandingkan kesedihan rakyat Indonesia akibat gonjang-ganjing dan konflik elite sepak bola nasional yang berkepanjangan.
INILAH TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH yang patut dilaksanakan saat ini. Bukan intervensi. Jangan terlambat melakukan gerakan penyelamatan sebelum situasinya semakin parah.
4.Petinggi klub diwajibkan sekolah atau kursus agar mampu membuat laporan keuangan yang benar secara hukum, efisien, dan tepat. Tenaga-tenaga ahli dari BPKP dan atau BPK bisa dikerahkan untuk mengajari mereka.
5.PSSI harus mencontoh Jepang yang mengalami kemajuan luar biasa dalam pembinaan dan pencapaian prestasi sepak bolanya. J-League hanya punya 16 klub!
6.Kalau jumlah klub terpuncak makin sedikit, PSSI harus mengurangi kuota pemain asing per klub. Bila perlu hanya tiga, tapi yang nilai kontraknya Rp 2 miliar bahkan Rp 3 miliar per pemain. Yang benar-benar bintang, yang bisa menyedot penonton, yang bisa memikat sponsor! Dengan pembatasan kuota pemain asing, semakin besar pula pemain lokal mendapatkan jam terbang. Ini sangat penting untuk tim nasional masa depan.
TITIK.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar