Ketika kita melihat saudara kita melakukan pelanggaran/kesalahan/dosa terkadang rasanya hati menggebu2 (tidak sabar) ingin segera menasehati saudara kita tersebut, apalagi kalau kita dalam posisi “mempunyai wewenang” sebagai kiyai / pengurus, atau Mblg misalnya, atau jika dalam keluarga; sebagai orang tua (yg melihat anaknya melanggar) atau sebagai suami yang melihat isterinya “tdk taat”, dsb, dengan kata lain kita punya kemampuan untuk bertindak apa saja (termasuk nasehat dengan keras / kasar) terhadap “saudara” kita tsb.
Menasehati orang yang melanggar adalah kewajiban yang diperintahkan oleh Allah dan Rasulullah s.a.w sebagai salah satu bentuk “amar ma’ruf nahi anil mungkar” dalam hal ini Rasulullah s.a.w bersabda; Barang siapa yang melihat kemungkaran maka rubahlah dengan tangannya, jika dia tdk mampu maka dg lisannya, dan jika dia tdk mampu maka dengan hatinya, yg demikian itu adalah lebih lemahnya keimanan. HR. Muslim, Abu Dawud dan Ibnu Majah
Akan tetapi sadarkah kita bahwa; saat kita melihat saudara kita yg sedang melanggar tersebut sebenarnya sedang terjadi proses “tiga ujian” dari Allah, yang satu ujian bagi saudara kita yang melanggar tsb, sedangkan yg dua ujian bagi kita yg menyaksikan, loh kok…. ?
Ya itulah hakikatnya ….,
Ujian bagi sudara kita adalah bahwa dia sedang dikodar salah maka dia harus bisa menerima dengan ridha dan segera bertaubat jika ada orang yang menasehatinya dan bersyukur kepada si penasehat, kalau ini dia lakukan maka berbahagialah dia karena dosanya diampuni dan berhak mendapat cinta dari Allah; sesungguhnya Allah cinta kepada orang yg suka bertaubat dan cinta kepada orang yg suka bersuci. QS al-Baqarah : 222
Sebaliknya jika dia tdk mau menerima nasehat tsb maka dia kan menjadi org yg celaka dan rugi sepanjang hidupnya: Akan sadar (sebab peringatan / nasehat) orang yg bertaqwa kepada Allah, dan akan menjauh dari nasehat orang yang celaka, yaitu orang yang akan masuk dalam neraka yang besar / dasyat siksaannya, kemudian di neraka dia tidak akan hidup dan tidak akan mati QS. Al-A’la : 10-13
Adapun ujian bagi kita yg “menyaksikan” pelanggaran adalah;
-Pertama; Mau atau beranikah kita menasehati kepada saudara kita yang melanggar tersebut, mungkin kalau saudara kita yg melanggar itu statusnya “di bawah kita” hal ini bukan masalah, akan tetapi yang menjadi “majalah” (he..he..he..) adalah kalau yg melanggar itu statusnya “di atas kita” contohnya Kiyai, beranikah kita bersikap adil untuk menasehati sang Kiyai sbgmn jika yg melanggar adalah rukyah biasa (note; tentu cara dan bahasanya ada sedikit berbeda, terkait dg keta’dziman) ? ingat sabda Nabi s.a.w; Katakanlah/ungkapkanlah kebenaran walaupun pahit, HR. At-Thabrani, dan sabda beliau lagi; Jihad yg paling afdhal adalah kalimat hak /nasehat kepada penguasa/imam yang menyimpang. HR. Ahmad, At-Tirmidzi, Al-Hakim dan Al-Baihaqi
-Kedua (dan ini yang terberat); Sebelum bertindak untuk menasehati sudahkah kita pasang “niat karena Allah”, di mana niat karena Allah ini tdk hanya “pokoknya saya sak dermo nasehat” sebab niat karena Allah dlm nasehat bisa terlihat tanda2nya dlm bentuk lahir, diantaranya sikap yang penuh santun dalam nasehat dilandasi atas kesadaran bahwa saudara kita yang melanggar itu sedang diberi cobaan (dikodar salah) oleh Allah, dan sebenarnya tdk ada org yg mau dikodar salah.
Oleh karenanya saat kita menasehati hendaklah dg disertai keprihatinan / empati atas kodar salah “yg menimpa saudar kita tsb, dan cara kita menasehati hendaklah mematuhi garis pandu dr Allah; ajaklah pada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasehat yang baik dan berjidal / berhujjah lah dengan hujjah yang terbaik QS Orang Melayu mengatakan kalau kamu hendak jadi penasehat yang baik maka berusahalah “mendakwah” (menasehati dg cara yg baik) dan hindarkanlah “mendakwa” (menuduh atau memarahi).
Ingatlah bahwa sebesar apapun kesalahan saudara kita tsb masih belum seberapa jika dibandingkan dosa serta kejahatannya Firaun yg telah membunuh bayi lelaki (bani Israil) yg tidak berdosa sehingga berjumlah 12500, dan mengaku sbg Tuhan serta menyiksa dan membunuh siapa sj yg tidak mengakui “ketuhanannya” (termasuk istrinya sendiri) ? akan tetapi bukankah Allah berpesan kepada Nabi Musa agar berdakwah dg cara yang baik / santun; Maka berkatalah kamu berdua (Musa & Harun) kepada Fir’aun dengan perkataan yang lemah-lembut barangkali dia akan sadar atau takut (bertaqwa kepada Allah)? QS. Thaha : 44. renungkanlah…!.
Dan dengan karena Allah tsb kita akan terjaga dari sikap “ghuluw” (melampaui batas), jika ternyata harus menghadapi kedegilan / “keras hati” saudara kita yang menolak / tdk mau menerima nasehat, sebab tanpa disadari (oleh penasehat) terkadang muncul perasaan di dalam hati seolah2 dia adalah orang “suci” sedangkan saudaranya yg melanggar tsb adalah “orang yg kotor lagi hina”.
Kita harus ingat bahwa roda kehidupan terus berputar adakalanya kita di atas dan adakalanya kita di bawah (sebagaimana yg dinasehatkan oleh Abah dalam bab “4 Roda Berputar dlm Jamaah”) saat ini saudara kita tersebut dlm posisi melanggar sedangkan kita tidak, tapi siapa tahu (wal iyadzu billah) di hari yg akan datang mungkin saja kita yang dlm posisi dikodar melanggar sedangkan saudara tsb telah dlm posisi menjadi orang yg lebih baik keimanannya.
Menutup artikel ini mari senantiasa kita ingat Hadist di bawah ini;
Dari Abi Hurairah dia berkata, aku mendengar Rasulullah s.a.w bersabda; Ada dua orang (dari golongan Bani Israil) yang bersaudara, yang satu ahli dosa, dan yang satu ahli ibadah, si ahli ibadah seringkali menasehati saudaranya tersebut agar menghentikan perbuatan dosanya, akan tetapi yg ahli maksiat senantiasa menolak dengan kasar seraya berkata; biarkan aku demi Tuhan (kata orang Melayu; jangan menyibuk…!) apakah kamu diutus untuk meneliti aku ? akhirnya si ahli Ibadah berkata: Demi Allah, Allah tidak akan mengampuni kamu atau Allah tidak akan memasukkanmu ke surga, (singkat cerita) setelah keduanya mati, keduanya berkumpul di sisi Tuhan semesta alam (Allah), kemudian Allah berfirman kepada yg ahli Ibadah: Apakah kamu mengetahui tentang Aku ? atau apakah kamu berkuasa atas apa2 yg dalam kekuasaanKu ? dan Allah berfirman kepada yang ahli maksiat: masuklah surga sebab rahmatKu, selanjutnya Allah berfirman (ditujukan) terhadap si ahli Ibadah; wahai Malaikat bawalah dia ke neraka.
Abu Hurairah berkata; Demi Zat yang menguasai diriku, niscaya dia (si ahli Ibadah) telah mengucapkan perkataan yang merusak dunia dan akhiratnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar