Selasa, 21 Desember 2010

HAPPY MOTHER'S DAY

Ayah dan ibu memiliki hak terhadap anaknya untuk memperoleh
bakti. Hanya saja ibu memiliki bagian dan porsi yang lebih besar dalam hal beroleh bakti. Karena Nabi bersabda ketika ditanya oleh seorang sahabatnya:
يا رسول الله من أحق الناس بحسن صحابتي؟. قال: أمك. قال: ثم من؟. قال أمك. قال: ثم من؟. قال: أمك. قال: ثم من؟. قال: أبوك
“Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak untuk kupergauli dengan baik?” Beliau berkata, “Ibumu.” Laki-laki itu kembali bertanya, “Kemudian siapa?”, tanya laki-laki itu. “Ibumu”, jawab beliau, “Kemudian siapa?” tanyanya lagi. “Kemudian ayahmu”, jawab beliau.” (HR. Al-Bukhari no. 5971 dan Muslim no. 6447)
Seorang ibu memiliki hak untuk mendapatkan kebaikan yang disebutkan tiga kali daripada hak seorang ayah., “Yang demikian itu diperoleh karena kesulitan yang didapatkan saat mengandung, kemudian melahirkan lalu menyusui. Tiga perkara itu dialami sendiri oleh seorang ibu dan ia merasakan kepayahan karenanya. Kemudian ibu menyertai ayah dalam memberikan pendidikan kepada anak,. Isyarat akan hal ini terdapat dalam firman Allah:
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَىٰ وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (untuk berbakti kepada) kedua orangtuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun.“ (Luqman: 14)

Ibu adalah yang paling berhak mendapatkan bakti di antara kerabat yang ada, kemudian ayah, kemudian kerabat yang terdekat. didahulukannya ibu adalah karena banyaknya kepayahan yang dialaminya dalam mengurusi anak. Di samping karena besarnya kasih sayangnya, pelayanannya, kepayahan yang dialaminya saat mengandung si anak, kemudian saat melahirkannya, menyusuinya, mendidiknya, melayaninya, mengurusi/merawatnya tatkala sakit dan selainnya’.”
Kesulitan-kesulitan yang ditanggung/dipikul oleh seorang ibu saat mengandung anaknya, kemudian kesulitan yang besar saat melahirkannya, lalu kepayahan menyusuinya dan memberikan pelayanan dalam mengasuhnya. Kesulitan dan kepayahan yang disebutkan ini dihadapi bukan dalam masa yang pendek/singkat, sejam atau dua jam. Tapi dihadapi dalam kadar masa yang panjang “tiga puluh bulan”, masa kehamilan selama sembilan bulan atau sekitarnya dan waktu yang tersisa untuk masa penyusuan. Ini yang umum terjadi. Ayat ini dengar firman-Nya:
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ
“Dan para ibu hendaknya menyusui anak-anak mereka selama dua tahun yang sempurna.” (Al-Baqarah: 233)

Dari ayat, hadits dan penjelasan di atas tampaklah bagi kita peran agung seorang ibu. Ia telah mengandung anaknya selama sembilan bulan lebih beberapa hari, dengan kepayahan, keberatan, dan kesulitan. Tiba saat melahirkan, ia pun berjuang menghadapi maut. Sakit yang sangat pun dialaminya untuk mengeluarkan buah hatinya ke dunia. Tidak sampai di situ, setelah si anak lahir dengan penuh kasih disusunya kapan saja si anak membutuhkan. Tak peduli siang ataupun malam sehingga harus menyita waktu istirahatnya. Kelelahan demi kelelahan dilewatinya dengan penuh kesabaran dan lapang dada, demi sang permata hati.
Demikianlah. Sehingga pantaslah syariat yang suci ini memberinya pemuliaan dengan memerintahkan anak agar berbakti kepadanya, selain berbakti kepada sang ayah. Bakti ini terus diberikan sampai akhir hayat keduanya. Bahkan juga sepeninggal keduanya, dengan menyambung silaturahim dan berbuat baik kepada sahabat/orang-orang yang dikasihi keduanya. Karena Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam bersabda:
إِنَّ أَبَرَّ البِرِّ أَنْ يَصِلَ الرَّجُلُ وُدَّ أَبِيْهِ
“Sesungguhnya berbuat baik yang paling baik adalah seseorang menyambung hubungan dengan orang yang dikasihi ayahnya.” (HR. Muslim no. 6461)
Perintah berbakti kepada ibu telah jelas bagi kita. Kebalikan dari berbakti adalah berbuat durhaka. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melarang perbuatan durhaka ini, dalam hadits beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam:
إِنَّ اللهَ حَرَّمَ عَلَيْكُمْ عُقُوْقَ الأُمَّهَاتِ…
“Sesungguhnya Allah mengharamkan bagi kalian berbuat durhaka kepada para ibu ….” (HR. Al-Bukhari no. 5975 dan Muslim no. 4457)
Durhaka kepada ibu adalah haram dan termasuk dosa besar, Demikian pula berbuat durhaka kepada ayah termasuk dosa besar. Dalam hadits ini dibatasi penyebutan durhaka kepada ibu (tanpa menyebutkan durhaka kepada ayah) karena kehormatan mereka (para ibu) lebih ditekankan daripada ayah. Karenanya, ketika ada yang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tentang siapakah yang paling berhak mendapatkan kebaikannya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Ibumu kemudian ibumu”, sebanyak tiga kali. Setelah itu, pada kali yang keempat beliau baru menyebutkan, “Kemudian ayahmu.” Juga karena kebanyakan perbuatan durhaka dari anak diterima/dirasakan oleh para ibu] Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab:
أُمُّكَ، ثُمَّ أُمَّكَ، ثُمَّ أُمَّكَ، ثُمَّ أَبُوْكَ ثُمَّ أَدْنَاكَ أَدْنَاكَ
“Ibumu, kemudian ibumu, kemudian ibumu, kemudian ayahmu. Kemudian kerabat yang paling dekat denganmu, dan yang paling dekat denganmu.” (HR. Muslim no. 6448)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar