Senin, 06 Desember 2010

Irfan Bachdim Itu Bukan Produk Sepakbola Instan.


Kemunculannya bagai meteor. Langsung menjadi rising star. Irfan Haarys Bachdim. Darah blasteran Indonesia-Belanda ini sempat mengecap pendidikan gocek-mengocek bola di Ajax Amsterdam, klub sepakbola profesional dari negeri Belanda, yang banyak menghasilkan pemain dengan reputasi internasional, seperti Marco van Basten, Ruud Van Nistelrooy, Edwin van Der Sar, dan lainnya. Kini Irfan memperkuat klub Persema Malang, salah satu klub peserta Liga Super Indonesia (LSI).

Performance-nya ketika memperkuat Timnas Indonesia melawan Malaysia dan Laos membuat jutaan penggila bola di Indonesia terkagum-kagum dan geleng-geleng kepala. Di 2 laga itu, tampilan Irfan paripurna karena dia berhasil melesatkan gol ke gawang lawan. Masing-masing sebiji gol ke gawang Malaysia dan Laos. Kontan pemain berwajah ganteng dan masih berusia muda ini jadi pujaan penggila bola di Indonesia, khususnya kaum Hawa.

Irfan, pesepakbola kelahiran Amsterdam, 11 Agustus 1988, mungkin termasuk pemain kelahiran Belanda berdarah Indonesia pertama yang masuk Timnas Indonesia. Kalau pemain Timnas Belanda berdarah Indonesia, khususnya Maluku, jumlahnya cukup banyak. Kapten Timnas Oranje di Piala Dunia 2010, Giovanni van Bronckhoorst, disebut-sebut pemain yang memiliki darah Maluku. Demikian pula dengan pemain Timnas Belanda lainnya, seperti Johny Heitinga, Demy de Zeeuw, Nigel de Jong, dan Robin van Persie (Arsenal). Di Liga Belanda sendiri tak terhitung pemain berdarah Indo-Holland memperkuat sejumlah klub setempat.

Irfan adalah pemain produk naturalisasi yang gencar dilakukan kepengurusan PSSI di bawah Nurdin Halid. Selain dia, masih ada pemain kelahiran Uruguay, Christian Gonzalez, yang kini ber-passport Indonesia. Gonzales lama merumput di Liga Indonesia. Dia pernah memperkuat klub PSM Makassar, Persik Kediri, dan Persib Bandung. Irfan yang namanya sempat dicoret sebagai pemain U-23 di Asian Games 2006 Qatar, karena cedera, ternyata menarik perhatian pelatih Persema Timo Scheunemann bersama Kim Jefri Kurniawan. Pada bulan Juli 2009 Irfan Bachdim ditransfer tanpa biaya ke klub HFC Haarlem.

Sempat menempa pendidikan sepakbola modern di klub Ajax Amsterdam jadi modal penting bagi Irfan. Kematangan dan kapasitas teknis yang dimilikinya sekarang bukan hasil belajar secara instan. Bachdim tak hanya piawai di posisi striker untuk menggedor lini belakang dan gawang lawan. Anak Noval Bachdim--mantan pemain Persema Malang era tahun 1980-an ini --juga bisa berperan sebagai pemain gelandang dan sayap. Di Timnas Indonesia di bawah arsitek Alfred Riedl, Irfan ditandemkan dengan Gonzales di lini depan sebagai tukang gedor pertahanan dan merobek jala gawang lawan.

Dari sisi postur, Irfan termasuk pemain ideal di lini depan. Bertinggi 1,72 meter, modal tinggi postur badan ini penting bagi bola-bola atas yang mesti dieksekusi dengan heading tajam dan terarah. Postur tubuh dan kepala Irfan bisa menjadi 'kepala emas' sekiranya dia memperoleh pasokan umpan-umpan matang untuk dituntaskan dengan heading. Kita tentu masih ingat betapa produktifnya pemain Persebaya dan Niac Mitra tahun 1980-an, Syamsul Arifin, dengan gol-gol indahnya hasil heading-nya. Syamsul Arifin, pemain kelahiran Malang itu, kemudian dijuluki 'si kepala emas'.

Calon pemain bintang di sepakbola modern tak ada yang dilahirkan secara instan. Sebagus apapun kualitas, kemampuan dasar, dan talenta pesepakbola jika tak dilatih dan tak dididik dengan teknik dasar yang benar, nutrisi yang cukup, dan dasar bermain sepakbola yang benar, tak mungkin bakal lahir jadi bintang di lapangan hijau.

Sekadar perbandingan bahwa Lionel Messi, striker Timnas Argentina dan kini jadi bintang di klub Barcelona FC Spanyol, adalah potret pemain dengan talenta jempolan yang memperoleh godokan dan pendidikan sepakbola modern yang benar dan pas. Lahir di Rosario, sebuah kota kecil di Argentina, 24 Juni 1987, keluarga Lionel Messi bukan termasuk kalangan kaya di Argentina. Ayahnya seorang buruh pabrik dan ibunya kerja paruh waktu sebagai tukang kebersihan.

Bakat dan talenda Messi sebagai calon bintang sepakbola mulai terdeteksi sejak usia 5 tahun. Ayahnya memasukkannya ke klub kecil di kotanya. Dan menginjak usia 11 tahun ternyata diketahui bahwa Messi menderita kekurangan hormon pertumbuhan. Track record medis ini bisa menghambat akselerasi pengembangan talenta Messi. Butuh biaya besar--untuk ukuran keluarga Messi--mengatasi problem medis ini. Setidaknya dibutuhkan uang tunai Rp 8 juta per bulan untuk mengatasi kekurangan hormon pertumbuhan ini.

Klub terkenal di Liga Argentina, River Plate, memang tertarik dengan bakat dan talenta Messi. Tapi, klub ini tak sanggup membiayai mengatasi problem medis Messi itu. Akhirnya Messi, termasuk keluarganya, diboyong Barcelona, klub raksasa di Spanyol, yang kemudian mengorbitkannya menjadi pemain terbaik dunia. Kini, Messi menjadi pemain pujaan penggila bola di seluruh dunia. Gocekannya meliuk-liuk dan sulit dibendung lawan. Tembakannya jitu dan seringkali berbuah jadi gol mematikan bagi lawan-lawannya.

Tak ada yang instan dalam sepakbola modern. Semuanya perlu proses rekayasa berdasar unsur scientific football yang ditanamkan kepada pemain sejak usia dini. Irfan yang sekarang menjadi calon bintang di Indonesia telah lama ditempa di sekolah sepakbola Ajax Amsterdam, bermain di Utrech dan HFC Haarlem Belanda. Aksi, pola, dan gaya permainan Irfan Bachdim terlihat ideal. Dia memiliki kecepatan dan dribel bola yang nyaris sempurna.

Kini, kostum merah merah putih telah dikenakan Irfan untuk membela Timnas Indonesia di ajang Piala AFF. Ekspektasi sangat tinggi dibebankan penggila bola Indonesia kepadanya maupun pemain lain. Harapan membawa Piala AFF bersemayam di negeri berpenduduk 237 juta jiwa lebih ini sangat tinggi. "Saya merinding melihat fanatisme dan dukungan yang begitu besar dari para pencinta sepakbola di sini," kata Irfan Bachdim.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar