" ketika ku tak sanggup melangkah,, hilang arah dalam kesendirian,, tiada mentari bagai malam yang kelam,, tiada tempat untuk berlabuh,, bertahan terus berharap,, Allah selalu di sisimu.. Insya Allah, Insya Allah, Insya Allah ada jalan.. Insya Allah, Insya Allah, Insya Allah ada jalan.. Ya Allah tuntun langkahku di jalan-MU.. Hanya engkaulah pelitaku Tuntun aku di jalan-MU selamanya. "
Jumat, 10 Desember 2010
Raja Gol Tanpa Mahkota
Rakyat Indonesia dibius oleh pesona penampilan tim nasional di babak penyisihan Piala AFF. Betapa tidak, anak-anak Indonesia mengemas tiga kali kemenangan, dengan agregat luar biasa menyolok 13-2. Artinya, selama babak penyisihan grup, para bomber Indonesia rata-rata mencetak 4,33 gol per pertandingan.
Semua mulai bermimpi: inilah tim nasional yang akan mengembalikan kejayaan di pentas sepakbola dunia, setidaknya di wilayah Asia Tenggara. Sejak penyelenggaraan Piala AFF pertama kali tahun 1996, paling mentok Indonesia hanya menyabet dua kali runner up pada tahun 2002 dan 2004.
Benarkah ini timnas impian kita? Sebelum terburu-buru melambungkan optimisme, marilah kita ingat dua pesan ini: jas merah (jangan sekali-kali melupakan sejarah) dan jas batik (jangan sungkan berkaca dari statistik).
Jika dilihat rekam jejak sejak 1996 hingga 2008, Indonesia tak ubahnya Inggris dalam Piala Dunia. Kolumnis suratkabar Financial Times Simon Kuper dan ekonom Stefan Syzmanski menulis, Inggris memasuki kejuaraan Piala Dunia berikutnya dengan keyakinan akan menjadi juara.
Alasannya masuk akal. Inggris tampil cemerlang dalam babak kualifikasi Piala Dunia, dan bahkan Piala Eropa. Sejak 1980 hingga 2008, tim Inggris bermain 116 kali dan meraih 72 kemenangan, 29 seri, dan 15 kali kalah. Ukiran golnya pun lumayan: 246 memasukkan dan hanya kemasukan 61 gol. Ini artinya, kalau dirata-rata Inggris memasukkan 2,12 dol per pertandingan, dan kebobolan 0,52 gol.
Secara statistik, Kuper dan Syzmanski menemukan fakta, persentase poin kualifikasi saat Inggris gagal lolos ke Piala Eropa 2008 dengan yang diperolehnya saat lolos ke Piala Eropa 2000 atau Piala Dunia 1982, sama persis yakni 66 persen.
Hooligans Inggris bergembira ria, namun simaklah apa realitasnya selama rentang waktu 22 tahun itu. Prestasi tertinggi Inggris adalah semifinal Piala Dunia 1990. Prestasi semifinal Piala Eropa 1996 tidak disebutkan, karena Inggris tak melalui babak kualifikasi.
'Euforia Inggris' inilah yang tengah melanda rakyat Indonesia. Dalam catatan statistik saya, tim nasional Indonesia memang selalu tampil moncer dalam babak penyisihan grup Piala AFF. Bahkan lebih moncer ketimbang Inggris di kualifikasi Piala Dunia dan Piala Eropa.
Iseng-iseng saya membuat klasemen abadi Piala AFF sejak tahun 1996 sampai 2008. Hasil pertandingan setiap negara peserta mulai babak penyisihan dan setiap babak yang dilalui, saya tabulasi. Hasil adu tendangan penalti tidak saya hitung, karena saya hanya menghitung gol-gol dalam 90 menit dan perpanjangan waktu. Jadi, jika pada suatu babak (final atau semifinal) dua tim bermain imbang, maka akan saya sebut draw atau seri dan saya beri poin 1, walau pada kenyataannya dalam adu tendangan penalti ada pemenangnya.
Dari tabulasi ini terlihat, Indonesia adalah raja gol di Asia Tenggara. Sejak Piala AFF 1996 hingga 2008, Indonesia sudah mengoleksi 106 gol dan kebobolan 54 gol, dari 38 kali pertandingan. Ini artinya, produktivitas Indonesia setiap pertandingan mencapai 2,79.
Bagaimana negara-negara kuat lain di Asia Tenggara? Thailand yang disebut sebagai raja Asia Tenggara hanya menorehkan 96 gol dan kebobolan 34 gol selama rentang waktu yang sama dengan timnas Indonesia. Namun, Thailand memainkan pertandingan lebih banyak, yakni 39 kali. Jika dirata-rata, setiap pertandingan, Tim Gajah Putih mencetak 2,46 gol.
Vietnam menorehkan 90 gol dan kebobolan 44 gol, dan memainkan 39 kali pertandingan. Produktivitas per pertandingan 2,3 gol. Produktivitas Singapura lebih minim daripada Vietnam, yakni 73 kali mencetak gol dan kebobolan 30 gol dari 36 pertandingan. Artinya, Tim Negeri Singa ini hanya bisa mengemas 2,027 gol per pertandingan.
Malaysia, musuh bebuyutan Indonesia, paling jeblok dibandingkan negara-negara kuat sepakbola di kawasan ini. Produktivitas hanya 65 mencetak gol dan kemasukan 34, dari 35 pertandingan. Tim yang dibanggakan tokoh kartun anak-anak 'Ipin dan Upin' ini hanya mampu mengemas 1,856 gol per pertandingan.
Jika ditilik lebih jauh lagi, keganasan timnas Indonesia ditunjukkan pada babak penyisihan grup. Mari kita simak produktivitas gol pemain Indonesia selama babak penyisihan.
Tahun 1996, bermain di Grup A, Indonesia mencetak produktivitas 3,75 gol per pertandingan. Produktivitas ini relatif bertahan dalam penyisihan grup Piala AFF tahun-tahun berikutnya, bahkan melonjak.
Tahun 1998 yang disebut sebagai tahun noda, karena diwarnai gol bunuh diri 'sengaja' pemain bertahan Mursyid Effendi, Indonesia membukukan produktivitas 3,67 gol per pertandingan. Tahun 2000, Indonesia satu grup dengan Thailand, namun masih bisa membukukan produktivitas 3,0 gol setiap pertandingan.
Torehan produktivitas tertinggi terjadi pada tahun 2002, yakni 4,75 gol per pertandingan. Tahun 2004, produktivitas juga edan-edanan, yakni 4,25 gol per pertandingan. Itu pun selama empat kali pertandingan di Grup A, Indonesia tak pernah kebobolan.
Tak garangnya patukan Garuda terjadi pada Piala AFF 2006 dan 2008. Tahun 2006, Indonesia tak lolos penyisihan Grup B dan hanya mencetak rata-rata 2 gol per pertandingan. Tahun ini saya sebut tahun yang menarik, karena sejak Piala AFF 1996 hingga 2004, Indonesia selalu berada di Grup A (bahkan Piala AFF 2008 dan 2010). Selama di Grup A, Indonesia selalu lolos ke semifinal. Namun untuk pertama kalinya, di Grup B, Indonesia justru gagal melaju.
AFF 2008, produktivitas timnas Indonesia tak membanggakan, karena hanya membukukan tujuh gol dari tiga pertandingan penyisihan. Artinya, produktivitasnya hanya 2,33 gol per pertandingan.
Dari gambaran di atas, jelaslah sudah, bukanlah hal istimewa, jika Indonesia tampil memukau dan haus gol saat babak penyisihan grup Piala AFF 2010. Produktivitas golnya memang oke yakni 4,3 gol per pertandingan. Namun itu masih kalah di bawah torehan produktivitas tahun 2002.
Garangnya barisan depan Indonesia selama 24 tahun, sejak Piala AFF pertama kalidigelar, menunjukkan betapa negeri ini konsisten dengan ideologi sepakbola menyerang dengan fisik yang kuat. Terlepas dari segala kelemahan teknik dasar bermain bola para pemainnya, sumbangsih sejumlah pelatih asing seperti Henk Wullems (Belanda), Bernard Schumm (Jerman), Ivan Kolev (Bulgaria), Peter Withe (Inggris), dan sekarang Alfred Riedl (Jerman) patut diapresiasi.
Kuper dan Syzmanski menulis, pertukaran pelatih atau pemain antarnegara di Eropa membuat permainan di sejumlah negara berkembang. Semakin tertutup sebuah negara (Inggris termasuk konservatif, karena bertahun-tahun tak mau dimasuki pelatih asing untuk timnas), maka gaya permainan akan monoton dan tak menjanjikan kemenangan.
Namun catatan tebal dari analisis statistik di atas adalah: haus gol tak menggaransi datangnya gelar juara bagi timnas Indonesia. Produktivitas gol tak bergaris lurus dengan stabilitas permainan. Singapura menjadi juara Piala AFF 1998 justru dengan produktivitas gol rendah saat penyisihan grup. Itulah sebabnya saat itu Singapura tidak diperhitungkan dan menjadi rebutan Indonesia dan Thailand.
Thailand menjadi juara tahun 2002 juga dengan produktivitas gol rendah saat penyisihan grup. Juara dengan produktivitas tinggi baru diraih Singapura pada 2006, yakni dengan 4,33 gol per pertandingan penyisihan grup.
Lalu apa yang salah dari Indonesia? Mari kita simak statistik: kendati barisan depan Indonesia garang, ternyata barisan belakangnya sangat lemah. selama dua dasawarsa lebih di Piala AFF, gawang Indonesia telah kebobolan 54 gol. Jauh lebih banyak dibandingkan Singapura (30 gol), maupun Thailand, Malaysia, atau Vietnam.
seorang fans bisa berpendapat, bahwa banyaknya jumlah gol yang bersarang di gawang Indonesia itu adalah konsekuensi sepakbola menyerang. Namun, harus diingat: Indonesia lebih banyak berpesta gol di gawang tim-tim gurem daripada tim-tim kuat di Asia Tenggara.
Mari kita ambil contoh acak di tahun Indonesia meraih prestasi tertinggi Piala AFF, yakni runner up tahun 2000 dan runner up tahun 2002. Di tahun 2000, dalam fase penyisihan grup, Indonesia menghajar Myanmar 5-0. Ini kemenangan terbesar Indonesia saat itu. Namun, lihatlah bagaimana, di semifinal, Indonesia hanya menang 3-2, dan dibantai Thailand di final dengan skor 1-4.
Tahun 2002, Indonesia mencetak rekor kemenangan terbesar yakni 13-1 atas Filipina dalam fase penyisihan grup. Namun, di semifinal, timnas kita hanya mampu menang 1-0 atas Malaysia, dan bermain alot 2-2 dengan Thailand di final. Adu penalti mengakhiri harapan Indonesia untuk menjuarai ajang ini.
Dengan semua fakta di atas, adalah salah besar dan mitos belaka jika menganggap lemahnya pertahanan Indonesia dikarenakan konsekuensi penerapan sepakbola menyerang. Yang benar adalah pemain depan Indonesia menghajar gawang tim-tim lemah, dan barisan pertahanan tak banyak teruji menghadapi gempuran lawan yang lebih sepadan.
Kemenangan-kemenangan besar atas tim lemah dalam fase penyisihan grup selama ini, sebenarnya justru sedikit banyak tak banyak menguntungkan timnas Indonesia. Pertama, kepercayaan diri pemain Indonesia meluap terlampau pesat dan cenderung akhirnya meremehkan lawan. Kedua, tim-tim lawan yang sepadan mempersiapkan barisan pertahanan mereka lebih baik saat berhadapan dengan Indonesia, dan menerapkan permainan yang efisien.
Salah satu norma sepakbola modern Eropa barat adalah pertandingan sepakbola berlangsung 90 menit. Sebuah tim tidak bisa hanya bermain kesetanan, tanpa memertimbangkan stamina. Kuper menulis, inilah yang terjadi pada tim Inggris selama dilatih dengan gaya konservatif. 'Penyakit' inilah yang menjangkiti Indonesia dalam penyelenggaraan Piala AFF dari tahun ke tahun.
Daya tahan dan stamina setiap pemain dalam timnas Indonesia tak sama untuk dipaksakan bermain kesetanan secara kolektif. Ada berapa pemain seperti Okto Maniani, Arif Suyono, atau kalau di masa silam, Elie Aiboy, yang bisa bermain spartan, berlari kencang seperti tak kenal lelah? Yang kita lihat, saat melawan Thailand, walaupun menang, timnas Indonesia kewalahan dan 'ngos-ngosan' menghadapi serangan anak asuhan Bryan Robson yang lebih tenang dan terkendali.
Jadi, marilah harapan tetap kita pancangkan. Namun jangan sampai kita terkena kutukan 'penyakit Inggris' dari tahun ke tahun. Tak ada salahnya bercermin dari sejarah, dan dengan begitu, kita bisa meyakini: kelak Garuda bukan lagi raja gol tak bermahkota juara. [wir]
Klasemen Abadi Piala AFF (The Big Five)
1. Thailand: 26 kali menang. 8 seri, 5 kalah, 96-34, poin 86
2. Vietnam: 20 kali menang, 11 seri, 8 kalah, 90-44, poin 71
3. Singapura: 19 kali menang, 12 seri, 5 kalah, 73-30, poin 69
4. Indonesia: 18 kali menang, 7 seri, 13 kalah, 106-54, poin 61
5. Malaysia: 16 kali menang, 8 seri, 11 kalah, 65-34, poin 56
Catatan: Menang dihitung memeroleh poin 3 dan draw 1, sementara kalah 0
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar