Senin, 20 Desember 2010

Tekad Indonesia menuju prestasi dunia?


Sekian lama prestasi tim nasional (Timnas) sepakbola Indonesia berada di titik nadir. Setelah mengais medali emas di Sea Games pada tahun 1980-an, dengan pemain antara lain Ferril Raymontd Hattu, Mustakim, Aji Santoso, dan pelatih Anatoly Polosin dan Vladimir Urin dari Uni Sovyet (Rusia), hampir tak ada prestasi yang layak dicatat dengan tinta emas dari Timnas di ajang sepakbola internasional.

Kekalahan demi kekalahan terus menerpa Timnas. Bahkan, di tingkat Asia Tenggara pun, Timnas Indonesia berulangkali kalah atas Thailand, Singapura, Malaysia, Laos, dan Vietnam. Kini, di penghujung kepemimpinan Nurdin Halid di PSSI, prestasi Timnas beranjak naik pelan tapi pasti.

Di ajang Piala AFF di Jakarta, Timnas Indonesia menang besar. Menaklukkan Malaysia dengan 5-1 dan mencukur Laos tanpa balas 6-0. Apakah ini pertanda kebangkitan sepakbola nasional di level Asia Tenggara atau Asia?

Semoga saja demikian. Publik sangat mendambakan Timnas yang prestasinya jempolan. Setidaknya era Soetjipto Suntoro, Ronny Pattinasarani, Iswadi Idris, dan lainnya kembali terulang dan ditapaki. Timnas Indonesia ketika itu sangat disegani dan ditakuti lawan-lawannya di Asia Tenggara maupun Asia. Ke semua pemain itu adalah produk kompetisi (lebih tepatnya turnamen) perserikatan, yang diikuti sejumlah klub-klub amatir lawas yang usianya lebih tua dibandingkan negara Indonesia itu sendiri. Sebut misalnya, Persija Jakarta, Persebaya Surabaya, PSM Makassar, Persib Bandung, PSMS Medan, Persipura Jayapura, dan lainnya.

Kebangkitan kembali sepakbola nasional, yang dibuktikan prestasi jempolan di babak penyisihan Piala AFF tahun ini, harapannya bisa menapaki prestasi Timnas di masa lalu. Ini benar-benar prestasi yang didasarkan pada kemampuan teknis, ramuan taktik dan strategi pelatih yang jempolan, dan bukan karena kelebihan dan kecerdikan permainan nonteknis.

Era kepemimpinan Nurdin Halid di PSSI memang membutuhkan catatan prestasi emas. Hampir 8 tahun memegang kendali PSSI, hampir tak ada prestasi yang layak dicatat dengan tintas emas kabinet Nurdin Halid ini. Padahal, tak kurang ikhtiar yang dijalankan pengurus PSSI di bawah Nurdin Halid untuk membubuhkan prestasi emas. Misalnya, mengirim tim yunior berlatih dan belajar sepakbola yang benar di Uruguay, mendatangkan pelatih asing seperti Ivan Venkov Kolev, Alfred Riedl, dan lainnya. Kalau dihitung secara finansial, mungkin sudah puluhan bahkan ratusan miliar dana yang digelontorkan untuk merebut prestasi emas itu.

"Saya kadangkala merenung sendiri di Gelora Bung Karno mengenai seretnya Timnas ini. Hampir 80 persen waktu dan tenaga saya tercurahkan untuk kemajuan sepakbola nasional, khususnya Timnas," kata Nurdin Halid pada satu kesempatan acara di Surabaya.

Seretnya prestasi Timnas itu mengakibatkan krisis legitimasi kepemimpinan Nurdin Halid di PSSI. Di Malang pada awal tahun 2010 lalu digelar Kongres Sepakbola Nasional (KSN). Tujuannya, melakukan evaluasi total terhadap buruknya prestasi sepakbola nasional. Secara tersirat, KSN di Malang hendak menurunkan kepemimpinan Nurdin Halid dari kursi ketua umum PSSI. Tapi, upaya itu gagal total. Posisi Nurdin Halid di kalangan pemilik suara sah anggota PSSI masih kuat. Nurdin Halid tetap aman di kursinya hingga sekarang.

Rencananya, pada bulan April mendatang PSSI bakal menggelar munas atau kongres. Salah satu agendanya adalah memiliki calon ketua umum baru. Apakah nama Nurdin Halid bakal melenggang kembali sebagai ketua umum? Memang tak ada konstitusi organisasi yang membatasi seseorang menjabat ketua umum PSSI. Apalagi kalau mendasarkan pada Statuta FIFA. Seseorang bisa jadi ketua umum PSSI ataupun FIFA tak hanya dibatasi 2 periode masa jabatan. Sepp Blatter menjabat Presiden FIFA lebih dari 2 kali masa jabatan. Demikian pula yang pernah dijabat Joae Havelange dari Brasil, yang lebih 2 kali periode sebagai Presiden FIFA.

Sekiranya Timnas menorehkan prestasi emas di ajang Piala AFF tahun ini bakal membuka peluang Nurdin Halid maju kembali sebagai ketua umum PSSI? Pemegang hak suara dan anggota PSSI yang menentukan. Sebab, mereka yang memiliki suara di ajang munas atau kongres PSSI. Kalau pun Timnas nanti, misalnya, berhasil menjuarai Piala AFF dan Nurdin Halid terpilih kembali sebagai ketua umum PSSI dalam munas atau kongres nanti, ya itulah nasib baik Nurdin Halid.

Kok bisa? Ya itulah namanya mengakhiri masa kepengurusannya dengan khusnul khotimah (berakhir dengan kebaikan). Lebih 7 tahun tanpa torehan prestasi bagus, eh menjelang lengser justru meraih prestasi emas. Ibaratnya kering kerontang selama 7 tahun lebih bisa dihapus dengan hujan sehari.

Siapa pun yang menjadi ketua umum PSSI nanti, bagi publik, bukan persoalan penting dan prioritas. Itu persoalan nomor 21. Paling penting adalah prestasi Timnas yang moncer di level internasional. Syukur-syukur Timnas bisa berprestasi gemilang di tingkat Asia, sehingga menjadi wakil Benua Asia di ajang Piala Dunia 2014 atau Piala Dunia 2018. Bangsa dan rakyat Indonesia sudah bosan menjadi penonton atas perhelatan olahraga paling hebat sejagad itu. Bangsa dan rakyat Indonesia tak ingin selamanya tercatat sebagai penonton abadi dan paling setia ajang Piala Dunia. Ya sekali-kali menjadi peserta meski harus tersingkir di babak penyisihan, seperti dialami Korut dan banyak wakil Asia lainnya.

Apakah mimpi itu mungkin diraih? Kenapa tidak. Mengalahkan Malaysia dengan skor telak 5-1 adalah mimpi kita sejak 15 tahun lalu. Demikian pula mengalahkan Laos dengan skor 6-0 ibarat mimpi indah setelah kita dikerjai secara memalukan dengan skor 0-2 di ajang Sea Games 2009 lalu. Dalam hal-hal tertentu, sepakbola seperti politik. Sulit diprediksi dan hal-hal yang mustahal (eh mustahil) bisa menjadi kenyataan. Siapa sangka Argentina dipecundangi Jerman dengan skor telak 4-0 di ajang Piala Dunia Afsel 2010 lalu? Tak ada satu pun pengamat dan peramal bola yang memprediksi demikian. Hal serupa tak kalah realistisnya jika Timnas Indonesia bisa berlaga di ajang Piala Dunia 2014 atau 2018.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar