Penampilan apik Cristian Gonzales di Timnas Indonesia mempertegas manfaat naturalisasi. Meski demikian, tak semuanya setuju. Beberapa masih berharap sukses direbut darah-darah lokal.
Masuknya satu pemain asing naturalisasi (Cristian Gonzales) dan satu pemain keturunan Indonesia-Belanda yang lama bermukim dan menimba skil di Belanda (Irfan Bachdim) disebut-sebut sebagai salah satu kecemerlangan Indonesia sejauh ini di AFF Suzuki Cup 2010. Kehebatan pelatih Alfred Riedl tentunya juga harus masuk hitungan.
Keuntungan, tentu saja, kekuatan tim meningkat secara instan. Sudah lama tak terlihat penyerang dengan kekuatan fisik yang mampu menahan bola di daerah pertahanan lawan, seperti yang dilakukan Gonzales. Ia membuka ruang bagi pemain dengan kecepatan dan skil matang seperti Irfan maupun Arif Suyono untuk menusuk dan menyambut umpan di dalam kotak penalti.
“Saya lihat cukup punya andil. Dia punya skil yang cukup baik untuk membantu rekan-rekannya. Kemampuannya di atas striker Asia Tenggara,” terang pelatih Persija Jakarta Rahmad Darmawan kepada INILAH.COM.
Rahmad juga melihat, terbukanya pintu naturalisasi bisa berdampak positif dalam meningkatkan kualitas talenta lokal.
“Hal ini jangan dipandang tabu. Di era globalisasi, transfer teknologi terjadi di segala bidang. Untuk sepak bola, dalam bentuk transfer ilmu. Negara-negara maju juga melakukan hal ini. Jerman, contohnya,” lanjut Rahmad.
“Bagi pemain sendiri, hal ini akan meningkatkan atmosfer yang lebih kompetitif. Mereka harus menerimanya sebagai tantangan dan harus berani menghadapinya,” lanjut pelatih yang sukses meraih trofi Liga Super dan Piala Indonesia bersama Sriwijaya FC itu.
Namun harus diakui juga, naturalisasi tanpa batasan dan arah yang jelas justru bisa merusak arti dari Tim Nasional dan bahkan memangkas talenta-talenta lokal. Hal ini juga yang menjadi salah satu pegangan Negeri Jiran Malaysia yang masih enggan mengikuti jejak Indonesia.
“Masyarakat Malaysia lebih mendukung ide pengembangan atlet sendiri di negeri kami sendiri. Efek dan hasilnya akan lebih terasa dalam jangka panjang dan kami tidak perlu tergantung pada pemain asing,” ungkap Menteri Pemuda dan Olah Raga Malaysia Datuk Seri Ahmad Shabery, seperti dikutip dari situs resmi Federasi Sepak Bola Asean (AFF).
Resiko ini diakui pula Rahmad Darmawan. “Harus ada batasan. Bagaimanapun, nasionalisme harus dijaga. Bukan berarti mempertanyakan nasionalisme pemain seperti Gonzales, karena sudah terlihat dia juga bersungguh-sungguh, sudah bertahun-tahun memohon kewarganegaraan.”
“Tetapi kita juga harus mengembangkan potensi-potensi lokal.”
“Maksimal lima. Yang diterima naturalisasi boleh banyak, 20 pun boleh. Tetapi tetap dibatasi maksimal yang masuk timnas lima orang. Jadi mereka (naturalisasi) pun tetap berkompetisi juga,” saran coach Rahmad.
Untungnya, sejauh ini Badan Tim Nasional (BTN) Indonesia menyadarinya dan menjalankan kedua program, baik naturalisasi maupun pengembangan pemain muda.
Deputi Teknis BTN Iman Arif mengakui saat ini sedikitnya ada lima pemain yang masuk dalam daftar program naturalisasi, di antaranya Kim Jeffrey Kurniawan (Indonesia-Jerman), Jhony Rudolf van Beukering (Indonesia-Belanda), dan Raphael Guillermo Maitimo (Indonesia-Belanda) yang bermukim di luar negeri. Selain mereka, ada Victor Igbonefo (Nigeria) dan Seme Pierre Patrick (Kamerun), yang sudah lama merumput di Indonesia.
“Itu untuk mencari formasi terbaik jangka pendek, sementara pembinaan jangka panjang usia muda akan terus dijalankan,” ungkap Iman.
Saat ini, Tim Garuda punya dua program pembibitan, yakni Sociedad Anonima Deportiva (SAD) yang berpusat di Uruguay, dan Indonesian Football Academy (IFA) yang berpusat di Sawangan, Depok, Jawa Barat.
Penggunaan pemain naturalisasi memang masih mendapat tanggapan beragam. Ada yang mendukung, ada juga yang menentang. Namun yang penting, bagaimana perimbangannya dengan pembinaan pemain muda. Akan menjadi kurang afdol rasanya bila mereka yang nantinya mengangkat trofi sukses Indonesia malah berwajah bule semuanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar