Kita semua menyaksikan perjuangan heroik sekumpulan anak bangsa di AFF Suzuki Cup 2010. Tapi kenyataan pahitnya, Indonesia belum mampu juara di ASEAN sejak 19 tahun terakhir. Perjuangan tak boleh berhenti di sini..
Penampilan gemilang skuad timnas Merah Putih di bawah asuhan pelatih Alfred Riedl di ajang AFF Suzuki Cup 2010, membuat publik sepakbola di tanah air kembali bangkit dan memberikan dukungan. Maklum, sejak meraih emas pada SEA Games 1991 di Manila, timnas Indonesia tidak pernah mempersembahkan gelar juara di turnamen internasional.
Sama dengan yang pernah terjadi di ajang Piala Asia 2007 silam, dukungan dari publik sepakbola nasional begitu luar biasa. Bahkan pihak panitia lokal pun kewalahan dalam hal menyediakan tiket tanda masuk.
Kapasitas Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, yang dijadikan venue untuk menggelar laga bagi Firman Utina dkk yang hanya mampu menampung 80 ribu penonton, justru lebih dari tiga kali lipat jumlah penonton yang ingin membeli tiket.
Akibatnya, kericuhan pun sempat mewarnai penjualan tiket tanda masuk yang bahkan berakibat amukan calon penonton. Itu karena mereka kecewa akibat sulitnya mendapatkan tiket tersebut. Padahal mereka sudah melalui prosedur yang ditetapkan, termasuk dengan sabar melakukan antri di loket penjualan tiket.<script type="text/javascript" src="http://ad.doubleclick.net/adj/gna.id/level2;tile=2;sz=160x600;ord=748405?area=2l&pos=2&ord=748405"></script>
Bagi PSSI selaku penanggungjawab setiap laga internasional dan nasional, termasuk dengan pertandingan di ajang AFF, keributan penjualan tiket tanda masuk tersebut bukan yang pertama kalinya. Sebab saat rencana ujicoba klub elit asal Inggris, Manchester United, di Jakarta pada Juli 2009 lalu, hal yang sama pun terjadi.
Yang menarik, dalam setiap amukan calon penonton, selalu saja ada teriakan yang bernada meminta agar ketua umum PSSI Nurdin Halid mundur dari jabatannya. Ketidakmampuan PSSI mendistribusikan tiket dengan baik menjadi salah satu pemicu adanya desakan agar dia mundur.
"Nurdin mundur, Nurdin mundur!" begitulah teriakan calon penonton yang kecewa dengan sistem penjualan tiket laga kandang timnas Indonesia yang dilakukan panitia lokal di bawah koordinasi otoritas sepakbola nasional.
Selain itu, ada hal yang menarik dalam setiap laga yang dimainkan timnas. Puluhan spanduk bernada dukungan terhadap Nurdin tampak terpasang. Hal tersebut menjadi indikasi kuat, jika saja orang nomor satu di sepakbola nasional tersebut menjadikan sepakbola sebagai kendaraan politik.
Apalagi, dalam satu kesempatan, ia pun membawa pemain timnas menemui pimpinan salah satu partai politik terbesar di tanah air yang membuat beberapa politikus ikut memanfaatkan momen penampilan menawan timnas, untuk tebar pesona sembari mencari simpatisan.
Padahal Nurdin sendiri selalu berkoar-koar agar sepakbola tidak dipolitisasi, menyusul adanya gerakan yang dilakukan beberapa pihak untuk menggulirkan kompetisi tandingan. Tapi anehnya, justru pengurus PSSI yang terus 'mengencangkan' posisi dengan menebar spanduk bernada dukungan.
Saking seriusnya, spanduk tersebut bahkan sampai ada yang terpasang di Stadion Bukit Jalil, Malaysia, ketika skuad Merah Putih melakoni laga pertama babak final AFF Suzuki Cup 2010 beberapa hari lalu, meski muncul pula spanduk yang berseberangan karena menghujat kepemimpinan Nurdin.
Sebetulnya, yang patut dicermati adalah bagaimana cara pandang publik sepakbola nasional agar tidak dibawa ke ranah politik praktis. Bagaimanapun, olahraga yang menekankan nilai-nilai sportivitas jauh berbeda dengan politik yang terkadang menghalalkan segala cara untuk bisa mencapai tujuan.
Akankah kita terjebak dengan permainan politikus di republik ini? Tentu jawabannya tidak, meski pada faktanya, terkadang kita tidak sadar sudah berada dalam koridor ranah politik. Salah satunya dengan kesediaan memasang spanduk bernada dukungan kepada pihak tertentu, atau dengan menggunakan pembagian kaos 'Merah-Putih' yang di dalamnya tertulis nama sang pemberi baju tersebut.
Melirik sepakterjang PSSI di bawah kendali Nurdin selama lebih dari sepuluh tahun, sudah pasti kita akan mengelus dada. Maklum, karena sejauh ini praktis baru gelar Piala Kemerdekaan Indonesia yang direbut di Stadion Utama beberapa tahun lalu. Itupun melalui laga yang mendapat protes dari Libya karena merasa dicurangi di partai final.
Seluruh dunia mengakui, potensi sepakbola yang ada di Indonesia cukup besar dengan jumlah penduduk lebih dari 230 juta jiwa. Tapi sejauh ini, prestasi timnas masih tetap saja melempem. Meski secercah harapan sempat diperoleh saat tampil di babak penyisihan AFF tahun ini.
Hanya saja, kekalahan telak 3-0 dari tuan rumah Malaysia pada laga pertama babak final AFF Suzuki Cup 2010, kembali memunculkan perasaan was-was, hingga akhirnya Indonesia gagal mengakhiri pacekik gelar. Untuk keempat kalinya, Indonesia harus menerima predikat sebagai runner-up kejuaraan sepakbola bergengsi di kawasan Asia Tenggara tersebut.
Namun kegagalan menjuarai Piala AFF 2010 tidak membuat Nurdin berniat mundur meski tekanan banyak menerpanya. Tak hanya terkait prestasi, tapi juga sistem penjualan tiket pertandingan di Stadion Gelora Bung Karno yang membuat penonton kesulitan dan dirugikan. Di luar AFF, masih ada setumpuk masalah yang menimpa Superliga Indonesia, hingga Persibo Bojonegoro, Persebaya Surabaya dan Persema Malang rela bergabung ke Liga Primer Indonesia (LPI).
Walaupun LPI masih diperdebatkan terutama dalam aspek legalitas, seharusnya breakaway league ini tidak perlu berdiri sama sekali, seandainya PSSI era Nurdin dapat mengelola liga yang benar-benar super dalam segala hal terkait profesionalisme.
Perjuangan timnas memang tidak akan berhenti di sini. Menatap ke depan, Garuda harus mampu berbicara di Asia hingga ke level dunia. Tanpa didukung federasi yang kuat, profesional, mempunyai visi dan misi jangka panjang, transparan dan bebas korupsi, rasanya sepakbola kita masih akan sulit mencapai prestasi. Olahraga ini milik rakyat!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar