Rabu, 01 Desember 2010

Seks Pra Nikah, Apa yang Terjadi?

Lebih dari setengah populasi remaja di Jakarta dan Surabaya pernah melakukan hubungan seksual. Mengapa fakta tersebut terjadi. Apa yang menyebabkan gadis-gadis melepas keperawanannya.

Data Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pada 2010 menunjukkan, 51% remaja di Jabodetabek telah melakukan seks pra nikah. Fenomena mengkhawatirkan ini juga muncul di Surabaya dengan tingkat kejadian 54%, Bandung 47%, dan Medan 52%.

“Peristiwa itu sangat memilukan karena menjadi modus baru dalam hubungan kekeluargaan,” ujar psikolog kognisi sosial dan pendidikan anak usia dini Universitas Indonesia Fawzia Aswin Hadis saat dihubungi INILAH.COM, kemarin.

Pelaku tentu memiliki konsep keluarga dan pernikahan yang berantakan karena berdasarkan sistem sosial yang ada, hubungan seksual hanya boleh dilakukan setelah menikah. “Pada akhirnya, mereka menjadi tidak menghargai makna keluarga itu sendiri.”

Dampak lebih lanjut selain kemungkinan kehamilan di luar nikah sangat besar serta penyakit seksual yang semakin menyebar, anak remaja menjadi mudah menggampangkan dampak dari perbuatan yang dilarang oleh lingkungan sosial.

“Pada dasarnya, mereka pasti tahu bahwa hubungan seksual adalah perbuatan yang salah. Namun, mereka tetap melakukan itu karena ada konsep pembenaran diri. Gak apa-apa kok yang penting suka misalnya. Batasan dari masyarakat dan keluarga juga semakin longgar,” tegas Fawzia.

Akibatnya, besar kemungkinan bahwa mereka tidak akan melakukan hubungan seksual itu satu kali. Hubungan seksual merupakan perilaku yang sangat disadari sehingga, jika konsep keperawanan mereka masih berantakan kata Fawzi, tidak ada kata ‘berhenti’. Ini bisa menggganggu proses belajar karena masuk di pergaulan yang salah, terkena penyakit seksual atau dikhawatirkan hamil di luar nikah.

Pembentukan jati diri juga akan ikut terganggu. Mereka semakin sulit membedakan konsep benar dan salah yang ada di masyarakat sekaligus mengaplikasikannya di diri sendiri. Apalagi, jika peran masyarakat, keluarga dan media tidak mengarahkan mereka dengan baik.

“Remaja adalah usia dini di mana menyerap semua informasi dengan benar. Saringan paling kuat adalah keluarga, sekolah dan teman sepermainan. Tapi, kalau mereka juga tidak ketat dalam menjaga keperawanan, ini sulit,” tegas Fawzia.

Menurut psikolog pendidikan dan anak Universitas Indonesia Lydia Freyani Hawadi, pola keterbukaan, orang tua makin sibuk dan nilai-nilai tradisional makin lemah untuk masuk ke masyarakat sehingga aturan tidak tertulis itu jarang dipegang anak zaman sekarang.

“Ini membuat sebagian orang menjadi lalai. Sementara remaja perlu terus menerus dipantau dan diberi contoh yang baik,” ujar Lydia. Di sisi lain, di kota besar, banyak sekali media yang memberikan contoh tidak sesuai dengan kepentingan anak. “Dari segi film misalnya, banyak film yang aneh. Kondom juga bebas dibeli. Keluarga sibuk, dan lain-lain.”

Lydia juga prihatin terhadap data BKKBN meskipun mengaku tidak terlalu terkejut karena remaja dengan mudah menerima informasi yang mendorong mereka untuk melakukan hubungan seksual baik dari film porno, media elektronik dan cetak.

Keberadaan orang tua dan pendidik perlu disalahkan karena mereka terkesan ‘percaya’ bahwa anak-anak mampu menjaga diri sendiri. Padahal, anak seharusnya dibimbing dengan benar.

“Jika orang tua sibuk dan nilai-nilai kekeluargaan tidak diserap dengan baik maka tidak ada kontrol diri,” tegas Lydia. Perilaku seksual, dinilai Fawzia merupakan hasrat paling dasar sehingga gampang bagi para remaja untuk tergoda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar