" ketika ku tak sanggup melangkah,, hilang arah dalam kesendirian,, tiada mentari bagai malam yang kelam,, tiada tempat untuk berlabuh,, bertahan terus berharap,, Allah selalu di sisimu.. Insya Allah, Insya Allah, Insya Allah ada jalan.. Insya Allah, Insya Allah, Insya Allah ada jalan.. Ya Allah tuntun langkahku di jalan-MU.. Hanya engkaulah pelitaku Tuntun aku di jalan-MU selamanya. "
Rabu, 12 Januari 2011
LPI, Kompetisi Sempalan atau Pencerahan?
Babak baru sepakbola Indonesia sudah dimulai. Kick-off pertandingan Solo FC versus Persema Malang di Stadion Manahan, Solo, Jawa Tengah, Sabtu pekan silam, menandai era sepak bola yang diklaim lebih modern dan profesional. Itulah awal bergulirnya sebuah kompetisi bertajuk Liga Primer Indonesia (LPI).
LPI adalah kompetisi sempalan Liga Super Indonesia. Liga Primer dideklarasikan oleh Gerakan Reformasi Sepakbola Nasional (GRSN). LPI mengadopsi model Liga Primer Inggris yang berdiri sendiri, terpisah dari Federasi Sepakbola Inggris (FA).
Menurut Arifin Panigoro, penggagas LPI, Liga Primer lahir sebagai bentuk pelaksanaan hasil Kongres Sepakbola Nasional (KSN) yang berlangsung di Malang, Jawa Timur, Maret 2010, dan hasilnya sudah diterima oleh seluruh stakeholders sepakbola nasional. "Tujuannya untuk memperbaiki prestasi sepakbola nasional," kata dia.
Arifin menjelaskan, LPI merupakan liga reformasi dan era baru industri sepakbola Indonesia. Selain kemajuan industri, Arifin juga yakin LPI dapat memajukan prestasi sepakbola yang sudah 20 tahun ini tidak membanggakan.
Namun, kelahiran liga ini sampai sekarang masih terus menuai kontroversi. Bahkan, LPI dianggap ilegal lantaran penyelenggaraannya tidak mendapat restu dari PSSI selaku pemegang otoritas tertinggi sepakbola di Indonesia. Selama ini PSSI sendiri telah memiliki kompetisi yang disebut Indonesia Super League (ISL) atau Liga Super Indonesia. "Kami tidak akan merestui sebab PSSI hanya mengakui ISL sebagai kompetisi resmi," kata Ketua Umum PSSI Nurdin Halid.
Lantaran itu pula PSSI dengan segala cara berupaya menggagalkan pelaksanaan LPI. Mulai dari gugatan hukum hingga pemberian sanksi. Tiga klub, yakni Persibo Bojonegoro, PSM Makassar, dan Persema Malang yang sebelumnya bergabung di ISL, namun tiba-tiba berubah haluan dengan mengikuti LPI, diberi sanksi tegas.
Tak hanya itu, pemain yang klubnya menjadi peserta LPI tidak bisa bergabung di tim nasional alias timnas. Kabar terakhir, Badan Sepakbola Dunia (FIFA) juga akan menjatuhkan sanksi jika liga ini terus bergulir. Kendati mendapat tekanan dan ancaman, LPI terus bergulir. Bahkan, Arifin menanggapi semua persoalan itu dengan santai.
Menyikapi pertentangan ini Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Andi Mallarangeng mencoba bersikap bijak. Sekalipun membantah dirinya lebih mendukung LPI ketimbang PSSI, Menpora menyatakan bahwa Liga Primer adalah ilegal. Menurut Andi, penyelenggaraan LPI diatur dalam Undang-undang Sistem Keolahragaan Nasional (UU SKN) dan Peraturan Pemerintah (PP) tentang Penyelenggaraan Olahraga. Undang-undang itu mendukung terselenggaranya LPI tertuang dalam UU SKN No. 3 Tahun 2005 pada pasal 22 dan 29.
Kompetisi semacam LPI sebenarnya bukan barang baru. Istilahnya breakaway league atau kompetisi sempalan. Breakaway league sudah dikenal sejak akhir 1980-an, terutama di Inggris. Menurut pengurus LPI, kompetisi sempalan dimaksudkan untuk keluar dari kompetisi resmi yang diakui otoritas sepakbola setempat. Ini akibat kekecewaan klub-klub anggota kompetisi yang tak puas atas pelaksanaan liga. Sebabnya bisa macam-macam. Di Inggris dan Italia penyebabnya adalah masalah hak siar.
Secara teori LPI bertujuan mengubah kompetisi agar klub-klub yang terlibat di dalamnya menjadi lebih mandiri dan profesional. Tim-tim yang selama ini menggantungkan biaya dari anggaran daerah atau APBD akan dibebaskan, karena mereka kini akan bergantung kepada konsorsium, yakni PT Liga Primer Indonesia.
Selanjutnya klub akan memperoleh keuntungan dari sponsor dan hak siar. Setiap tim akan memperoleh jatah pendapatan 50 persen dari sponsor. Kemudian 30 persen lain pendapatan klub pada akhir musim dibagi ke 18 dari 19 klub sesuai dengan urutan klasemen. Sedangkan 20 persen pendapatan lain diserahkan ke LPI sebagai administrator.
Salah seorang tim perumus LPI Arya Abhiseka menjelaskan, untuk tahun pertama PT Liga Primer Indonesia berkonsentrasi menggelar LPI. Barulah pada tahun kedua dibuat kompetisi strata kedua di bawah LPI sehingga bisa menerapkan degradasi. Jika tim LPI terdegradasi, otomatis pembagian keuntungannya akan berkurang mengikuti pendapatan strata liga di bawahnya.
"Modelnya seperti Liga Primer Inggris saja. Kalau klub terdegradasi, mereka tidak mendapatkan pembagian keuntungan lagi dari pengelola Liga Primer Inggris melainkan dari Championship Division," lanjut Arya.
Arya menjelaskan, untuk pertama setiap klub akan diberi modal awal dengan jumlah yang berbeda. Maksimal modal akan diberikan untuk lima tahun ke depan. Selanjutnya diharapkan klub bisa berjalan sendiri.
Ia menambahkan, LPI akan berbeda dengan LSI. LSI dikelola oleh PT Liga Indonesia dengan 95 persen saham menjadi milik PSSI sedangkan sisanya dimiliki yayasan milik Nirwan Bakrie.
Terlepas dari semua itu, masyarakat khususnya pecinta sepakbola sepertinya tak terlalu mempedulikan masalah-masalah tersebut. Sederhananya masyarakat bergembira lantaran bakal mendapat tontonan tambahan. Idealnya mereka berharap makin banyaknya kompetisi akan melahirkan pemain-pemain berbakat yang berujung dengan pencapaian prestasi.
Apalagi, saat ini harapan para pencinta sepakbola di Tanah Air tengah melambung seiring dengan munculnya pemain-pemain muda yang memiliki talenta mumpuni. Dan, Kemampuan mereka pun sudah terasah saat berlangsung Piala AFF, beberapa waktu lalu.
Tapi, sayang kiprah beberapa pemain muda itu kini terancam akibat dampak "pertarungan" antara PSSI dengan pihak LPI. Sungguh ironis jika bakat dan kemampuan mereka terbuang sia-sia hanya gara-gara kepentingan sekelompok orang. Pada akhirnya pemain dan para pencinta sepakbola harus menelan kekecewaan, karena sportivitas nyatanya hanya slogan yang tak mampu dilakukan oleh para pengurusnya.
Satu hal lagi, keinginan pengelola LPI yang ingin mewujudkan klub mandiri dan profesional bukanlah pekerjaan mudah. Banyak faktor yang bisa menghalangi cita-cita tersebut. Minimnya sarana dan prasarana hingga kualitas sumber daya adalah persoalan yang hingga sekarang tak pernah terselesaikan.
Meski begitu, jika tujuan liga alternatif ini memang ingin memajukan sepakbola Indonesia, rasanya perlu kita dukung bersama. Namun, andai di balik semua itu ada kepentingan lain yang ingin dicapai, sepertinya LPI hanya akan menambah benang kusut pesepakbolaan di Tanah Air. Selamat berkompetisi!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar