Jakarta - Beragam suara muncul pasca dimulainya kompetisi Liga Primer Indonesia (LPI). Kalau memang membawa misi perubahan, LPI tak perlu memusingkan komentar-komentar itu dan boleh berprinsip: pelan-pelan saja.
Genderang kompetisi LPI sudah ditabuh sejak 8 Januari lalu. Solo FC dan Persema Malang mendapat kehormatan untuk melakoni pertandingan bersejarah itu, dengan Laskar Ken Arok keluar sebagai pemenangnya setelah menang telak 5-1.
Hingga Minggu (16/1) kemarin, LPI baru menyelesaikan enam laga. Meski ada laga yang sempat terhambat izin kepolisian, pada akhirnya keenamnya bisa terselenggara dengan baik.
Komentar publik tanah air atas laga-laga LPI yang sudah digelar terpolarisasi ke dua kutub berlawanan. Banyak yang memberikan apresiasi, tapi tak sedikit pula yang masih mencibirnya.
Yang melontarkan nada pujian kebanyakan menyoroti laga yang berlangsung fair, wasit yang menjalankan tugas dengan baik, pemain yang sportif, dan penonton yang tetap tertib di dalam dan luar stadion.
Sementara yang masih mengeluarkan komentar sinis berpendapat kualitas permainan para pemain LPI masih 'kelas kampung', jauh di bawah para bintang Indonesian Super League (ISL). Kualitas siaran langsung laga LPI juga dihujat, karena masih 'abal-abal' dan kurang sedap di mata pemirsa.
Apapun komentar yang muncul, LPI memang harus menerimanya sebagai konsekuensi dari sebuah perhelatan yang serba pertama. Komentar positif dan negatif tetap harus ditampung, sebagai bahan masukan demi perbaikan di masa depan.
Pujian yang mengalir tak perlu ditanggapi secara berlebihan oleh LPI. Mereka tetap harus menundukkan kepala dan rendah hati. Bisa menggelar enam laga dengan baik bukan berarti misi mereka telah tercapai. Tantangan yang lebih berat sudah menanti di laga-laga berikutnya.
Kualitas wasit yang bagus tentu tak bisa diukur dari beberapa laga saja. Apalagi wasit-wasit yang memimpin laga LPI, seperti Fiator Ambarita (Solo FC vs Persema) dan RA. Mas Agus (Real Mataram vs Bali Devata) adalah sosok yang sudah banyak mengecap asam garam kompetisi Liga Indonesia, jadi bukan hal mengejutkan kalau mereka bisa memimpin laga tanpa banyak cacat.
Penonton sejauh ini bisa tertib? Wajar saja. Dengan usia yang masih sangat muda, LPI tentu belum melahirkan rivalitas antarklub yang tentu akan berujung pada tingginya tensi pertandingan. Bandingkan dengan duel Persija versus Persib atau Persebaya kontra Arema yang potensi rusuhnya cukup besar, karena rivalitas di antara mereka memang telah terbangun sejak lama.
Sementara nada sumbang yang mengejek LPI juga tak perlu dirisaukan. Banyak kekurangan di musim perdana itu lumrah. Namanya juga baru mulai belajar, tentu harus dimaklumi kalau masih belum sesempurna yang diharapkan.
Malah konyol kalau kita membandingan LPI dan ISL secara apple to apple. Memaksa bayi yang baru lahir untuk berlomba dengan bocah yang sudah bisa berlari tentu menggelikan. LPI baru menggelar enam laga, sementara ISL (dan kompetisi bikinan PSSI sebelumnya) sudah merampungkan ribuan pertandingan.
Harusnya kita balik bertanya kepada orang-orang yang mencoba membandingkan LPI dan ISL. Sudah bertahun-tahun bikin kompetisi cuma gitu-gitu aja? Masih ada kungfu di lapangan? Masih ada wasit bisa diintervensi? Masih ada penonton anarkis? Masih ada hukuman yang mencla mencle? Masih ada Ketua PSSI yang bisa membatalkan keputusan Komisi Disiplin seenak perut sendiri?
Bukti paling sahih jelas tersaji dalam laga Persisam kontra Sriwijaya FC, Minggu (16/1/2011) kemarin. Okto Maniani yang notabene andalan timnas dikartumerah gara-gara menanduk wasit Oky Dwi Putra. Entah Okto yang terpancing emosi atau Oky yang tak becus memimpin laga, yang pasti itulah gambaran terkini kompetisi sepakbola tertinggi di tanah air bikinan PSSI.
LPI tetap harus fokus pada misi awalnya untuk membawa sepakbola Indonesia ke arah yang lebih baik. Kalau di tahun-tahun awal ini masih harus dilalui dengan perjuangan yang berdarah-darah itu wajar. Kompetisi tahun 2011 bisa rampung dan semua laga bisa digelar tanpa hambatan saja sudah jadi prestasi yang luar biasa.
Perbaikan demi perbaikan tentu wajib dilakukan LPI seiring berjalannya waktu. Kesalahan-kesalahan yang pernah terjadi akan jadi guru terbaik menuju kompetisi profesional yang telah dijanjikan. Jangan cepat puas dan jangan gentar dengan hujatan yang datang. Tak perlu memasang target tinggi jika memang tak rasional.
Pelan-pelan saja, LPI. Publik tanah air masih sabar menanti perubahan yang kalian janjikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar