Benedict Anderson, seorang peneliti tentang nasionalisme, punya teori bagus dan selalu dikutip: imagined community. Komunitas yang terbayangkan. Dalam teori Anderson ini, sebuah bangsa pada dasarnya adalah sebuah komunitas yang dibayangkan. Saya tinggal di Jember tidak pernah ke Papua atau punya sanak kerabat warga asli Dayak. Namun, kami memiliki perasaan imajinatif, sesuatu perasaan yang terbayangkan, bahwa kami adalah satu bangsa Indonesia.
Teori Anderson ini secara umum bagus dan bisa diperluas untuk menjelaskan fenomena lain tentang sebuah entitas dan komunitas yang melampaui puak. Teori ini juga bisa menjelaskan kepada Kepala Kepolisian Daerah Jawa Timur, tentang mengapa sebagian besar pendukung Persebaya menentang kebijakannya yang mengharuskan tim Bajul Ijo itu berganti nama jika ingin mendapat ijin laga Liga Primer Indonesia.
Hingga tulisan ini dibuat, Kapolda Jatim Badrodin Haiti memang hanya akan memberikan ijin laga awal melawan Bandung FC, jika Persebaya mengubah nama. Alasan yang disajikan salah satunya masalah keamanan.
Persebaya adalah klub sepakbola dengan sejarah panjang. Meminjam istilah para penggemar Barcelona, 'ini bukan sekadar sebuah klub'. Lahir 18 Juni 1927, klub ini sudah menjadi bagian dari pertumbuhan kota ini, dan perjuangan warganya melawan penindasan penjajah. Persebaya menjadi salah satu simbol perlawanan dan identitas kota.
Pasang-surutnya prestasi tidak pernah menyurutkan dukungan terhadap Persebaya. Bahkan, basis pendukung Persebaya meluas melampaui kota Surabaya sendiri. Di Mojokerto, menyebutkan, kaos klub sepakbola yang paling laris adalah kaos bertema Persebaya.
Di Jember, sebuah kota yang berjarak lima jam perjalanan dari Surabaya, ratusan anak mudanya bersedia datang ke Tambaksari untuk menyaksikan langsung tim hijau-hijau. Luasnya dukungan terhadap Persebaya ini bahkan masih terlihat, walau klub ini tidak pernah lagi menjadi juara nasional sejak 2004 dan bahkan sempat bermain di divisi setingkat di bawah kasta tertinggi.
Saat Persebaya dipaksa degradasi dari Liga Super Indonesia oleh PSSI musim lalu, pengurus mendapat dukungan penuh dari Bonek untuk melakukan perlawanan. Di Jakarta, sejumlah Bonek berunjukrasa di depan kantor PSSI dan KONI. Aksi tanda tangan dan cap jempol darah digalang di Surabaya. Terakhir, Bonek berunjukrasa dan menyampaikan pernyataan sikap di markas FIFA di Swiss, serta melaporkan karut-marutnya sepakbola nasional secara umum di bawah kepemimpinan Nurdin Halid.
Dukungan penuh dan heroik juga diberikan saat pengurus Persebaya di bawah kepemimpinan Saleh Ismail Mukadar memulai era baru, dan memilih bergabung dengan Liga Primer Indonesia. Ancaman PSSI untuk memberikan sanksi berat kepada Persebaya yang memilih keluar dari Divisi Utama tak dihiraukan. Seorang Bonek pernah mengatakan kepada saya: biarpun Persebaya didegradasi ke Divisi 100 sekalipun, asalkan itu karena melawan kesewenang-wenangan Nurdin Halid, ia tetap akan mendukung.
Sejarah Ganti Nama
Menilik sejarahnya, pergantian nama Persebaya bukanlah barang haram. Namun, harus diingat pula, pemberian nama tertentu terhadap klub ini mengandung makna historis fase perjuangan bangsa, dan bukan asal mengubah nama.
Awal berdiri, Persebaya memakai nama berbahasa Belanda, yakni Soerabaia Indonesische Voetbal Bond. Penggunaan nama Indonesische atau Indonesia ini bukan asal tempel, karena untuk menunjukkan identitas pembeda dan perlawanan dengan klub lain bikinan Belanda, Soerabaia Voetbal Bond.
Nama ini kemudian 'dinasionalisasi' menjadi Persatoean Sepakbola Indonesia Soerabaja (Persibaja). Sekali lagi, penggunaan nama Indonesia dilekatkan sebagai identitas bangsa dan negara yang masih muda dan baru merdeka. Tahun 1960, nama Persibaja diubah menjadi Persebaya. 'Indonesia' dihilangkan, karena ada penilaian Indonesia sudah merdeka, sehingga Persebaya tak perlu melakukan pembedaan dengan klub lain. Nama Persebaya bertahan hingga saat ini.
Dari sini jelas, mengubah nama Persebaya (sekali lagi) saat memasuki Liga Primer Indonesia tentu tidaklah haram. Namun, untuk kali ini, nama dan perubahannya bukanlah hal sederhana. Pengurus dan pendukung Persebaya LPI menolak mengubah nama, karena mengubah nama berarti mengakui kebenaran langkah PSSI dan menyatakan kalah terhadap intervensi dari kepengurusan Nurdin Halid.
Jika saja perubahan nama ini dilakukan di tengah suasana klub yang kondusif dan tanpa ada dualisme, mungkin prosesnya tidak akan sealot sekarang. Mungkin ada ketidaksetujuan, namun tak akan ada perlawanan keras. Boleh jadi dalam suasana damai, Persebaya bisa saja memodifikasi nama menjadi Persebaya United, Persebaya FC, atau bahkan mungkin Surabaya FC.
Saat ini bagi pengurus Persebaya dan Bonek, memertahankan nama Persebaya adalah bagian dari ikhtiar perlawanan terhadap kezaliman PSSI. Sebagaimana teori Anderson, Persebaya mendadak menjadi pengikat sebuah komunitas yang terbayangkan dalam sebuah perjuangan reformasi sepakbola Indonesia.
Diakui atau tidak, keputusan Persebaya melawan dan mundur dari Divisi Utama, jauh-jauh hari sebelum Liga Primer Indonesia bisa dipastikan digelar, adalah sebentuk keberanian luar biasa. Padahal, bagi Persebaya, tak sulit tentunya untuk kembali ke Liga Super pada musim berikutnya.
Jika saja LPI berhasil diganjal dan Persebaya urung bermain di Divisi Utama, maka bisa dipastikan klub ini akan terdegradasi ke Divisi I. Namun dalam sejarahnya di masa perang kemerdekaan, rakyat kota ini memang tak pernah mengenal 'berkaki dua' atau bersikap abu-abu dalam melawan.
Surabaya tak tertaklukkan. Justru akhirnya PSSI yang keder, dan melakukan politik belah bambu: membuat Persebaya terpecah dua. Persebaya versi Wisnu Wardhana yang direstui PSSI memilih tetap bermain di Divisi Utama. Para pemain dan pelatih pun dicabut dari Persatuan Sepakbola Indonesia Kutai Barat (Persikubar). Divisi Utama musim ini baru digelar setelah beberapa kali mundur dari jadwal, setelah Persebaya Wisnu Wardhana ini dipastikan mengikuti kompetisi. Tentunya dengan mengorbankan Persikubar yang kehilangan sebagian besar anggota skuadnya untuk mengikuti Divisi Utama.
Belakangan Persebaya beraroma Persikubar ini yang lebih diakui oleh Polda Jatim, entah apa alasannya. Persebaya versi Wisnu Wardhana ini bisa melenggang menyelenggarakan pertandingan dengan menggunakan nama Persebaya. Sementara, Persebaya yang menyeberang ke Liga Primer Indonesia justru dipaksa berganti nama. Dalam pertandingan amal melawan Indo Holland, Persebaya terpaksa berganti nama menjadi Surabaya FC.
Kapolda khawatir, jika ada dua nama Persebaya yang diberi izin, bisa mengancam keamanan. Namun, fakta bicara, terpecahnya Persebaya tidak memunculkan benturan fisik di akar rumput. Tidak ada benturan keras sesama Bonek sebagaimana dikhawatirkan.
Warga Surabaya dan pendukung Persebaya punya cara sendiri untuk melawan. Mereka memboikot pertandingan Persebaya Divisi Utama. Tidak pernah dalam sejarah sepakbola Surabaya, saya melihat pemboikotan yang semasif ini. Terakhir, Bonek memboikot Persebaya adalah saat melakukan sepakbola gajah melawan Persipura di Tambaksari musim kompetisi perserikatan 1987/1988. Saat itu, Stadion Gelora 10 Nopember nyaris kosong. Padahal, kala itu, sekali main di kandang, biasanya penonton bisa mencapai 40 ribu lebih dan meluber hingga sentelban.
Kejadian itu terulang lagi. Persebaya Divisi Utama kesulitan mengumpulkan penonton dalam jumlah besar. Jangankan 20 ribu orang, menembus 10 ribu saja sulitnya minta ampun. Bahkan, penonton yang datang pernah hanya sekitar dua ribu orang. Padahal, panitia pelaksana sudah menurunkan harga tiket.
Sebaliknya, Persebaya yang bertanding di Liga Primer justru mampu membetot penonton lebih banyak. Bermain di laga amal 10 November 2010, saat hari kerja (rabu malam), dengan harga tiket lebih mahal daripada harga tiket Persebaya Divisi Utama, penonton berjejal. Saat itu panitia pelaksana meraup keuntungan sekitar Rp 300 juta.
Jika sebuah pertandingan sepakbola adalah sebuah referendum terhadap sebuah pilihan, maka jumlah penonton Persebaya Divisi Utama dan Persebaya Liga Primer sudah menunjukkan mana yang lebih diakui dan dicintai. Persebaya Divisi Utama bisa memenangkan hati Kapolda Jatim, namun tak pernah bisa memenangkan hati pendukung Persebaya.
Di luar intervensi PSSI dan desakan Kapolda Jatim agar Persebaya LPI berganti nama, ada desakan lain pula untuk berganti nama. Nama Persebaya dinilai kurang komersial di era sepakbola profesional dan kapitalistis. Secara umum, nama-nama klub di Indonesia (bekas perserikatan) memang cenderung monoton karena diawali dengan perse (persatuan sepakbola) atau persi (persatuan sepakbola Indonesia).
Ada banyak usulan nama baru yang cukup keren dan berbau 'English', seperti Surabaya Football Club, Surabaya United Football Club, atau nama lainnya. Pergantian nama ini diperkirakan akan lebih membuat Persebaya 'menjual' di mata sponsor.
Tapi benarkah dengan berganti nama, Persebaya akan lebih komersial? Ini yang kemudian bisa diperdebatkan. Nama sebuah merek (brand) dalam bisnis sepakbola terbentuk karena perjalanan panjang dan prestasi. Nama Persebaya, tanpa harus diubah sekalipun, masih menjadi jaminan mutu dalam sepakbola nasional kita.
Saya meyakini, stasiun televisi memberikan jatah siaran langsung kandang terbanyak dalam Liga Super musim 2009/2010 kepada Persebaya bukanlah tanpa alasan ekonomis. Jika alasan teknis yang digunakan, stadion di Bandung dan Jakarta cukup representatif untuk siaran sepakbola. Namun Persebaya justru mendapat jatah lebih banyak, walaupun klub ini baru promosi dari Divisi Utama. Dan memang benar, siaran langsung laga Persebaya versus Persib musim lalu mencapai angka share 20.
Menjualnya nama itukah berada di balik politik belah bambu yang memecah-belah Persebaya? Bisa jadi. Yang terang, diakui atau tidak, Persebaya adalah salah satu klub di Indonesia yang memiliki jumlah penggemar yang besar.
Llano Mahardika, yang saat ini menangani bisnis Persebaya untuk Liga Primer Indonesia, juga enggan ganti nama karena menyangkut 'imagined community'. Dalam laman Facebooknya, ia menulis:
"Kalo ganti/nambah nama, mending bikin klub baru aja, ngapain konsorsium capek-capek berurusan membantu Saleh, Cholid dan pengurus-pengurus persebaya? Karena Persebaya itu sebuah kebanggaan entitas yang besar...Kalo masih ada yg usul nerimo perlakuan kayak gitu..berarti mana integritasnya..."
Penyelesaian Sengketa
Bagaimana menyelesaikan sengketa ini? Kekhawatiran Kapolda bahwa dualisme Persebaya ini bakal memunculkan konflik horisontal sejauh ini tak menemui kenyataan. Maka, alangkah baiknya jika kepolisian memberikan ijin penyelenggaraan kepada Persebaya di Liga Primer Indonesia tanpa mengubah nama. Biarkanlah rakyat Surabaya memilih, mana Persebaya yang akan didukung. Dalam terma kapitalisme: biarkan pasar yang menentukan pilihan.
Menghalangi Persebaya memakai namanya di Liga Primer justru dikhawatirkan memunculkan kerawanan. Saat ini, di laman-laman grup Facebook milik Bonek sudah muncul seruan agar melakukan aksi unjukrasa di markas Polda karena persoalan nama tersebut. Kita tentu tak ingin ini terjadi, mengingat situasi selama ini sudah kondusif. Jangan sampai urusan nama ini membenturkan warga dengan kepolisian.
Penyelesaian lain tentu saja di jalur pengadilan. Dua kubu yang sama-sama mengklaim nama Persebaya harus bertarung di hadapan hakim. Biarkanlah hakim yang menentukan. Ini alternatif sulit tapi terpaksa dilakukan. Selama proses hukum itu, nama Persebaya boleh digunakan oleh dua kubu.
Yang terang, hari ini, dengan teori Imagined Community, publik tahu: Persebaya mana yang berhasil mengikat warga Surabaya dan pendukungnya dalam ikatan imajinatif. "Persebaya yang ada Mat Halil, Andik Vermansyah, Endra Pras, pelatihnya Aji Santoso, pemain asingnya John Tarkpor, dan tukang pijatnya Mat Drai..." demikian tulis salah satu penggemar Persebaya di sebuah laman Facebook. karena Identitas, memang tak akan tergantikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar