Polemik mengenai Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) tiada habis dan berseri-seri. Kongres tahunan PSSI di Bali beberapa hari lalu dinilai sebagai kongres pendahuluan untuk mengokohkan rezim sekarang berkuasa kembali pada munas PSSI sekitar bulan April mendatang di Pulau Bintan. Rezim Nurdin Halid dan konco-konconya mencoba terus bertahan di tahta PSSI, kendati suara dari luar yang menghendaki reformasi dan perubahan makin kencang.
Mungkinkah ada perubahan dan reformasi di PSSI? Mengharapkan perubahan dari dalam tampaknya sangat sulit sekali. Pengaruh dan cengkeraman Nurdin Halid pada pemilik suara di munas PSSI nanti sangat kuat. Apalagi, pola kepemimpinan Nurdin Halid akhir-akhir ini cenderung bersifat legalistik dan keras. Jika ada klub yang terbukti melanggar, maka sanksi tegas bakal dijatuhkan, tanpa kita tahu apakah sebelumnya ada kesempatan melakukan tabayyun atau tidak.
Ya, itulah langgam kepemimpinan organisasi yang sedang terpojok ketika publik menilai organisasi itu seharusnya segera ada perubahan reformasi. Yang lebih membuat dongkol banyak kalangan adalah keberadaan keberadaan PSSI yang sudah menjadi alat politik partai tertentu. Hal itu seperti dikatakan Wakil Ketua DPR RI dari PDIP Pramono Anung Wibowo. Politikus dari Kediri, Jatim itu mengatakan, kecenderungan PSSI sebagai alat politik Partai Golkar bisa dilihat dari statement Nurdin Halid--yang juga politikus Partai Golkar--bahwa keberhasilan Timnas sekarang karena kepemimpinannya dan Partai Golkar. "PSSI tak boleh menjadi alat politik karena sebenarnya organisasi ini adalah milik bersama," kata Pram.
Politisasi sepakbola nasional dan PSSI juga sangat kental di ajang Piala AFF di Jakarta beberapa bulan lalu. Bermunculan spanduk dan media peraga lain yang isinya mendukung Nurdin Halid. Di sisi lain, banyak juga media peraga yang secara substansi mengecam kepemimpinan Nurdin Halid dan jangan berikan kesempatan kepada politikus Partai Golkar dari Sulsel ini memimpin kembali PSSI. Sepakbola menjadi ajang pertarungan berdimensi politik. Realitas ini sungguh membahayakan bagi pembinaan dan bangunan prestasi sepakbola di masa depan.
Semua stakeholders sepakbola nasional mesti berjuang keras agar jangan sampai PSSI dan sepakbola nasional menjadi alat politik. Karenanya, PSSI harus dikembalikan ke khittahnya sebagai organisasi apolitis dan berada di ranah teknis pembinaan, pengembangan, dan pembangunan prestasi sepakbola nasional. Makna kembali ke khittah PSSI dalam konteks ini adalah pola sikap, perilaku, tindakan, dan kebijakan PSSI harus mencerminkan dirinya sebagaimana organisasi olahraga yang bersifat apolitis, tak diskriminatif, fairplay, dan sportif. Jangan ada vested interest kelompok manapun dalam kaitan PSSI dan menjadikan organisasi ini sebagai alat politik kelompok dan pribadi.
Memang, di era Presiden Soekarno, proklamator kemerdekaan RI ini menjadikan PSSI sebagai alat perjuangan bangsa. Bukan alat kepentingan politik pribadi maupun kelompok pro Bung Karno. Bung Karno sengaja melobi kepada Presiden Yugoslavia ketika itu, Broz Tito untuk membantu Indonesia mencari pelatiha berkualitas bagi Timnas. Datanglah Tony Pogacnik yang mengarsiteki Timnas Indonesia era tahun 1950-an dan sampai 1960-an. Indonesia menjadi macan Asia bersanding dengan Hongkong. Saat itu sepakbola Korsel, Jepang, Irak, Iran, Saudi Arabia, dan negara lainnya tak ada apa-apanya dengan Indonesia.
Timnas Indonesia di era Bung Karno memang menjadi alat perjuangan politik di level internasional, mengingat Bung Karno adalah tokoh penting di antara negara-negara Dunia Ketiga dan Non Blok. Bung Karno jadi tokoh Asia dan Afrika yang disegani dan pengaruhnya luas. Hubungan pribadi Bung Karno dengan banyak tokoh dunia negara-negara Dunia Ketiga terajut erat, seperti dengan Presiden Yugoslavia Broz Tito, Perdana Menteri India Jawaharlal Nehru, Presiden mesir Gamar Abdul Nasser, Perdana Menteri Pakistan Ali Jinnah, dan banyak tokoh dunia lainnya. Sepakbola menjadi alat perjuangan bagi Bung Karno di level internasional untuk meneguhkan dan mengokohkan posisi tawar Indonesia vis a vis negara lain. Di ranah domestik, organisasi PSSI berjalan normal dan minim konflik, karena semua stakeholders dunia sepakbola nasional bersepakat dengan mindset perjuangan Bung Karno atas sepakbola. Indonesia disegani di level internasional dan prestasi sepakbola di kancah dunia pun moncer.
Bagaimana realitas sekarang? Kondisinya berbanding terbalik dengan era Bung Karno dulu. Kini, prestasi sepakbola di level internasional jeblok. Di ranah domestik, sepakbola ada kecenderungan dipolitisasi untuk kepentingan partai tertentu. Bahkan, lebih ekstrim untuk klan oligarki keluarga tertentu. Sepakbola nasional dalam kondisi tragis dan mengenaskan. Ada kelompok tertentu yang ingin terus-menerus dan abadi mengangkangi PSSI. Padahal, prestasinya jelas-jelas jeblok.
Spirit kejuangan semua stakeholders sepakbola nasional sangat dibutuhkan dalam konteks ini. Sepakbola dan PSSI sebagai organizernya harus dikembalikan ke khittah dan ke jatidiri awal pendiriannya: PSSI sebagai organisasi apolitis, fairplay, tak diskriminatif, sportif, dan netral. Strategi mencapai itu bisa dengan jalan konstitusional maupun ekstrakonstitusional. Kejatuhan rezim Soeharto tahun 1998 bisa pelajaran penting yang harus dipetik hikmahnya. Kapan?
Mungkinkah ada perubahan dan reformasi di PSSI? Mengharapkan perubahan dari dalam tampaknya sangat sulit sekali. Pengaruh dan cengkeraman Nurdin Halid pada pemilik suara di munas PSSI nanti sangat kuat. Apalagi, pola kepemimpinan Nurdin Halid akhir-akhir ini cenderung bersifat legalistik dan keras. Jika ada klub yang terbukti melanggar, maka sanksi tegas bakal dijatuhkan, tanpa kita tahu apakah sebelumnya ada kesempatan melakukan tabayyun atau tidak.
Ya, itulah langgam kepemimpinan organisasi yang sedang terpojok ketika publik menilai organisasi itu seharusnya segera ada perubahan reformasi. Yang lebih membuat dongkol banyak kalangan adalah keberadaan keberadaan PSSI yang sudah menjadi alat politik partai tertentu. Hal itu seperti dikatakan Wakil Ketua DPR RI dari PDIP Pramono Anung Wibowo. Politikus dari Kediri, Jatim itu mengatakan, kecenderungan PSSI sebagai alat politik Partai Golkar bisa dilihat dari statement Nurdin Halid--yang juga politikus Partai Golkar--bahwa keberhasilan Timnas sekarang karena kepemimpinannya dan Partai Golkar. "PSSI tak boleh menjadi alat politik karena sebenarnya organisasi ini adalah milik bersama," kata Pram.
Politisasi sepakbola nasional dan PSSI juga sangat kental di ajang Piala AFF di Jakarta beberapa bulan lalu. Bermunculan spanduk dan media peraga lain yang isinya mendukung Nurdin Halid. Di sisi lain, banyak juga media peraga yang secara substansi mengecam kepemimpinan Nurdin Halid dan jangan berikan kesempatan kepada politikus Partai Golkar dari Sulsel ini memimpin kembali PSSI. Sepakbola menjadi ajang pertarungan berdimensi politik. Realitas ini sungguh membahayakan bagi pembinaan dan bangunan prestasi sepakbola di masa depan.
Semua stakeholders sepakbola nasional mesti berjuang keras agar jangan sampai PSSI dan sepakbola nasional menjadi alat politik. Karenanya, PSSI harus dikembalikan ke khittahnya sebagai organisasi apolitis dan berada di ranah teknis pembinaan, pengembangan, dan pembangunan prestasi sepakbola nasional. Makna kembali ke khittah PSSI dalam konteks ini adalah pola sikap, perilaku, tindakan, dan kebijakan PSSI harus mencerminkan dirinya sebagaimana organisasi olahraga yang bersifat apolitis, tak diskriminatif, fairplay, dan sportif. Jangan ada vested interest kelompok manapun dalam kaitan PSSI dan menjadikan organisasi ini sebagai alat politik kelompok dan pribadi.
Memang, di era Presiden Soekarno, proklamator kemerdekaan RI ini menjadikan PSSI sebagai alat perjuangan bangsa. Bukan alat kepentingan politik pribadi maupun kelompok pro Bung Karno. Bung Karno sengaja melobi kepada Presiden Yugoslavia ketika itu, Broz Tito untuk membantu Indonesia mencari pelatiha berkualitas bagi Timnas. Datanglah Tony Pogacnik yang mengarsiteki Timnas Indonesia era tahun 1950-an dan sampai 1960-an. Indonesia menjadi macan Asia bersanding dengan Hongkong. Saat itu sepakbola Korsel, Jepang, Irak, Iran, Saudi Arabia, dan negara lainnya tak ada apa-apanya dengan Indonesia.
Timnas Indonesia di era Bung Karno memang menjadi alat perjuangan politik di level internasional, mengingat Bung Karno adalah tokoh penting di antara negara-negara Dunia Ketiga dan Non Blok. Bung Karno jadi tokoh Asia dan Afrika yang disegani dan pengaruhnya luas. Hubungan pribadi Bung Karno dengan banyak tokoh dunia negara-negara Dunia Ketiga terajut erat, seperti dengan Presiden Yugoslavia Broz Tito, Perdana Menteri India Jawaharlal Nehru, Presiden mesir Gamar Abdul Nasser, Perdana Menteri Pakistan Ali Jinnah, dan banyak tokoh dunia lainnya. Sepakbola menjadi alat perjuangan bagi Bung Karno di level internasional untuk meneguhkan dan mengokohkan posisi tawar Indonesia vis a vis negara lain. Di ranah domestik, organisasi PSSI berjalan normal dan minim konflik, karena semua stakeholders dunia sepakbola nasional bersepakat dengan mindset perjuangan Bung Karno atas sepakbola. Indonesia disegani di level internasional dan prestasi sepakbola di kancah dunia pun moncer.
Bagaimana realitas sekarang? Kondisinya berbanding terbalik dengan era Bung Karno dulu. Kini, prestasi sepakbola di level internasional jeblok. Di ranah domestik, sepakbola ada kecenderungan dipolitisasi untuk kepentingan partai tertentu. Bahkan, lebih ekstrim untuk klan oligarki keluarga tertentu. Sepakbola nasional dalam kondisi tragis dan mengenaskan. Ada kelompok tertentu yang ingin terus-menerus dan abadi mengangkangi PSSI. Padahal, prestasinya jelas-jelas jeblok.
Spirit kejuangan semua stakeholders sepakbola nasional sangat dibutuhkan dalam konteks ini. Sepakbola dan PSSI sebagai organizernya harus dikembalikan ke khittah dan ke jatidiri awal pendiriannya: PSSI sebagai organisasi apolitis, fairplay, tak diskriminatif, sportif, dan netral. Strategi mencapai itu bisa dengan jalan konstitusional maupun ekstrakonstitusional. Kejatuhan rezim Soeharto tahun 1998 bisa pelajaran penting yang harus dipetik hikmahnya. Kapan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar