Senin, 10 Januari 2011

Reformasi Sepakbola Indonesia

Tulisan oleh :
Bpk. Bambang Subianto
Alumni ITB, Alumni Menwa Batalyon I/ITB
---
... Seharusnya tidak perlu diributkan adanya dua liga -LSI dan LPI-. LSI diorganisir oleh PSSI-nya Nurdin Halid, LPI disponsori oleh Arifin Panigoro, Ekek angkatan 2. Jadi secara apriori kita boleh harapkan LPI akan punya "governance" yang lebih baik dari LSI.

PSSI seharusnya dengan senang hati dan tangan terbuka menerima digelarnya LPI, karena hal itu akan menambah jumlah pertandingan sepakbola di Indonesia. Lihat di Inggris misalnya, ada Premier League, ada FA Cup, ada kejuaraan piala Carling. Belum lagi turnamen-turnamen divisi 2 dan divisi 3, sampai turnamen level junior. Itu buat Inggris yang secara geografis jauh lebih kecil dibandingkan Indonesia. Kalau di Indonesia hanya hanya ada dua turnamen reguler tentu sangat kurang.

Kalau kita menengok ke belakang, dimasa lalu PSSI pernah jaya, boleh dibilang seimbang dengan Korea Selatan dan Myanmar (dulu Birma kuat). Thailand, Jepang, Singapura nggak masuk hitungan, bahkan Malaysia baru belajar main bola dan tidak bisa menang dari kesebelasan PSIS Solo. Jaman dulunya lagi, tahun 1936, kesebelasan Hindia Belanda sudah ikut putaran final Piala Dunia, walaupun hanya bisa bertahan satu kali pertandingan (sistim gugur, kalah dari Magyar/Hongaria). Lihat di web site-nya FIFA. Tahun 1950-1960 ada nama-nama beken yang waktu itu semua orang kenal (Ramang, Ramlan, Ramli, Omo, Witarsa, Liong How, Kiat Sek, Saelan, dsb), yang menahan kesebelasan Rusia di Olympic Melbourne, 1958. Di tahun-tahun menjelang Asian Games III (1962), kesebelasan PSSI sesungguhnya sudah menjadi sangat kuat. Waktu itu ada dua tim yang dipersiapkan oleh Tony Pogacnic (orang Yugoslavia -Serbia- yang menetap di Indonesia), yaitu tim PSSI Banteng (kapten Saelan, tim Omo, Witarsa, Hengky Timisela, Liong How, Kiat Sek, Him Tjiang, Fatah Hidayat, Moersabdo -yang kemudiannya jadi marsekal di AURI- dll) dan Tim Garuda (kapten Bob Hippy, tim Yudo Hadianto, Anjiek, Sony Sandra, Yacob Sihasale, dsb). Sayang dua tim yang sangat kuat ini dibubarkan karena terkena skandal suap, sehingga di Asian Games III PSSI memainkan tim baru yang belum siap, kalah.

Perhatikan, ketika itu PSSI sangat kuat sense of governancenya dan sportivitasnya : punya dua tim sangat kuat, Asian Games III tinggal beberapa bulan (September 1962), 2 tim yang sangat kuat itu tetap dibubarkan karena ada yang curang (Pebruari atau Maret 1962) . Sikap macam ini mana mungkin terjadi di zaman sekarang.

Walaupun 2 tim yang kuat sudah dibubarkan, kita menyaksikan bintang-bintang baru bermunculan, dan PSSI segera menjadi kuat lagi. Dipelopori oleh Sucipto Suntoro, kemudian ada Dirhamsyah, lalu muncul nama-nama baru seperti Iswadi Idris, Abdul Kadir dan Roni Paslah, yang digabung dengan eks PSSI Garuda yang masih aktif (antara lain Yudo Hadianto, Yacob Sihasale) membuat PSSI mampu merajalela di Asia Tenggara. Waktu itu ada dua turnamen yang secara reguler digelar di Asia Tenggara, yaitu Kings Cup di Bangkok dan Merdeka Games di Kuala Lumpur. Masa jaya ini masih berlanjut sampai generasi Roni Patinasarani, Andi Lala, Risdianto, Sofyan Hadi, Anjas Asmara  . . . . . dan PSSI sempat ditangani oleh Wiel Coerver (kalau tidak salah tadinya melatih Feyenoord - Nederland). Sayang sesudah periode itu, prestasi PSSI merosot terus . . . . sampai sekarang.

Mengapa dulu PSSI bisa relatif stabil performancenya, dan banyak pemain bola yang piawai. Saya berpendapat bahwa hal itu berlangsung karena di masa itu ada banyak sekali klub sepakbola, dan banyak sekali turnamen reguler diselenggarakan. Kesebelasan yang termasuk "elit" di Indonesia ada beberapa : Persija, PSM, PSMS, Persebaya dan Persib. Juara Indonesia biasanya salah satu dari lima kesebelasan tersebut. Di Jakarta saja ada banyak klub sepak bola, misalnya yang di divisi utama Persija antara lain UMS, Indonesia Muda, Setia, Bintang Timur, Chung Hua, Hercules dan sebagainya yang saya sudah lupa namanya, dengan turnamen kejuaran Persija yang digelar secara reguler sepanjang tahun. Berita mengenai pertandingan dan posisi klub dalam turnamen Persija bisa dibaca di surat kabar. Kalau dihitung jumlah pertandingan pada tingkat kejuaraan Persija saja sudah banyak sekali. Hal yang sama juga berlangsung di Medan, Makasar, Bandung (ada UNI dan PSAD) dan Surabaya. Dapat dipastikan banyak sekali jumlah pertandingan yang diselenggarakan pada tingkat kota. Di situlah para pemain ditempa dan dibesarkan. Lima kesebelasan menjadi kesebelasan elit di Indonesia karena di kota-kota tersebut (Jakarta, Bandung, Medan, Surabaya dan Makasar) terdapat banyak klub dan banyak pertandingan.

Puncak dari kejuaraan sepak bola di Indonesia dahulu adalah kejuaraan PSSI. Yang bertanding adalah klub kota (Persija, Persib, PSM, PSMS, Persebaya). Ketika sepakbola profesional mulai diterapkan di Indonesia, melalui pertandingan Liga, tatanan lama nampaknya juga dilupakan. Kejuaraan liga adalah kejuaraan antar klub. Ini ya boleh-boleh saja. Yang patut disayangkan adalah tidak adanya pemikiran untuk mendudukkan turnamen-turnamen sepakbola itu agar memiliki struktur yang baik. Lihatlah, Persija, PSM, Persib, Persebaya, PSMS semuanya berubah menjadi sebuah klub, bukan lagi perkumpulan yang menaungi klub-klub di kota-kota tersebut. Hal ini mungkin menjelaskan kenyataan bahwa kita tidak lagi melihat adanya turnamen kejuaraan Persija, kejuaraan PSMS, kejuaraan Persib, dsb. Artinya beberapa "layer" turnamen sepakbola pada tingkat lokal secara berangsur-angsur hilang. Yang ada hanya turnamen pada tingkat nasional. Maka kita tidak lagi mengenal pemain sepak bola, mungkin banyak yang muncul secara karbitan. Backbone dari sepakbola di Indonesia sudah hilang. Backbonenya adalah klub lokal dan turnamen lokal.

Indonesia adalah negara yang luas geografisnya sangat besar. Dari ujung ke ujung setara dengan Amerika Serikat, setara juga dengan jarak dari London sampai Teheran. Berarti biaya untuk sebuah turnamen antar klub pada skala nasional tentu sangat besar. Hitung saja biaya transpornya. Kejuaraan pada tingkat nasional seharusnya adalah puncak dari kerucut dari sebuah sistem kompetisi. Di Indonesia ada kejuaraan pada tingkat nasional, tetapi kerucutnya tidak ada, backbonenya tidak ada. Kalau seperti ini diteruskan, silahkan kecewa terus dengan prestasi PSSI.

Perbaikan pengorganisasian persepakbolaan Indonesia harus dilakukan. Semangat sportivitas harus ditumbuhkan, kerucut sistem turnamen harus dibangun kembali. Klub seharusnya tidak langsung menginduk ke PSSI, tetapi ke persatuan sepakbola lokal. Intensitas turnamen lokal diperbanyak dan diselenggarakan secara reguler. Hanya klub terbaik pada tingkat lokal yang berhak bertanding pada skala nasional. Jenjang itu seharus ada dan dipelihara baik-baik. Jenjang seperti itu diterapkan di Eropa.

Jadi, kalau hanya ditambah satu LPI saja nggak usah ribut lah, masih sangat kurang jumlah turnamen, dan masih sangat lemah tatanan kerucut kejuaraan sepakbola di Indonesia ini. Selamat kepada Arifin untuk upayanya mendobrak kebuntuan. Ongkosnya tentu besar. Yang ditunggu adalah penyempurnaan organisasi dan struktur turnamen yang berjenjang di Indonesia.

Sori panjang, sudah lama penasaran.

Salam,
Bambang Subianto

---
Tulisan dikopi dan diforward atas seizin beliau dengan pesan "Please, mangga, mudah-mudahan bermanfaat."
salam,
Enrico Aryaguna

Tidak ada komentar:

Posting Komentar