Mata ini sudah lelah, telinga ini sudah panas. Setiap hari harus melihat, mendengar dan membaca berita perseteruan PSSI dan pengelola Liga Primer Indonesia (LPI). Perseteruan yang terus memanas dalam dua minggu ini. Padahal seluruh elemen baru saja bersatu dalam mendukung Timnas di Piala AFF. Lalu, kapan bersatunya?
Setelah gelaran Piala AFF rampung akhir Desember 2010 lalu, suhu sepakbola di tanah air memanas seiring digulirkannya LPI, kompetisi yang saat ini dianggap ilegal dan kelas antar kampung (tarkam) oleh PSSI. Akibatnya, pecinta sepakbola Indonesia kembali terpecah belah. Ada yang pro PSSI dengan Nurdin Halidnya ada pula yang mendukung LPI dengan Arifin Panigoronya.
Perpecahan juga terjadi dalam tubuh pendukung PSSI. Satu sisi, banyak kalangan yang tetap setiap dan tidak ingin PSSI hancur hanya karena keberadaan LPI. Namun mereka tetap menginginkan terjadinya revolusi besar-besaran di tubuh organisasi sepakbola nomor satu di Indonesia ini. Mereka mendesak agar Nurdin beserta jajarannya turun dari kursi panas PSSI.
Sama halnya dengan pendukung PSSI yang penulis sebutkan di atas, pendukung PSSI lainnya tetap menginginkan PSSI eksis. Bedanya, pendukung ini masih menghendaki bahkan menginginkan Nurdin menjabat sebagai Ketua Umum PSSI. Kebanyakan kubu ini berasal dari kalangan pengurus sepakbola, semisal Ketua Umum PSSI Makassar, Kadir Halid.
Sedangkan untuk pendukung setiap LPI, kebanyakan berasal dari mereka yang kecewa dengan kinerja PSSI selama dipimpin Nurdin Halid. Bagaimana tidak, sejak dipilih tahun 2003 lalu, Nurdin tidak bisa memberikan prestasi untuk Indonesia. Ia hanya mengklaim kompetisi di bawah koordinasi PT Liga Indonesia sebagai salah satu terbaik di Asia.
Ah, bosan rasanya mendengar persaingan tanpa ujung ini. Apalagi keduanya sama-sama kepala batu. LPI, sebagai liga baru di Indonesia menganggap dirinya sebagai liga yang bersih dan berbasis profesional. Tak tanggung-tanggung, banyak orang yang mengklaim LPI sebagai cikal bakal Barclays Premier League-nya Indonesia.
Meski begitu bukan berarti LPI tidak memiliki celah. Sebagai liga baru, sangat prematur bila kita langsung mencap LPI sebagai liga terbaik. Sebab liga yang digagas Arifin Panigoro ini baru berjalan tiga pertandingan. Selain itu, banyak yang menganggap gerakan LPI sangat brutal dengan menabrak tembok organisasi PSSI yang selama ini dianggap sakral.
LPI mayoritas berisikan klub-klub baru yang tidak jelas kekuatannya. Meski beberapa pemain berkelas sudah didatangkan, tapi tidak mereduksi anggapan sebagian masyarakat bahwa LPI sekadar pertandingan hiburan semata. Bedanya, klub-klub pesertanya menggunakan tenaga pemain dengan bayaran tinggi.
Bahkan akibat LPI, Indonesia di ambang moratorium. Yakni hukuman absen di semua kompetisi internasional selama dua hingga lima tahun. Di satu sisi memang sangat merugikan. Tapi di sisi lain moratorium bisa menjadi awal atau ajang untuk melakukan 'penyembuhan' terhadap penyakit yang mendera sepakbola nasional.
PSSI juga tak kalah keras kepalanya dengan LPI. Menganggap dirinya paling benar -tanpa bercermin dulu- PSSI tanpa ba bi bu langsung menghukum LPI dengan menyebut sebagai liga ilegal, liga kampungan atau liga tidak ada promosi dan degradasi serta tak jelas muara kompetisinya. Padahal, tim yang berkompetisi di bawah PSSI juga tidak bisa dibanggakan.
Mau contoh? Jawara Superliga 2008/2009, Persipura adalah satu satu tim kuat di Indonesia. Bahkan beberapa pihak penyebut Tim Mutiara Hitam, julukan Persipura, adalah klub paling kuat di Indonesia hingga saat ini. Sayangnya, peforma Persipura selama berkecimpung di liga seperti tiada artinya di level Asia.
Selasa, 9 Maret 2010 silam, anak asuh Jacksen F Tiago digebuk tim asal China, Changchun Yatai dengan skor telak 9-0 dalam matchday kedua Liga Champions Asia. Pertanyaannya, mengapa Persipura yang notabene berasal dari -kata Nurdin- salah satu liga terbaik di Asia, justru kalah dengan skor hampir selusin. Masalah adaptasi cuaca kah? Ah itu alasan klasik. Jelas kualitas tim-tim kita hanya sekelas tim papan bawah di level Asia.
PSSI juga terkesan enggan membuka tangan untuk LPI. Meski pihak LPI sudah meminta izin untuk berafilisasi, tapi hingga saat ini PSSI belum menjawab. Kalau boleh penulis prediksi, mungkin tidak akan pernah ada jawaban dari PSSI. Entah apa alasannya. Bisa juga di latar belakangi faktor politis antara si Kuning dan Biru.
Oke, penulis sudah benar-benar bosan dengan pertengkaran tiada henti ini. Sebenarnya, konsep yang diterapkan LPI sangat bagus. Mengusung liga yang fair play, tanpa suap dan ditanganai dengan manajemen profesional, LPI adalah kompetisi yang selama ini diidam-idamkan penggemar sepakbola di Indonesia.
Tapi bagaimana pun LPI tidak bisa jalan seenaknya. Sesuai dengan aturan FIFA, LPI juga harus berafilisasi dengan otoritas sepakbola, dalam hal ini adalah PSSI.
PSSI juga begitu, mereka tak seharusnya mencap haram pada LPI. Harusnya konsep yang diberikan LPI dikaji, kalau memang baik kenapa tidak diterapkan.
Intinya, kedua kubu bersatu dan menghapus ego masing-masing. Penulis percaya, jika PSSI dan LPI bersatu, liga profesional yang selama ini diinginkan bakal terwujud. Alangkah indahnya bila LPI dan PSSI bersatu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar