Minggu, 09 Januari 2011

Perceraian dalam islam...

Pernikahan adalah rahmat dan nikmat dari Allah subhanahu wata’ala, yang
dengan pernikahan itu manusia merasakan kasih sayang, kedamaian,
kelembutan dan nikmatnya kehidupan. Namun di sisi lain tidak setiap
orang yang membina rumah tangga akan mendapatkan apa yang tersebut di
atas. Bahkan hampir dipastikan bahwa setiap rumah tangga akan menghadapi
berbagai problem, keretakan dan gesekan yang dapat mengganggu
keharmonisan rumah tangga. Masalah rumah tangga terkadang dapat diatasi
dan diselesaikan dengan biak, namun terkadang sangat sulit diselesaikan
sehingga semakin hari semakin besar dan berlarut-larut dan tak jarang
yang akhirnya berujung dengan perceraian.
Maka merupakan nikmat dan rahmat dari Allah subhanahu wata’ala juga,
bahwa manusia tidak dibebani oleh Allah dengan sesuatu yang dia tidak
mampu memikulnya. Oleh karena itu ketika kehidupan rumah tangga yang
tadinya merupakan nikmat telah berubah menjadi bencana, prahara dan
bahkan seperti neraka maka talak bisa jadi merupakan rahmat yang dapat membebaskan suami istri dari prahara tersebut. Ini jika suami istri memandang bahwa permasalahan sudah
menemui jalan buntu dan kedua belah pihak atau salah satunya benar-benar
sudah menghendaki perpisahan.

Sebelum kedatangan Islam, manusia menalak istrinya semau-maunya dan
kapan saja dia ingin. Kemudian datanglah Islam dengan membawa aturan
yang jelas dan rinci tentang kapan talak itu diperlukan, kapan waktunya,
berapa bilangan talak dan lain sebagainya. Namun meski diatur
sedemikian, talak merupakan perbuatan halal yang paling dibenci Allah,
dan hukum asal talak adalah makruh (dibenci) karena akan mendatangkan
berbagai madharat atau dampak negatif terhadap istri dan anak-anak. Maka
talak tidak dilakukan kecuali dalam keadaan terpaksa serta dengan
pertimbangan akan adanya kebaikan yang didapat setelah terjadi talak
tersebut. Suami hendaknya memperhatikan firman Allah subhanahu wata’ala,
artinya,
Talak (yang dapat dirujuk) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan
cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. (QS.al-Baqarah:229)

Talak mempunyai landasan syar’i dari al-Kitab, as-Sunnah dan ijma’ serta
dia terkait juga dengan hukum yang lima, haram, makruh, wajib, sunnah
dan mubah. Talak diharamkan jika istri sedang dalam keadaan haid, dan
makruh jika dilakukan dengan tanpa sebab yang jelas padahal rumah tangga
secara umum masih dalam kondisi stabil, dan talak bisa jadi wajib jika
perselisihan suami istri sudah parah dan hakim atau penengah memandang
bahwa talak adalah jalan yang terbaik. Dan ia sunnah atau mandub jika
istri banyak melanggar larangan Allah atau banyak melakukan kemaksiatan
seperti terus mengakhirkan shalat wajib dan tidak mau diingatkan
suaminya serta mubah jika sang suami tidak suka terhadap kelakuan dan
perlakuan istrinya sehingga menyebabkan suami tidak ada kecondongan lagi
serta merasa tidak nyaman terhadapnya.

Apabila seorang suami sudah bertekad dan memutuskan untuk menalak
istrinya maka hendaknya ia memperhatikan adab-adab sebagai berikut:

Memperhatikan maslahat di dalam menjatuhkan talak, setelah melalui
pertimbangan yang matang.

Menjatuhkan talak dengan keadaan takut atau khawatir tidak mampu untuk
menegakkan hukum-hukum Allah (jika tetap bersama istrinya).

Hendaknya tujuan dari menjatuhkan talak bukan untuk menyengsarakan istri.

Hendaknya menalak istri dalam kondisi memang dia sudah tidak
memungkinkan lagi untuk tetap menjadi istri

Hendaknya tidak menjatuhkan talak tiga secara sekaligus, juga jangan
menjatuhkan talak dua. Namun hendaknya menjatuhkan talak satu dan
diucapkan hanya satu kali saja. Misalnya ketika seseorang menjatuhkan
talak satu maka dia tidak boleh mengucapkan, “Engkau aku talak, engkau
aku talak.”

Hendaknya menceraikan istri dengan cara yang diizinkan syariat, yakni
talak yang sesuai dengan sunnah. Seperti menalak istri harus dalam
keadaan suci dan tidak dalam kondisi telah dicampuri (setelah berada
dalam masa suci itu), atau boleh juga menalaknya pada saat hamil.
Seseorang dilarang menalak istrinya yang sedang haid, dan jika dia
terlanjur melakukan itu maka harus merujuknya lagi dan menunggu sampai
suci. Kemudian jika telah suci maka hendaknya ia menalak dengan tidak
menggaulinya lebih dahulu. Akan tetapi yang lebih utama adalah hendaknya
dia membiarkan istrinya haid lagi, baru kemudian menalaknya dalam masa
suci dari haid yang ke dua ini.

Apabila seorang suami telah menalak istrinya di masa suci ini (dengan
tidak menggaulinya lebih dulu) maka hendaknya dia membiarkan hingga
habis masa iddahnya. Seorang suami mempunyai hak untuk rujuk (kembali)
sebelum habis masa tiga kali haid dari istri yang ditalaknya, atau belum
habis masa iddahnya. Jika wanita tersebut telah mengalami tiga kali haid
maka berarti telah selesai masa iddahnya sehingga wanita tersebut halal
untuk dinikahi oleh laki-laki lain. Jika mantan suaminya ingin kembali
lagi maka dia harus khitbah (melamar) lagi dan melangsungkan akad dengan
akad yang baru.

Talak hendaknya tidak dilakukan dalam keadaan sedang marah.

Hendaknya ada saksi atas terjadinya talak tersebut.

Hendaknya menalak dengan cara yang baik, bukan cara-cara buruk, bukan
dengan kalimat yang buruk, penuh kebencian dan permusuhan.

Termasuk salah satu keluwesan dan keindahan hukum Islam adalah
disyari’atkannya beberapa bilangan talak. Ini dengan tujuan memberikan
kesempatan kepada para suami untuk menguji coba keputusannya. Jika
memang keputusannya untuk talak adalah tepat, maka hendaklah dia
bersabar dan melepaskan istrinya tersebut. Dan jika ternyata sang suami
salah dalam mengambil keputusan atau dia tidak mampu bersabar maka dia
dapat meraih kembali apa yang baru saja terlepas. Jumlah talak adalah
tiga kali talak, sebagai batas maksimal sehingga setelah itu tidak ada
talak lagi.

Demikianlah di antara beberapa adab talak syar’i, maka apakah kaum
muslimin telah memperhatikan adab-adab ini? Sungguh kalau kita
perhatikan maka masih amat banyak kaum muslimin yang tidak tahu masalah
ini, tidak faham terhadap hukum-hukum berkaitan dengan talak. Dan yang
lebih disayangkan lagi adalah masih ada di antara umat Islam yang
terpelajar sekali pun tidak mengetahui permasalah seputar talak. Ini
merupakan indikasi bahwa masih banyak ummat Islam yang beramal tanpa
ilmu, atau kurang perhatian terhadap ilmu, atau enggan meredam hawa
nafsu dengan kendali syariat. Maka amat banyak kita dapati kasus
perceraian hanya dengan sebab yang sangat sepele, atau menjatuhkan cerai
ketika sedang ada pertengkaran, atau seorang suami menceraikan istrinya
yang sedang haid atau dia suci namun telah digauli lebih dahulu
sebelumnya. Kemudian setelah sadar akan kekeliruannya baru bertanya
kepada para ulama atau mufti, dan yang lebih menyedihkan lagi terkadang
ada di antara suami yang merubah alur cerita tidak sesuai dengan fakta,
dengan tujuan agar mendapatkan fatwa sesuai dengn yang diinginkannya.

Dengan dijatuhkannya talak satu maka bisa jadi seorang istri dirujuk
lagi oleh suaminya, dan kembali menjadi satu keluarga bersama
anak-anaknya, sebagaimana firman Allah, artinya,
Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu
hal yang baru. (QS. 65:1)

Seorang istri jika ditalak oleh suaminya dengan talak raj’i (talak yang
bisa rujuk dalam masa iddah) maka selayaknya dia tetap tinggal bersama
serumah dengan suaminya, dan masing-masing pihak berusaha mencari jalan
keluar barangkali akan terjadi rujuk, baik dengan ucapan ataupun
perbuatan suami. Seandainya ummat Islam mau mengikuti petunjuk
Kitabullah dan as-Sunnah serta menerapkan adab-adab yang diwajibkan atau
dianjurkan maka niscaya tidak akan menghadapi berbagai masalah
bertubi-tubi dan tak terhitung. Amat banyak problem rumah tangga yang
pada akhirnya berujung dengan penyesalan dan kerugian. Lebih-lebih jika
suami terlanjur menjatuhkan talak tiga atau talak yang tidak ada rujuk
lagi, maka segala penyesalan sudah tidak ada gunanya lagi. Berapa banyak
para suami dan istri yang menyesal, berapa banyak anak-anak yang
terlantar dan berantakan kehidupannya, gara-gara sebuah keputusan dan
pertimbangan yang kurang matang.

Apa yang disyari’atkan Allah terkait dengan masalah talak ini
benar-benar mengandung hikmah yang mendalam, di antaranya adalah
mempersempit ruang gerak para suami agar tidak mudah atau gampang
menjatuhkan talak. Sehingga Allah mengaturnya agar tidak menalak ketika
sang istri sedang haid, atau ketika dia suci namun sudah digauli lebih
dahulu. Hal ini untuk meredam rencana seorang suami yang akan menalak
istrinya serta memberikan kesempatan untuk berfikir dan mempertimbangkan
kembali. Tidaklah bagus dan proporsional jika seorang suami menjatuhkan
talak terhadap istrinya kecuali ketika dia dalam sikap dan keadaan adil
terhadap keputusannya.

Seharusnya seorang laki-laki terlebih dahulu mempertimbangkan
masak-masak ketika memilih istri. Hendaknya jangan menikahi wanita yang
tidak diinginkan dan hendaknya siap menerima keadaan sang istri tersebut
apa adanya (qana’ah), lebih-lebih bagi mereka yang ada rencana untuk
ta’addud (poligami). Karena pada umumnya orang yang sering menikah maka
dia sering mencerai juga, padahal wanita adalah syaqaiq (bagian) dari
laki-laki, berasal dari jiwa yang satu. Mereka bukanlah mainan untuk
dipermainkan, bukan untuk berbangga-banggaan seorang laki-laki karena
banyak nenikahi wanita dan banyak mencerai.

Bahkan prinsip dasar pernikahan dalam Islam adalah menikahi wanita untuk
menjadi istrinya sepanjang hidup. Apabila pernikahan antara seorang
laki-laki dan perempuan telah berlangsung maka babak selanjutnya adalah
peran kedua belah pihak untuk menjawab berbagai tantangan dan problem
rumah tangga, karena rumah tangga tidak akan sepi dari masalah. Seorang
suami tidak dibolehkan menjadikan talak sebagai senjata pamungkas untuk
mengancam, menekan dan memprovokasi istrinya, sedikit-sedikit bilang,
“Awas kamu akan kuceraikan.” Ini selain manyakiti batin istri juga akan
menambah keretakan rumah tangga dan menjauhkan hati suami dan istri.
Namun hendaknya talak merupakan akhir dari pemecahan suatu masalah
setelah berbagai cara yang ditempuh menemui jalan buntu dan diperkirakan
jika terus dipertahankan maka keadaan rumah tangga semakin memburuk.

Kami memohon kepada Allah agar Dia memperbaiki kondisi kaum muslimin,
dan agar memberikan taufik kepada mereka untuk menempuh jalan Islam.
Sesungguhnya Dia adalah Pemegang segala urusan dan Maha Kuasa untuk
melakukan semua itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar